Refleksi Diri

Sunday, December 21, 2025

Photo by Tima Miroshnichenko

Hari Minggu beberapa jam lagi akan berakhir. Sebentar lagi waktu akan berganti, besok Senin dan itu artinya sudah masuk waktuku untuk mereview sekaligus merefleksikan satu minggu yang sudah aku lalui kemarin. Rutinitas kecil yang kini terasa lebih bermakna, karena aku belajar berhenti sejenak dan benar-benar hadir.

How was your week?

Alhamdulillah, berjalan baik. Tidak selalu mudah, tapi cukup baik untuk disyukuri. Apalagi semenjak didiagnosis depressive episode, banyak banget hal yang selama ini aku lewatkan begitu saja tanpa benar-benar aku sadari, apalagi aku syukuri. Kini aku bisa lebih menghargai segarnya udara di pagi hari, yang dulu begitu aku lewatkan begitu saja. Ternyata dengan bernapas secara sadar, secara tidak langsung itu bikin otak aku kayak direfresh lagi, lebih ringan, dan lebih tenang. 

Hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulit juga mampu  membangkitkan rasa semangat aku untuk menjalani hidup, satu hari demi satu hari. Makanan yang saat ini bisa aku rasakan rasanya, setelah beberapa minggu yang lalu terasa hambar dan tidak enak dimakan, kini kembali punya rasa. Hal-hal kecil yang dulu hanya aku lewati begitu saja, sekarang justru menjadi sumber syukurku yang besar. Ternyata banyak sekali ya nikmat yang sudah diberikan oleh Allah. Dan betul sekali, jika kita mencoba menghitungnya satu per satu, rasanya tak akan pernah bisa terhitung nikmat yang sudah diberikan oleh-Nya. 

Mm, apalagi ya?

Kayaknya itu aja sih. Tapi mungkin sebenarnya bukan "itu aja", melainkan sudah lebih dari cukup. Aku cuma mau bilang terima kasih aja sama diri sendiri yang sudah melewati hari-hari di minggu ini, walau terkadang perasaan menyerah selalu hinggap tanpa permisi. Terima kasih karena kamu sudah tidak memaksakan dirimu untuk selalu tampil sempurna dan ceria setiap harinya. 

Pada akhirnya gak apa-apa kan kalau hari itu gak berjalan sesuai dengan keinginan kamu? Ternyata gak apa-apa juga ya, kalau satu hari aja kamu gak all out  karena energi kamu emang udah habis? Dan ternyata, aku gak harus galak dan sejahat itu sama diri aku sendiri. Aku boleh lelah. Aku boleh berhenti sebentar. Aku boleh bernapas

Tetap lakukan yang terbaik sesuai dengan kadarnya saja. Jangan melampui batasmu lagi. Mungkin kamu akan mendapatkan tepuk tangan, tapi gak sedikit juga yang akan meremehkan kamu. Selalu ada dua sisi itu, dan kamu gak bisa mengontrol keduanya. Maka dari itu, berhenti mengejar kesempurnaan, dan jalani hari sebisa yang kamu berikan hari itu: gak lebih dan gak kurang juga. 

Jangan pernah paksanakan diri kamu lagi ya. Udah cukup depresi ini menjadi pengingat, bahkan tamparan halus, buat kamu untuk lebih menyayangi diri kamu sendiri. Karena pada akhirnya, yang akan terus menemani sampai akhir adalah diri kamu sendiri. Bukan pencapaian kamu, bukan validasi orang lain, tapi diri kamu sendiri: dengan segala luka dan uapaya kamu.

Jadi, ucapkanlah terima kasih pada diri kamu sendiri sebelum tidur dengan tulus. Bilang,

Makasih ya. Kamu udah hebat banget hari ini. 

Kamu udah keren banget bisa melewati hari ini. 

Besok tetep temenin aku ya. 


Bye! <3

Ihat

Thursday, December 18, 2025

Ada banyak hal yang aku lewati dalam satu minggu kemarin. Dengan kondisi otakku yang sedang tidak baik-baik saja, ada kalanya aku ingin menyimpannya di kamar dan tidak membawanya ke mana-mana. Karena rasanya sakit, berat, dan sangat tidak nyaman untuk diajak hidup bersama.

Minggu lalu, aku akhirnya memutuskan untuk resign dari kegiatan mengajarku di sekolah formal. Aku sudah lelah. Aku butuh pagi yang tenang, tanpa debur langkah yang terburu-buru menuju sekolah, tanpa omelan, tanpa keluhan rekan kerja tentang siswa yang seolah tak pernah ada habisnya.

Beberapa rekan kerja menyayangkan keputusanku. Namun, keputusanku sudah bulat. Aku tak lagi sanggup membohongi diri sendiri dengan terus berpura-pura terlihat baik-baik saja. Aku benar-benar lelah.

Lelah.

Terlalu banyak waktu yang selama ini aku habiskan hanya untuk bekerja. Terlalu banyak hal yang akhirnya terlewat. Tiga tahun di Bandung menjadi masa yang kini kusesali. Bukan karena tempatnya, tapi karena aku terlalu fokus dan memprioritaskan pekerjaan, sampai lupa memberi jeda dan istirahat untuk diriku sendiri.

