![]() |
Photo by cottonbro studio |
Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Meski ingin sekali aku memperlambat waktu, hanya saja keputusan sudah dibuat dan aku tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi.
Keputusan untuk resign dari tempat kerjaku saat ini bukanlah perkara mudah. Butuh waktu hampir satu tahun untuk bener-benar memantapkan hati bahwa aku harus mengambil langkah besar ini. Perasaan dan suara-suara itu tumbuh perlahan, dari rasa lelah yang aku pendam, dari keyakinan yang mulai goyah, dan dari hati yang pada akhirnya jujur bahwa aku butuh ruang baru untuk tumbuh. Bukan karena aku membenci tempat itu, tapi karena aku mulai belajar mencintai diriku sendiri.
Ada begitu banyak hal yang membuat aku bersyukur pernah bekerja di sana. Teman-teman yang suportif dan senantiasa selalu mengingatkan aku tentang kebaikan. Anak-anak yang mewarnai hari-hariku dengan canda dan tawa. Serta pelajaran-pelajaran hidup yang tidak bisa aku beli di tempat lain. Ada momen-momen di mana membuat aku bangga pernah menjadi bagian dari mereka. Aku belajar banyak tentang tanggung jawab, keikhlasan, kepasrahan, dan tetap bersabar serta tersenyum kala hati remuk serta fikiran yang awut-awutan.
Satu tahun yang kulewati kemarin sungguh sangat berat. Aku pernah berada di fase aku cemas akan masa depanku, sulit tidur, menangis setiap malam tanpa tahu alasan yang pasti, menyalahkan diri sendiri karena merasa belum cukup, dan terus membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Aku tak layak, payah. Bahkan, pernah di suatu malam, di tengah tangis yang tak henti dan aku bingung ini karena apa, aku terpaku menatap benda tajam dan sempat terbersit pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Berkali-kali saat aku berbicara dengan rekan kerjaku, yang ada justru air mata yang berbicara. Aku pun sendiri bingung dengan kehidupanku saat itu. Mungkin karena beban pekerjaan yang menumpuk, tuntutan sana-sini, dan ekspektasiku yang selalu tinggi. Saat semuanya berjalan tak sesuai harapan, aku kerap menyalahkan diriku sendiri.
Lelah? Sangat lelah. Selain itu, ada kecewa yang menggumpal. Tentang perlakuan yang tidak adil, yang terpaksa aku pendam karena aku belum cukup berani untuk menyuarakannya. Aku tahu, sekalipun disampaikan, mungkin akan tetap diabaikan. Aku marah pada diri sendiri dan juga keadaan. Kekecewaan itu cukup membekas di hatiku.
Tapi ya sudahlah. Ternyata kekecewaan itu menjadi alasan awal yang membukakan gerbang untuk aku untuk memutuskan resign. Lalu, alasan demi alasan pun bermunculan. Aku ingin mengejar impianku yang tertunda, dan semua itu tak mungkin bisa aku raih jika aku masih bertahan. Belum lagi, orang tua yang berada di kota lain, membuatku merasa bersalah setiap kali mereka meminta bantuan, sedangkan aku tak berada di samping mereka.
Bulan Desember itulah menjadi titk balik. Dengan penuh keyakinan, aku memantapkan diri untuk resign.
Dan anehnya, setelah aku mencoba memaafkan semuanya yang pernah aku lalui, entah mengapa perjalanan resign ini begitu melegakkan. Tak ada lagi dendam, tak ada lagi rasa kecewa. Justru yang ada, aku malah bersyukur pernah dikecewakan hingga akhirnya aku bisa menemukan kembali mimpiku yang sempat tertunda. Di akhir masa kerjaku, aku menyelesaikan seluruh tanggung jawabku. Tidak ingin ada yang tersisa. Meski saat itu hatiku tengah hancur dan hidupku kacau balau tak tahu arahnya ke mana, aku tetap memilih untuk menuntaskan semuanya. Dengan senyum dan juga tawa yang kuperlihatkan kepada orang-orang, walau sejujurnya dalam hati aku sudah lelah setengah mati. Aku menyadari satu hal pada saat itu. Aku resign bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi aku resign karena memang sudah waktunya dan urusanku di sini sudah selesai.
Dan saat hari itu tiba, entah mengapa beban di pundakku terasa ringan. Tak ada lagi ekspektasi yang membebani. Meski ada kesedihan karena beberapa hal dalam hidup akan berubah, tak lagi sama seperti sebelumnya. Tapi, hidup harus terus berjalan dan aku masih punya impian yang harus aku perjuangkan.
Aku belajar untuk tidak menggenggam terlalu erat untuk apapun yang Allah titipkan, termasuk perkara pekerjaan yang dulu aku banggakan. Karena hidup akan terus mengajarkan kita, membuat kita sebagai manusia tentu akan berubah cara pandangnya. Jalani sewajarnya saja. Tak perlu berlebihan apalagi digenggam erat. Karena yang kamu miliki saat ini suatu saat akan meninggalkanmu atau justru kamu yang akan meninggalkannya.
Untuk diri aku sendiri, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku sayang sama kamu.
Dan untuk orang-orang terdekat yang sangat berarti dalam perjalananku:
Sahabatku, Bu Risma.
Terima kasih banyak sudah menjadi teman, sahabat sekaligus keluarga selama aku tinggal di Bandung. Teman suka dan duka, yang selalu mengingatkan aku untuk sabar dalam kondisi apapun. Di manapun kamu berada, may Allah always protect you ya, Ceu.
Rekan kerja, sekaligus guru bagiku, Pak Mus.
Pak, terima kasih banyak untuk semua ilmu dan bimbingannya. Aku yang awalnya awam banget mengenai leadership, sangat tertolong dengan kata-kata Bapak: “Gak apa-apa” dan “Itu wajar, Bu. Itu normal.” Kalimat yang akhirnya menyadarkan aku bahwa dalam setiap proses yang kita perbuat akan selalu ada ketidaksempurnaan yang justru menjadi ruang belajar terbaik. Mengajarkan aku bahwa gak apa-apa mulai dulu seadanya, gak usah nunggu dulu sempurna. Terima kasih karena tidak menuntut, justru malah menuntun. Terima kasih banyak, Bapak.
Saatnya melangkahkan kaki untuk pergi dan memulai yang baru. Meski kerap dihantui perasaan ragu, perkara masa depan adalah pekerjaan Allah dan kamu tak perlu mengambil alih sesuatu hal yang bukan menjadi ranah kamu. Serahkan semuanya pada Allah, karena Allah adalah sebaik-baiknya perencana.
Love,
Solihat
0 Comments