Refleksi Catatan 18: Perjalanan Penuh Drama, tapi Penuh Makna


Seharian lelah karena banyak menangis di hari terakhir bekerja. Belum lagi ada jadwal photo studio dan makan-makan bareng bersama anak-anak di sore hari. Malamnya aku sudah menjadwalkan untuk langsung pulang ke kampung halaman, mengingat sebelum aku masuk ke tempat kerja baru, barang-barang yang masih berantakan di rumah harus dibereskan terlebih dahulu. Selain ingin menata ulang hidupku lagi, tak lupa aku pun ingin menata kamarku di rumah agar aku bisa nyaman belajar, menulis, dan berkarya. 

Kadang, kepindahan fisik hanyalah simbol dari keinginan untuk menata ulang diri. Seperti kamar yang ingin aku rapikan, aku pun ingin menata ulang isi kepala dan hati yang selama ini penuh sesak. Hehee.

Di hari itu juga handphone ku mati, tak bisa digunakan dan harus diservis. Maka yang bisa aku andalkan adalah dengan menggunakan Ipad, itupun harus menggunakan WiFi. Alhamdulillahnya, sebelum aku pulang, adikku ke kosan dulu untuk mengambil makanan. Keretaku dijadwalkan akan berangkat pukul 20.11 WIB. Dari pukul 19.00, dengan menggunakan handphone adikku, aku sudah memesan taxi online. Sayangnya, drivernya sangat menyebalkan. Dia gak mau masuk ke gang, lebih tepatnya menjemput aku di depan kosan, dan malah meminta aku untuk menunggu di pinggir jalan raya besar. Oke, aku turuti keinginannya. Begitu aku sampai di jalan raya sambil menyeret satu koper besar, dia tetap tidak mau maju dan minta untuk aku menghampiri dia. Gila! Jalanan ramai dan aku hanya punya waktu sekitar 40 menit lagi sebelum kereta aku tiba. 

Malam itu terasa seperti ujian terakhir sebelum lembaran baru dibuka. Aku diuji sabar, diuji tenang, dan diuji untuk tidak meledak karena segala hal terasa salah dan menyebalkan. 

Adikku juga turut ikut membantuku membawa koper kecil dan tentengan barang lainnya dengan motornya. Sudahlah capek, kesal, aku gusar, dan aku menangis di pinggir jalan. Sementara itu, adikku kembali memesan taksi online lain dan akhirnya tiba juga. Adikku bahkan harus terlambat ke tempat kumpulannya karena harus menungguku untuk mendapatkan taksi online. 

Alhamdulillah, aku bisa sampai di stasiun 15 menit sebelum kereta datang. Begitu aku turun dari mobil, aku langsung masuk ke kerumunan orang-orang untuk mencari porter. Sayang seribu sayang, aku tidak menemukan porter dan aku harus menyeret dua koper dan tas tentengan lain sendiri ke dalam stasiun. Aku sudah gusar lagi saat melihat antrean pencetak tiket itu cukup panjang. Karena aku tidak membawa hp dan tiketku di pesan oleh adik, otomatis aku hanya punya kode tiket dan aku harus mencetak tiket secara manual.

Aku langsung meminta izin kepada orang-orang yang sedang mengantre itu karena keretaku akan tiba 10 menit lagi. Begitu sampai di depan mesin pencetak tiket, aku langsung mengetikkan kode tiketku dan lagi-lagi, entah drama apalagi, mesin pencetak tiketnya error! Aku langsung celingak-celinguk mencari petugas.  Setelah tiket dapat, aku langsung mencari porter dan begitu melihatnya aku langsung memanggil si bapak porter tersebut. Aku sudah ngos-ngosan menghadapi ini semua. Alhamdulillahnya, si bapak porter ini baik banget dan meminta aku untuk cut the line orang-orang yang ada di depanku, mengingat kereta akan segera datang. Alhamdulillahnya lagi, orang-orang yang sedang mengantri pun memahamiku dan langsung memberikan jalan.