Sepuluh tahun bekerja tanpa henti, sering kali mengabaikan alarm-alarm tubuh, akhirnya membawaku pada kondisi yang harus kuterima hari ini.

Baiklah, dengan berat hati aku akan mengatakannya.

Aku didiagnosis mengalami depressive episode dan saat ini sedang menjalani terapi obat.

Capek?

Jangan ditanya.

Aku juga lelah.

Lelah.

Lain kali, aku akan bercerita lagi.


Love,

Ihat

Thursday, December 11, 2025

Dalam melakukan apa pun, aku selalu berusaha untuk sempurna. Aku sadar, kesalahanku adalah aku tak pernah mengizinkan diriku menjadi seorang pemula. Aku selalu membandingkan diriku dengan orang-orang yang sudah berada di level tertentu. Ketika hal itu terjadi dan aku mendapatkan pujian, rasanya senang bukan main. Tapi ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku, aku langsung marah dan merendahkan diriku sendiri serendah-rendahnya.

Sampai akhirnya aku lelah. Lalu aku bertemu dengan lingkungan yang mengingatkanku untuk mengizinkan diriku menjadi pemula. Untuk tidak melihat jalan orang lain, cukup fokus pada jalanku sendiri. Kalau aku masih berada di titik satu dan orang lain di titik lima, tentu tidak adil kalau aku terus membandingkan diriku dengan mereka.

Aku pernah ingin menjadi guru yang kompeten, istri yang baik, ibu yang baik suatu hari nanti, menantu yang baik, teman yang baik, anak yang baik, dan rekan kerja yang baik. Aku berusaha keras untuk semua itu. Namun, sekeras apa pun aku mencoba, akan selalu ada saja orang yang tidak setuju, tidak menyukai, atau menemukan celah dalam apa yang kulakukan. Akan selalu ada masalah yang muncul.

Sampai akhirnya aku sadar: aku harus berhenti memaksakan diri menjadi “orang baik” versi semua orang. Aku juga harus berhenti mengejar kesempurnaan. Kalau memang ada yang tidak suka, apakah harus dipaksa suka? Tidak. Jadi mulai sekarang, aku belajar untuk tidak menilai diriku berdasarkan apa yang orang sukai. Aku ingin lebih banyak mendengarkan diriku sendiri dan melakukan apa pun yang benar-benar ingin kulakukan.

Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang memenuhi ekspektasi siapa pun. Hidup ini tentang belajar pelan-pelan, tumbuh dengan ritmeku sendiri, dan menerima bahwa menjadi manusia berarti membuat kesalahan, jatuh, bangun lagi, dan terus berjalan. Aku ingin memberikan ruang bagi diriku untuk bernapas, belajar, salah, mencoba lagi, dan berkembang tanpa tekanan untuk selalu benar.

Aku ingin menapaki hidup dengan lebih ringan, tanpa harus terburu-buru mengejar standar orang lain. Mulai sekarang, aku memilih untuk menyayangi diriku apa adanya, dengan segala kekurangan, proses, dan perjalanan panjang yang masih terus berlangsung. Aku mungkin belum sampai ke mana-mana, tapi aku sedang menuju ke sana, dengan langkah-langkah kecil yang tulus.


Love,

Ihat

Monday, December 08, 2025

Malam itu aku mendengar tangisan seorang anak kecil, disusul teriakan sumpah serapah dari seorang Ibu. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi jelas sekali: setiap kali anak itu menangis, si Ibu yang tampaknya sudah kelelahan terus mengeluarkan kata-kata kasar.

“Anjing.”

“Goblog.”

“Kamu itu anak saya. Harusnya kamu sayang sama saya!”

Aku sempat melihat sekilas. Si Ibu sedang mengepel bagian luar rumahnya. Sepertinya anaknya menjatuhkan sesuatu hingga tumpah dan membasahi lantai. Ia masih sangat muda, mungkin usianya jauh di bawahku, namun beban hidup yang ia tanggung terasa begitu berat.

Aku terdiam mendengar semuanya. Di satu sisi aku bisa merasakan bahwa dia lelah, mungkin kewalahan, mungkin tidak punya dukungan. Tapi di sisi lain, batinku ikut perih membayangkan apa yang dirasakan anak itu jika ia sudah bisa berkata-kata. Mungkin ia ingin bertanya:

“Bu… kalau Ibu belum siap jadi Ibu, kenapa harus punya anak? Kenapa melahirkan aku ke dunia? Aku tidak pernah meminta itu…”

Malam itu aku belajar sesuatu lagi. Bahwa memilih untuk menikah itu penting. Memilih untuk punya anak secara sadar itu jauh lebih penting. Kita sering diberi tahu bahwa cinta cukup, tapi tidak. Untuk membangun rumah tangga dan membesarkan anak, cinta saja tidak cukup. Dibutuhkan ilmu, kedewasaan, kesiapan mental, dan ruang untuk bertumbuh.

