Skip to main content

Bab 2: Pesan-Pesan Dulu

Nadia:

Kak, kalau FB kakak itu Reza Pratama bukan nama profilnya?

Reza:

Yap! 100 buat Nadia. 

Nadia tersenyum bahagia sembari memeluk gulingnya erat. Semenjak berkenalan dengan Reza itulah hari-hari Nadia terasa seperti musim semi setiap hari. Ringan, hangat, dan penuh kejutan kecil. 

Reza:

Jadi Nadia suka sama siapa nih?

Nadia:

Ah itu mah secret dong. Hahaa.

Reza:

Ayo dong, nanti sama Kakak dibantu kalau Kakak tahu orangnya. 

Nadia:

Nggak ah, nanti juga Kakak tau sendiri. 

Atau mungkin pesan yang dibuka Nadia setelah Nadia pulang sekolah.

Reza:

Udah pulang?

Gimana tadi sekolahnya? Seru gak?

Ketemu sama orang yang disuka gak?

Pesan-pesan itu datang hampir setiap hari. 

Sampai suatu hari di sore yang cerah saat Nadia tengah mendengarkan radio dan menunggu request-annya dibacakan, ponsel Nokianya berdering. Tanda SMS masuk. 

Reza:

Nad, lagi apa?

Nadia:

Lagi dengerin radio. Kakak sendiri lagi apa?

Reza:

Lagi nonton Persib. 

Nadia membiarkan SMS itu terbuka begitu saja karena ia fokus mendengarkan SMSnya dibacakan oleh penyiar radio. 

Reza:

Nad…

SMS baru masuk lagi berbarengan dengan selesai dibacakannya SMS Nadia di radio. 

Nadia:

Eh iya Kak, gimana?

Reza:

Nadia suka Persib gak?

Nadia:

Mm, suka. Kenapa gitu Kak?

Reza:

Bisa temenin nonton?


Nadia menatap layar ponselnya lama sekali. Seperti ada sesuatu yang mengepak lembut dalam dadanya. Perasaan asing yang membuatnya tersenyum tanpa sadar. 

Nadia:

Temenin nonton gimana Kak?


Percakapan-percakapan itu menjadi bagian dari hari-harinya. Dan lama-lama, Reza mulai mengungkapkan sesuatu yang lebih jujur. 

Sampai suatu malam, sebuah pesan dari Reza muncul di layar ponsel Nadia. Pesan yang pada akhirnya membekas di ingatan Nadia seumur hidupnya.

Reza:

Kakak boleh nanya gak?

Nadia:

Boleh, kak. Mau nanya apa?

Beberapa detik sunyi. Lalu muncul balasan yang membuat jantung Nadia terasa berhenti berdetak.

Reza:

Nadia, mau enggak saling percaya? Nadia percaya sama Kakak, Kakak percaya sama Nadia. 

Nadia menatap layar lama. 

Saling percaya? Apa maksudnya

Nadia:

Saling  percaya? 

Reza:

Iya. Harapan supaya kita bisa saling percaya. 

Nadia:

Maksudnya?

Balasan berikutnya membuat Nadia terasa sesak.

Reza:

Perasaan Nadia sekarang ke Kakak gimana?

Jantung Nadia bagai dihantam. Jarinya kaku. Nadia tidak membalas. Bukan karena tidak tahu jawabannya, tetapi karena terlalu takut mengatakannya.

Beberapa menit kemudian, Reza mengirim pesan lagi. 

Reza:

Iya sudah, kalau Nadia belum siap.

Kakak cuma mau bilang, Kakak punya harapan ke Nadia. 

Supaya Nadia bisa terus menemani Kakak. 

Nadia memandangi layar itu sepanjang malam. Tidak ada yang Nadia balas. Nadia membiarkan pesan itu terbuka. 

***


Keesokan harinya…

Setelah mengumpulkan keberanian, Nadia akhirnya membalas dan berterus terang akan perasaannya. 

Jadi, Kakak lagi menjalani hubungan spesial dong? 

Jawaban Reza ringan, tetapi mengikat.

Sementara itu Nadia memeluk gulingnya erat dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya. 

Reza yang akhirnya menyebut hubungan mereka HTS-hubungan tanpa status. Hubungan yang berjalan seolah nyata, tetapi tidak pernah benar-benar diberi tempat untuk tumbuh. 

Satu, dua, tiga hingga empat minggu semua berjalan seperti biasa. Nadia bahagia setiap kali mendapatkan pesan-pesan dukungan dari Reza. Nadia tidak benar-benar mengerti sebenarnya apa itu HTS. Tapi Nadia mengerti satu hal:

Reza perhatian.