Malam itu aku belajar bahwa dalam keadaan kacau dan gusar, selalu ada orang-orang baik yang membantu. Mungkin, itu bentuk cinta dan kasih sayang Allah yang dikirim dalam wujud orang-orang yang tidak aku kenal. 

Lima menit tersisa dan aku bisa membuang nafas lega begitu sudah sampai peron. Tak lama, kereta datang. Aku kedapatan kursi di dekat jendela dan di sampingku ternyata sudah terisi oleh seorang laki-laki. Begitu aku duduk, aku langsung menghadap ke jendela dan aku sudah tak bisa lagi membendung air mataku.

Aku menangis di kereta. Rasanya hari itu sangat menguras emosi. Sedih karena harus meninggalkan Bandung, meninggalkan semua kenangan, ditambah proses perjalanan pulang ini rasanya penuh drama. Aku tak peduli dengan laki-laki di sampingku, begitu juga dengan dia yang nampaknya sama tidak peduli denganku. 

Belum puas agar tangisku bisa lebih pecah lagi, aku memilih untuk membaca surat yang ditulis oleh salah satu muridku. Begitu membacanya aku menangis lebih hebat lagi. Setelah puas menangis, rasa kantuk pun menyerang. Aku membuka plastik yang menyelimuti selimut, mengenakkannya dan akhirnya tertidur. 

Begitu terbangun, aku sadar 40 menit lagi aku akan sampai di kampung halamanku. Aku sadar, iPadku tidak bisa tersambung ke WiFi kereta. Berkali-kali aku latihan dalam hati untuk meminta tethering data dari laki-kali di sampingku. Aku tahu aku malu, tapi kalau malu, aku tidak bisa mengabari orang tuaku. Setelah berkali-kali meyakinkan diri, akhirnya aku memberanikan diri. 

Kang, boleh ikut tethering data? Saya gak bawa hp soalnya.” 

“Coba aja pakai wifi kereta.” Jawab dia. 

Aku hanya menuruti ucapan dia walau aku tahu itu sudah aku lakukan tadi dan tidak berhasil. 

“Sudah Kang, tapi gak berhasil.” Jawabku sembari memperlihatkan iPadku kepada dia.

Dia diam sejenak, lalu mengambil handphonenya. 

“Saya mau menghubungi orang rumah kalau saya pulang malam ini.” 

“Coba pakai yang saya,” katanya sambil menunjukkan nama hotspot-nya.  “Passwordnya….”

Aku hanya mengangguk. Lalu aku langsung menelfon Mamah.

“Terima kasih, Kang.” Kataku lalu mematikan WiFi.

“Iya sama-sama.”

Entah dari mana awalnya, akhirnya kami bisa akrab mengobrol. Ternyata beliau ini asli orang Surabaya. Karena tahu dia orang Surabaya, aku megganti panggilanku menjadi “Mas.” Obrolan pun mengalir.

Topik berganti-ganti, dari mana ke mana, ngapain aja,  tentang kursi  dekat jendela yang kata dia sudah terisi sebelumnya di aplikasi dan dia tidak bisa booking itu. Padahal dia pesannya jauh-jauh hari sedangkan aku pesan dua jam sebelum pemberangkatan dan malah aku yang dapat. 

"Oh, mungkin ada yang cancel di akhir-akhir ya."

Sampai akhirnya, obrolan mengarah ke pekerjaan.

“Baru kerja berapa tahun berarti di Bandung?”

“Tiga tahun.” 

“Tiga tahun? Wah kalau saya lebih sebentar lagi.”

“Berapa, Mas?"

“Sepuluh tahun.”

“Hah? Sepuluh tahun?”

“Iya, sepuluh tahun. Ya, saya juga bosan dengan rutinitas yang sama. Tapi mau gimana lagi.”

“Apa yang membuat Mas bertahan lama di pekerjaan Mas saat ini?”

“Saya kerja cuma buat survive, Mbak. Saya sudah berkeluarga. Kalau belum sih bisa buat loncat-loncat kerjaan.”

Aku terdiam. 