Memang benar, tidak ada manusia yang benar-benar siap sepenuhnya. Tapi setidaknya, ada yang dipersiapkan. Ada kesadaran. Ada tanggung jawab yang diterima tanpa paksaan.

Bukan lagi karena ekspektasi keluarga.

Bukan karena desakan budaya.

Bukan karena ingin membungkam omongan tetangga.

Aku jadi teringat perkataan rekanku yang sudah menikah, lalu bercerai, dan kini membesarkan anaknya seorang diri:

“Nikmati dulu waktu singlenya. Lakukan apa yang kamu suka. Jangan menikah hanya karena sudah gerah dengan omongan orang. Omongan mereka tidak akan pernah selesai. Bahkan setelah menikah pun, akan ada omongan lain. Menikahlah hanya kalau memang kamu sadar memilih itu dan siap dengan segala konsekuensinya.”

Malam itu, dari balik dinding rumah orang lain, aku belajar tentang kehidupan. Tentang luka yang diwariskan. Tentang tanggung jawab yang sering diambil tanpa benar-benar dipahami. Dan tentang betapa berharganya keputusan-keputusan besar yang seharusnya dibuat dengan hati yang sadar, bukan hati yang takut.


Love,

Ihat

Sunday, December 07, 2025

Sebenarnya sudah hampir 2-3 minggu aku hiatus dari menulis reflektif di blog, apalagi sejak  aku didiagnosa dan harus menjalani konseling dengan psikiater. Awalnya aku marah dan sulit  menerima kondisi itu. Namun entah mengapa, setelah aku mencoba berdamai dengan semuanya, perlahan perjalanan hidup ini terasa penuh dengan jeda. Penuh tarikan napas panjang,  penuh dengan hal-hal kecil yang terus menerus mengajak aku untuk berhenti sejenak, dan terus mengajak aku untuk memperlambat langkah. 

Ada banyak sekali momen yang mungkin bagi sebagian orang itu kecil, tapi menurutku itu besar. Momen-momen yang mengetuk hati dan terus memaksaku kembali melihat diri sendiri dengan lebih jujur. 

Aku belum bisa cerita tentang kondisi detailnya kepada kalian. Yang jelas, saat ini aku tidak lagi denial bahwa aku memang sedang tidak baik-baik saja, sedang berobat ke psikiater, dan terus melakukan terapi menulis. 

 1. Apa tiga hal besar yang paling memengaruhi emosiku minggu ini, dan bagaimana aku meresponnya?

Tiga hal besar yang paling memengaruhi emoski minggu ini adalah hubungan dengan orang tua yang semakin terbuka sehingga membuat aku lebih cepat mengerti dan menerima masa lalu. Lalu tulisan jahil seorang teman yang entah mengapa berhasil membuat hatiku terenyuh walaupun aku tahu itu ia tidak benar-benar menuliskannya, dan rasa kesal saat seseorang mulai melewati batas yang sudah aku tetapkan. 

2. Pelajaran penting apa yang Allah ingin tunjukkan kepadaku melalui minggu ini?

Minggu ini aku kembali menjalani konseling lagi ke psikiater. Entah mengapa, seharian setelah konseling itu rasanya lelah. Dari situ aku belajar satu hal: Allah sedang mengajari aku untuk bisa lebih berempati dan lebih sayang sama diri sendiri. Semua perasaan itu valid dan aku belajar untuk bisa menerima sekaligus merasakannya tanpa menghakimi diri.

Selain itu, aku juga sadar kalau aku tidak bisa menjadikan kondisiku saat ini sebagai alasan aku untuk berleha-leha atau mencari pembenaran. Meski aku tahu, aku tak bisa sefokus atau semaksimal dulu. Kini aku sedang belajar untuk hidup dalam mode "biasa-biasa saja." Aku lelah selalu berusaha menjadi yang terbaik. Jadi untuk saat ini, tugasku adalah hanya menjalankan tanggung jawab sebaik yang aku bisa, tanpa membenani diri dengan ekspektasi berlebih yang aku buat sendiri. Let yourself be a beginner.

3. Bagian mana dari diriku yang tumbuh, berubah, atau mulai kusadari sepanjang minggu ini?

Jika minggu-minggu sebelumnya aku merasakan numb, semuanya terasa abu-kelabu, kini perlahan entah mengapa seperti ada kepakan sayap kupu-kupu yang menari di dalam kepalaku. Aku mulai tersentuh oleh hal-hal kecil yang dulu, sewaktu aku kecil belum sempat aku nikmati. 

Misalnya, diantar jajan ke alun-alun oleh Bapak, membeli es krim dan memakan bersama keluarga, atau membeli ayam goreng yang bisa dimakan tanpa nasi bersama keluarga. Sederhana, tapi menghangatkan hati. Walau aku tahu, berbicara soal uang tidak ada habisnya, tapi aku tak pernah tahu apakah masih ada kesempatan esok hari untuk aku bisa berkumpul dan menghidupkan haarapan-harapan diriku sewaktu kecil yang belum bisa diraih. 