Reza membuatnya merasa dilihat

Dan untuk pertama kalinya, Nadia merasa penting bagi seseorang. 

Namun sayang, setiap awal selalu ada akhir. Hanya saja Nadia tidak pernah mengantisipasi itu. Sampai kemudian pesan itu mulai jarang datang.

Semakin jarang.

Lalu berhenti.

Nomornya tidak aktif. 

Facebooknya hilang.

Seakan Reza menghapus diri dari dunia.

Nadia menunggu dalam diam. 

Dan yang tersisa hanyalah pertanyaan yang tak pernah terjawab.

Apa salahku?

Kenapa menghilang?

Kenapa tidak pamit?

Kenapa tidak ada kata selesai?

Pertanyaan-pertanyaan itu tetap tinggal di hati Nadia, bertahun-tahun lamanya. 


Comments

Popular posts from this blog

Bab 1 Yang Tak Pernah Diduga

Aula SMP tempat lomba olimpiade Fisika tingkat kota itu riuh oleh suara langkah dan peserta yang berbisik-bisik. Nadia duduk di kursinya sambil memeluk tas, mencoba menenangkan degup jantung yang sejak pagi dag-dig-dug tak beraturan.  Meski gugup, ada sedikit kebanggaan dalam dirinya. Guru Fisika memilihnya untuk mewakili sekolah. Itu bukan hal kecil untuk anak SMP kelas 2 yang biasanya lebih sibuk dengan komik dan tugas kelompok. "Duh, dingin ya ruangannya," gumam Sari, sahabat Nadia , sambil mengusap lengan. Nadia mengangguk. Namun perhatiannya langsung teralih saat melihat seseorang kakak panitia lewat di depan pintu. Usianya mungkin SMA. Tubuhnya lebih tinggi, lebih dewasa, dengan papan nama ... Sayangnya terbalik tergantung di lehernya. Ia membawa tumpukan map sambil bergegas.  Entah kenapa, Nadia malah terpaku.  "Kamu lagi liat apa sih?" Sari mencondongkan tubuhnya, mencoba mengikuti arah padangan Nadia. Nadia buru-buru menunduk. "Enggak... enggak lihat a...

Refleksi Catatan 81: Menulis Itu Mengingat Ulang

Photo by Andrea Piacquadio Menulis itu berarti mengingat ulang, dan tidak semua ingatan itu menyenangkan. Rintik Sedu.   Semalam aku membaca blognya Rintik Sedu dan menemukan kalimat itu. Rasanya iya betul banget. Kadang yang membuat kita enggan menulis bukan karena menulisnya, tapi karena kita harus siap berhadapan dengan ingatan yang tidak semuanya menghadirkan senyum. Ada bagian dari diri yang masih perih, yang belum siap disentuh, apalagi dituangkan ke dalam kata. Aku teringat ketika tahun lalu mengikuti sesi konseling bersama psikolog sekolah. Beliau berkata, “Untuk bisa mengenal luka inner child, cobalah banyak mengobrol dengan diri sendiri atau menulis.” Satu dua kali aku mencobanya. Tapi setiap kali sampai di titik harus mengingat momen yang menyakitkan, aku menarik diri. Aku berhenti menulis. Seolah tubuh dan pikiranku bersekongkol untuk melindungiku dari rasa sakit itu. “Bu, rasanya menyesakkan setiap kali ingat momen itu,” kataku pelan. “Aku gak sanggup melihat diri aku ...

Yang Tak Pernah Selesai

Blurb Tahun 2012, Nadia pernah terikat dengan seseorang yang tidak pernah ia temui-Reza, teman sms dan chat FB yang menghilang begitu saja di tengah kedekatan mereka. Bertahun-tahun kemudian, di sebuah Event Organizer tempat Nadia bekerja, Reza muncul kembali. Tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf. Hanya satu kalimat yang diucapkan: "Iya kenal, tapi dulu." Nadia ingin melupakan semuanya, sampai Dika datang, rekan kerja baru yang justru melihat sesuatu yang bahkan Nadia sembunyikan dari dirinya sendiri. *** Hai semuanya!  Mulai minggu ini aku akan rutin upload cerita terbaru di blog pribadi dan ini adalah cerita pertama aku setelah sekian lama hiatus dari menulis cerita.  Jadwal upload: setiap Sabtu malam pukul 20.00 WIB . Jangan lupa mampir ya! Siapa tahu ceritanya bisa jadi teman malam Minggu kalian. Sampai ketemu di postingan berikutnya!  Cheers, Solihat