Kerja cuma buat survive, bertahan. Kalimat itu membekas. Ada banyak orang di luar sana yang tidak memiliki kemewahan untuk memilih pekerjaan sesuai passion. Yang penting bisa makan. Bisa hidup. Bisa bayar listrik dan bayar sekolah anak.

Sementara itu aku masih sendiri. Belum punya tanggungan besar dan justru sedang dalam proses mengejar mimpi. Kadang kita terlalu sibuk dengan bising di kepala kita, sampai lupa untuk menghargai dan mensyukuri ruang yang Allah masih beri untuk belajar, mencoba, dan tumbuh. 

Lalu dia kembali bercerita panjang dan aku hanya mengangguk-angguk, menyimak. Meski isi kepalaku sangat berisik.

Bekerja hanya untuk bertahan. 

“Mbak, waktu sampean datang tadi kemudian duduk kelihatan sekali wajahnya murung. Kemudian ya sampean nangis, saya kira wah ini kayaknya habis putus cinta. Ternyata bukan.” Ungkap dia sebelum aku bersiap-siap untuk turun.

Aku tersenyum.

“Ini bentar lagi ya turun?”

“Iya,” jawabku sembari izin untuk menurunkan barang dari bagasi atas.

“Mau dibantuin, Mbak?” 

“Boleh.” Jawabku sembari tersenyum kegirangan.

“Hati-hati, Mbak,”

Lalu aku berjalan menuju pintu keluar. 

Bekerja hanya untuk bertahan.

Aku masih single, masih dikasih kesempatan oleh Allah untuk bisa explore lebih banyak lagi soal pekerjaan dan kehidupan. Ditambah punya orang tua yang support. Kira-kira nikmat mana lagi yang aku dustakan? 

Aku tahu pindah kerja itu gak mudah dan harus adaptasi lagi. Tapi, kapan lagi bisa belajar hal yang baru, jika bukan sekarang? Saat satu-satunya tanggung jawabku adalah pada diriku sendiri?

Hari itu bukan hanya tentang perjalanan dengan kereta. Tapi, juga perjalanan diri yang mengantarkanku untuk lebih bersyukur, lebih kuat, dan lebih siap membuka halaman baru dalam hidupku.

Dan satu hal yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.

Saat dia mengatakan,

"Waktu sampean datang tadi kemudian duduk kelihatan sekali wajahnya murung. Kemudian ya sampean nangis, saya kira wah ini kayaknya habis putus cinta..."

Kalimat itu membuatku berpikir, berarti dari awal dia sudah memperhatikanku?

Selama ini aku selalu merasa tidak mudah didekati. Bahkan oleh orang-orang yang duduk di sebelahku sekalipun. Apakah aku memang telihat jutek? Menurut orang-orang sih iya, aku jutek kalau belum kenal. Atau mungkin aku sendiri yang terlalu cepat membatasi ruang bagi orang asing untuk masuk?

Aku jadi bertanya-tanya sendiri.

Apa ini juga alasan kenapa aku belum juga menemukan jodoh?

Bisa jadi bukan karena belum dipertemukan. Tapi, karena aku belum membuka pintu. Atau bahkan aku belum menyadari kalau sebenarnya ada seseorang yang pernah berdiri di depan pintu itu, mengetuk dengan pelan tapi akunya udah terlalu takut untuk mendekat?

Dari kereta malam itu, aku jadi belajar bahwa hidup selalu membawa hal-hal yang tak terduga. Dari mulai drama yang menguras emosi, aku yang pada akhirnya mencoba untuk memberanikan diri meminta tolong pada orang asing, sampai pada akhirnya obrolan dan ucapannya membuat aku banyak berpikir. 

Aku masih belajar untuk lebih terbuka. Jujur sih, ini masih jadi hal yang sulit untuk aku. Aku sulit untuk mengawali, kecuali kalau sudah kepepet baru memaksakan diri. Apa mungkin karena sudah terbiasa melakukan apapun sendiri apa gimana ya? 

Yuk belajar untuk tak buru-buru menutup diri. Siapa tahu, hal-hal baik datang saat aku berani membuka ruang, meski hanya sedikit. Hehee. 

Cheers,

Solihat





 

0 Comments