4. Interaksi atau hubungan mana yang paling membekas minggu ini, dan mengapa?

Hubungan dengan kedua orang tua. Mereka bercerita soal masa lalu, tentang bagaimana mereka dulu dan alasan kenapa mereka memperlakukan aku begitu. Tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar. 

Aku belajar untuk menerima seluruh kebaikan dan kekurangan mereka. Belajar untuk memahami bahwa dalam hidup semuanya datang dengan satu paket. Baik dengan buruknya, lebih dan kurangnya, cinta dan juga benci, bahagia dan juga tangis. Aku sudah menurunkan semua ekspektasi aku tentang orang tua yang dari dulu aku bangun. Tidak ada orang tua yang sempurna. Begitupun aku sebagai anak: tidak ada anak yang sempurna. 

5. Apa satu langkah kecil yang ingin aku lakukan minggu depan agar hidupku lebih selaras dengan diri dan Tuhanku?

Aku ingin bangun lebih pagi dan bisa bercengkrama dengan Tuhanku. Aku ingin berdoa agar suatu saat nanti aku bisa lepas dari obat-obat ini, berolahraga di pagi hari, dan mensyukuri setiap nafas yang telah diberikan-Nya. 

Aku tidak ingin lagi membebani diri dengan ekspektasi-ekspektasi yang terlalu tinggi, tidak ingin menyalahkan rencana-Nya yang jauh lebih indah dari apa yang sudah aku rancang sendiri, serta ingin terus belajar rendah hati dalam menerima dan menjalani apa yang sudah ditetapkan-Nya. 


Sekarang giliran kamu, bagaimana kamu berhasil melalui minggu ini?

Love,

Ihat

What would you say if you could tell every single person in the world just one thing?

This morning, I got that question from 101 Essay that will Change the Way You Think written by Brianna Wiest

If I could tell every single person in the world just one thing, I would say:

“Let people have their space. Let them have their own time.”

There are many people in this world who can respect our choices. For example, when someone needs a moment alone or wants to sit quietly in a corner, others simply let them be without asking too many questions. They understand that needing space doesn’t mean pushing people away.

But in my case, it’s different.

When I take a step back or sit alone for a while, people around me think I’m avoiding them because I’m upset or I hate them. They misunderstand my silence. And in the end, I’m forced to sit in the same room again, pretend everything is fine, and ignore my own need for breathing space.

I don’t like that feeling.

Why is this person so bossy? Why does she feel the need to tell everyone that I “have a problem”? I just needed a moment. I just needed space. But she keeps making it bigger, louder, and more complicated than it is.

At work, there are days when I simply need to be by myself. To recharge, to breathe, to think. But it seems like they never understand that. They always want everyone to gather in the same room, no matter what.

And honestly… it’s exhausting.


-Ihat-

Saturday, December 06, 2025

Photo by daniyal gh

Di kehidupan berikutnya kamu mau jadi apa?

Aku dapat pertanyaan ini dari buku Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya yang ditulis oleh dr. Andreasa Kurniawan, Sp.KJ. 

Kalau dipikir-pikir, dalam Islam setelah mati memang ada kehidupan selanjutnya, yaitu akhirat. Jadi, sebenarnya pertanyaan ini mungkin tidak terlalu relevan ya. Tapi baiklah, kalau seandainya ada “kehidupan berikutnya” dalam arti lain, aku ingin menjadi… burung.

Kenapa burung? Karena aku ingin merasakan bagaimana rasanya benar-benar bebas. Terbang ke sana kemari tanpa batas, tanpa banyak hal yang mengikat. Melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Dari atas pohon, dari tanah, dari atap rumah. Menyaksikan matahari terbit dari ketinggian. Menikmati angin yang menyentuh tubuh tanpa harus memikirkan apa-apa. Sepertinya menyenangkan sekali menjadi burung.

Kadang aku membayangkan, betapa tenangnya hidup jika bisa berpindah tempat hanya dengan mengepakkan sayap. Enggak ada rencana yang rumit, gak ada tekanan untuk selalu kuat, atau beban untuk menjadi versi terbaik setiap saat. Hanya ada aku, udara, dan semesta yang luas. Betapa ringan hidup ketika yang perlu dipikirkan hanya terbang dan kembali pulang.

Kalau jadi manusia ya begini. Banyak aturan, banyak tanggung jawab, banyak hal yang harus dikerjakan dan diurusi. Ada lelah yang tak bisa dijelaskan. Ada ekspektasi, ada tuntutan, ada suara-suara dari luar yang kadang lebih keras dari suara hatiku sendiri. Ruang gerakku sering terasa sempit, seolah aku harus menyesuaikan diri terus-menerus.

Mungkin itu sebabnya bayangan menjadi burung terasa begitu menenangkan; seru, ringan, dan bebas. Seolah aku bisa beristirahat sebentar dari ributnya dunia, dan kembali mengingat bahwa hidup juga bisa sesederhana menikmati angin yang berhembus di antara sayap.

Jadi gimana? Hmm...

Sebenarnya ketika menulis ini aku gak tahu arah tulisannya ke mana. Tapi tulisan ini juga jadi mengingatkan aku bahwa gak semua manusia bisa menikmati angin yang berhembus kan? Kadang kita banyak melewatkannya tanpa sadar. Padahal beberapa waktu lalu, saat aku mencoba menikmati angin secara sadar, rasanya luar biasa… bagaimana angin membelai lembut pipiku, seperti mengingatkan bahwa aku masih hidup, masih bisa merasakan sesuatu.

Ternyata banyak hal yang kita lewati dalam hidup hanya karena kita terlalu fokus pada hal-hal besar. Padahal mungkin, kebahagiaan yang kita cari selama ini tersimpan di momen-momen kecil yang selama ini tak sempat kita hiraukan. 


Cheers, 

Ihat

Monday, November 10, 2025

Photo by Andrea Piacquadio

Menulis itu berarti mengingat ulang, dan tidak semua ingatan itu menyenangkan. Rintik Sedu. 

Semalam aku membaca blognya Rintik Sedu dan menemukan kalimat itu. Rasanya iya betul banget. Kadang yang membuat kita enggan menulis bukan karena menulisnya, tapi karena kita harus siap berhadapan dengan ingatan yang tidak semuanya menghadirkan senyum. Ada bagian dari diri yang masih perih, yang belum siap disentuh, apalagi dituangkan ke dalam kata.

Aku teringat ketika tahun lalu mengikuti sesi konseling bersama psikolog sekolah. Beliau berkata, “Untuk bisa mengenal luka inner child, cobalah banyak mengobrol dengan diri sendiri atau menulis.”

Satu dua kali aku mencobanya. Tapi setiap kali sampai di titik harus mengingat momen yang menyakitkan, aku menarik diri. Aku berhenti menulis. Seolah tubuh dan pikiranku bersekongkol untuk melindungiku dari rasa sakit itu.

“Bu, rasanya menyesakkan setiap kali ingat momen itu,” kataku pelan. “Aku gak sanggup melihat diri aku di sana, apalagi memeluknya.”

Beliau tersenyum lembut.

“Kalau orang sakit terus minum obat, gimana rasanya?”

“Pahit, Bu.”

“Tapi demi sembuh, tetap harus diminum, kan?”

Aku terdiam.

“Sama seperti jiwa kita. Sesakit apa pun, tetap harus dihadapi. Memang terasa sesak saat menuliskan pengalaman yang tak kita inginkan, tapi setelah itu semuanya akan lebih ringan.”

Beberapa waktu setelahnya, sekolah mengadakan IHT bertema “Deep Secret and Inner Child Healing: Learn How to Make Peace with Your Inner Child and Create A Trauma Free Environment for Your Kids to Grow.” Kami diajarkan berdialog dengan diri sendiri, lewat kata-kata, doa, dan tulisan sambil menatap foto masa kecil kami.

Aku mencobanya.

Tapi baru melihat foto itu saja, air mataku sudah jatuh. Dadaku terasa sesak. Aku gagal lagi menjalani sesi terapi menulis itu. Sampai akhirnya kondisiku makin tidak stabil. Emosiku berantakan, pikiranku mudah kalut. Seorang rekan kerja bahkan berkata lembut, “Kamu kayaknya udah butuh bantuan profesional.” Dan benar saja, aku kembali menemui psikolog sekolah.

Sebenarnya aku tahu apa yang harus kulakukan: mendengarkan diri sendiri, journaling, olahraga, beristirahat. Tapi semua itu selalu kuhindari karena aku tak siap menghadapi rasa sakit setiap kali harus mengingat masa lalu. Hingga suatu hari aku sadar: jika ingin sembuh, aku tidak bisa terus berlari dari hal-hal yang menyakitkan.

Aku pun memulai lagi.

Menulis sambil memandangi foto masa kecilku.

Rasanya seperti membuka kembali luka lama yang belum benar-benar kering. Dua jam lamanya aku habiskan hanya untuk menelusuri ingatan-ingatan yang dulu sengaja kupendam. Keesokan harinya, aku mengabari psikologku. Dan beliau membalas dengan kalimat yang membuatku menangis:

“Subhanallah, Solihah. Dengan lembut Allah berkata kepada teteh:
Aku menulis namamu sebelum bumi ini tercipta. Aku merawatmu, menemanimu, menjagamu, dan tak akan meninggalkanmu meski sekejap matapun. Maka maafkanlah segala hal yang menurutmu tak lengkap dan tak sempurna, karena hanya Aku yang Maha Sempurna.”

Sejak saat itu, aku belajar berdialog dengan diri sendiri. Perlahan, setiap kali aku menulis, rasa sakitnya tak lagi sesedih dulu. Setiap huruf yang kutulis seperti menjadi doa kecil untuk jiwaku sendiri. Aku mulai bisa melepaskan, menerima, dan memaafkan terutama memaafkan diriku sendiri.

Perlakuan orang tuaku pun kini berubah. Lebih hangat, lebih menerima, dan lebih penuh kasih. Perubahan itu membuat proses penyembuhanku semakin mudah. Aku merasa Allah memang bekerja lewat cara-cara yang lembut: melalui orang-orang di sekitarku, melalui rasa sakit yang dulu aku benci, dan melalui tulisan-tulisanku sendiri.

Lucunya, kini aku justru kecanduan menulis. Setiap kali perasaan datang dan aku tak tahu harus berbicara pada siapa, aku menulis. Kadang tanpa arah, tapi selalu berakhir dengan kelegaan. Aku sadar, menulis bukan sekadar kegiatan menuangkan pikiran, melainkan proses berdamai dengan masa lalu, dengan diri sendiri, dan dengan takdir.

Menulis itu memang mengingat ulang. Tapi dari setiap ingatan yang kutulis, aku belajar satu hal: bahwa Allah tidak pernah salah menempatkanku di jalan hidup ini. Ada rasa sakit, ada kehilangan, ada luka tapi di antara itu semua, ada pertumbuhan. Dan setiap kalimat yang kutulis adalah bentuk kecil dari kepercayaanku bahwa setelah setiap perih, ada kesembuhan; setelah setiap tangis, ada ketenangan. 

Kini aku tak lagi menulis untuk melarikan diri, tapi untuk pulang. Pulang kepada diriku sendiri.


Love,

Ihat




Sunday, November 02, 2025

Photo by Andrew Neel

Tepat dua bulan yang lalu aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan dia. Seperti yang ditulis Brianna Wiest dalam bukunya 101 Essays that will Change the way You Think,

It's intersting to think about how we make people who used to be everything into nothing again.

Dan mungkin inilah bagian paling berat dari proses melupakan: meski tidak bisa benar-benar ada yang lupa, tapi tentang membiasakan diri dengan kondisi baru. Dia yang dulunya sangat berarti dan hadir setiap hari, kini tidak ada lagi dan kebiasaan-kebiasaan yang pernah dilakukan bersama tentu harus berhenti. 

Sudah dititik lelah dan kami memang tidak memiliki tujuan yang sama. Dia yang hanya ingin sekedar menjadi teman saja tanpa melibatkan perasaan, sedangkan aku? Tentu, perasaan itu terlanjur tumbuh seiring dengan banyak hari yang dilalui bersama dengan cerita dan pengalaman yang sering dibagi satu dengan yang lainnya. 

Ini bukan yang pertama kalinya aku memutuskan untuk meninggalkan dia. Dulu pun sempat begitu, namun aku tergoda untuk kembali menghubungi dia dan kami menjadi akrab kembali. Dengan harapan dia bisa berubah perasaannya. 

Sayang seribu sayang, I wasted my time. Dengan berat hati dan belajar untuk memprioritaskan diri sendiri akhirnya aku kembali memutuskan itu. Meski terkadang di awal terasa berat karena tidak terbiasa dengan rutinitas yang baru, aku terus memaksakan diri aku untuk mulai terbiasa dengan itu semua. Yang biasanya cerita dan berkeluh kesah, atau sekedar mengirim foto tentang pekerjaan kini tak ada lagi notifikasi tentang itu. Yang biasanya perasan-perasaan aku divalidasi oleh dia, kini mau tidak mau aku harus belajar untuk memvalidasi perasaan aku sendiri oleh diri aku sendiri tentunya. Aku tak bisa terus menerus bertumpu dan bersandar pada orang lain. Meski orang itu memberikan kamu kenyamanan, mampu memahami kamu dengan baik, selalu ada kapanpun kamu membutuhkan dia, kalau pada akhirnya dia tidak memiliki niat baik untuk hidup bersama dengan kamu buat apa? Aku tahu aku sadar. He is my type. But then, once again. We haven't both got same intention. 

Even we ended, the memories: there are always those bits that linger, on the places you went and the things yous said, and the songs you listened to remain. 

Sabtu kemarin, tidak sengaja aku mendengar lagu We Don't Talk Anymore - Charly Puth, Selena Gomez di teachers room. Aku terdiam. Yang dulunya terbiasa saling mengabari, kini hanya saling melihat di story instagram. Aku akui, ada perasaan menyusup yang kadang mendorong aku untuk menghubunginya kembali. 

Setelah dihubungi, terus mau apalagi?

Mau melukai diri kamu sendiri sama harapan yang kamu buat sendiri?

Jelas-jelas dia hanya ingin berteman sama kamu. Gak lebih. Kalaupun dia sebaik itu sama kamu, seperhatian itu sama kamu, ingat. Hatinya masih ragu sama kamu, dan tidak pernah mau memperjuangkan kamu. Bukankah jika kedua orang ditakdirkan untuk bisa bersatu, keduanya akan saling memperjuangkan bukan? 

Aku kembali mengurungkan niat itu. Dan hanya melihat profil instagramnya sesekali. Meski tidak ada new udpate. Karena memang dia tidak suka update terkait kehidupan dia di sana. Tapi saat ini aku bersyukur pada diri aku sendiri karena aku bisa meredam keinginan itu. 

Aku tahu, aku terima, dan aku sadar. Aku tak akan pernah bisa benar-benar melupakan dia. Apalagi dia adalah laki-laki pertama yang mampu membuat aku merasa dihargai, dilihat, dan didengar. Meski begitu, aku yakin. Kita yang pada awalnya asing, akan kembali menjadi asing. Bedanya dulu tanpa kenangan, kini kenangannya akan tetap melekat ada. Walau begitu, semuanya akan pudar seperti sebelumnya. Kelak, jika kita bertemu ataupun harus kembali berkomunikasi kita akan memulai seperti sebelumnya tidak kenal satu sama lain.

We all start as strangers, but we forget that we rarely choose who ends up a stranger, too. - Brianna West -

Dari dia aku belajar, bahwa sampai kapanpun ternyata hanya diri sendiri yang mampu menemani dan tidak akan pernah meninggalkan.  

Hi,

I miss you. 

And how are you? Hope you're doing well. 

Thank you for coming into my life. 

Thank you for being my best friend for two years. 

Talking, sharing, laughing, and crying with you are such beautiful memories that will be kept in my heart. Event hough, I have to learn to let you go and I know I'm not good at it. 

I write it because I miss you. 

I realize that we don't share the same intention, and thus why we couldn't meet at the same point and fight for it together.

Hope you can find the right one for you, and I do, too. 


Love,

Solihat



Monday, October 27, 2025

Photo by Pixabay

Hari Minggu sebentar lagi berakhir, dan itu artinya Senin sudah menunggu di depan mata. Kembali lagi bekerja, kembali lagi ke rutinitas.

Ada beberapa hal yang ingin aku highlight selama satu minggu ini. 

Pertama, perasaan aku yang mudah berubah. Apalagi kalau si anxiety ini kambuh. Rasanya kayak aku gak bisa fokus sama apa yang harus aku kerjakan atau yang ingin aku sampaikan. 

Kedua, kalau mood aku lagi bagus, biasanya akan lebih mudah buat aku untuk menghadapi hari dengan lebih tenang. Rasanya semua if if an dalam kepala itu berhenti sejenak dan hilang entah pergi ke mana. 

Ketiga, selalu saja ada momen yang menjengkelkan, bahkan di saat kita udah berusaha untuk menjaga sikap kita sebaik mungkin.

Keempat, tentang usia aku yang 28 tahun dan belum juga menikah. Tentang doa dari senior aku di tempat kerja, dan juga tentang perceraian para artis yang entah kenapa ikut memantul di pikiranku. 

Tentang Mood Swing dan Anxiety

Entahlah. Aku juga sedang tidak faham dengan diriku sendiri. Kadang ada aja hal yang bikin aku merasa kayak degdegan gak karuan, panik gak jelas, atau cemas berlebihan setiap kali menghadapi tantangan baru. 

Semakin aku belajar menerima tentang perasaan ini, semakin aku sadar dan faham bagaimana hal ini bisa muncul dan bagaimana cara meng-handlenya.

Contoh kecilnya,  setiap kali aku mendapatkan tugas baru, otakku langsung overthinking kayak aku tuh merasa aku udah ada di moment itu dengan kejadian-kejadian yang mengerikan dan itupun dibuat oleh fikiran aku sendiri. Alhasil, bukannya aku siap-siap, aku malah banyak menunda. Alasannya? 

"Ah susah." 

"Ribet." Atau, "nanti aja." 

Dan itu tuh terus menerus berputar-putar di kepala gak berhenti. Makannya sedikit demi sedikit setiap ovethinking aku kambuh, termasuk anxiety nya aku paksa diri aku dengan cara memulai untuk membuat persiapan. Daripada bingung di kepala dan tidak ada action yang ada malah overthinking dan anxiety ternyata dengan cara kita melakukan hal-hal tersebut untuk persiapan justru perasaan-perasaan itu berkurang dan aku bisa menemukan cara dan solusinya bagaimana. Nah dari hal tersebut, pada akhirnya membuat aku sadar, setiap kali perasaan aneh itu muncul mau tidak mau aku harus menuliskan apapun dalam selembar kertas, agar semua perasaan-perasaan negatif itu bisa terkendali. 

Terakhir aku kasih afirmasi untuk diri aku.

Ingat, yang bisa aku kendalikan hanyalah aapa yang aku persiapkan dan aku sampaikan. Sisanya, apakah orang akan faham atau tidak, komentar orang baik atau bagus, berhasil atau tidak itu di luar jangkuanku. Fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan. Jangan ambil peran Tuhan. 

Menjaga Mood

Agar mood nya bagus jangan lupa bangun lebih awal, salat tahajud, sat-set di pagi hari, menyisihkan waktu 20 menit untuk ngobrol sama orang tua, dan jangan lupa ucapkan alhamdulillah walau kamu tahu perasaan-perasaan negatif itu selalu datang. 

Kuncinya tetap sama: Fokus pada apa yang bisa aku kendalikan. 

Tentang Pertanyaan "Kapan Nikah?"

Entah kenapa, seminggu ini beberapa orang menyinggung aku soal "menikah." Senin lalu, senior di tempat kerja memberi aku dari seorang ustadz doa untuk meminta jodoh yang didapatkannya dari pengajian semalam. Satu hal yang membuat aku bisa menerima adalah beliau tidak menjudge aku dengan hal lain, atau menyudutkan aku lantaran aku belum menikah. Beliau dengan sopan menasihati aku untuk terus mengamalkan doa itu dan tidak menutup peluang untuk siapapun yang datang. 

Tapi pengalaman yang paling bikin aku kesal di minggu ini dan bikin aku uring-uringan di jalan adalah saat bertemu sahabat lama di toko buku. Moment yang seharusnya menjadi momen temu rindu ini malah jadi moment yang menyakitkan. 

Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut dia seteah kami saling sapa tanya kabar adalah,

"Kamu udah nikah belum?"

Meski agak kaget dan langsung ditodong pertanyaang ini, okay. Ini pertanyaan basi dan aku sudah sering mendapatkannya. Dan pertanyaan ini masih bisa aku toleransi. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan soal sahabat-sahabat kami yang lain yang semuanya udah punya anak dua. Dari 4 orang yang dulunya bersahabat ketika SMA, hanya aku yang masih single, belum menikah dan tentunya juga belum punya anak. Dalam hati, ini maksudnya apa sih ngomong-ngomong begini? Terus dia bilang intinya serba kapan. Belum lagi nyinggung soal pakaian aku yang pada saat itu aku pakai celana jeans longgar, sementara memang dia sudah berpakaian syar'i. Dalam hati ngapain sih udah lama gak ketemu malah bahas ginian, orang aku juga gak bahas yang aneh-aneh. Cuma nanya anaknya siapa namanya, kabar dia. Malah dia yang banyak nyeroscos. Sampai pas aku pamitan pulang duluan, dia malah bilang, 

"Sibuk ngejar karir mulu ya." Rasanya bak dihantam palu, aku tak menggubris ucapannya dan langsung bersalaman pulang. Begitu pulang dan selama di jalan rasanya aku udah pengen meledak nangis. Ini orang setelah hampir bertahun-tahun gak ketemu, eh sekalinya ketemu malah ngobrol gitu? Hei! You have no idea what I've been through. Emangnya perkara cari jodoh cuma nunggu di rumah, cari laki sana sini tanpa bekerja? Sorry to say, but I've been living on my own financially. If I want to treat myself, I need to work for it. 

Sebegitu sampai di rumah, aku nyeroscos gak karuan dihadapan orang tua aku sambil nangis. Aku kesal dengan perkataan orang tentang hidup aku. Sampai bisa dititik ini juga butuh perjuangan besar untuk aku bisa melewatinya. Bisa tetap hidup, tetap waras, masih inget Allah dan yakin sama apa yang sudah digariskan-Nya juga itu sudah pencapaian besar buat aku. Dan akupun gak perlu membeberkan itu semua kepada dunia bukan?

Destinasi dari hidup juga bukan hanya soal menikah, banyak kebaikan lainnya yang bisa kita lakukan. Kenapa sih orang-orang tuh rese kalau lihat kita belum menikah atau masih jomlo gitu? Kayak aib banget kelihatannya. Bantuin cariin jodoh aja kagak, apalagi bantuin biaya resepsi sama nanggung biaya kehidupan pasca menikahnya.

Mana ngobrolin soal yang lain udah punya anak 2 dan aku belum. Ini akan menjadi momen yang sangat menyakitkan kalau posisinya aku sudah menikah dan belum punya anak. Huhuuu. 

Mana isu perceraian semakin meningkat. Dari selebritis aja, Raisa misalnya. Kadang aku sadar gitu ya, pernikahan itu bukan hanya soal status: pindah dari single jadi married, bukan. Tapi soal tanggung jawab, komitmen, dan kerja sama. 

Aku tumbuh dengan melihat Bapak yang bisa masak, beres-beres rumah, gak pernah ribut sama mamah di depan anak-anaknya, selalu menomor satukan keluarga, act of service, gak banyak nuntut ke istri, urusan rumah itu dikerjakan bersama, tidak merokok, membuat aku punya standar tertentu dalam memilih pasangan. Dan aku rasa, itu bukan sesuatu yang salah. 

Terima Kasih, Diri Sendiri

Aku mau mengucapkan terima kasih buat diri aku yang terus menerus mau belajar untuk mengenali diri sendiri dan tetap tawakal kepada Allah. Karena pada hakikatnya kita ini lemah dan butuh sekali sandaran kepada dzat yang tidak pernah mengecewakan yaitu Allah SWT.

Dan juga jaga lisan. Jangan pernah judge kehidupan orang lain. Kita gak pernah tahu seberat apa mereka memperjuangkan hidup mereka.

Ketiga, aku pengen bilang: I really love my parents. Terima kasih karena selalu ada dan mendengarkan. Tidak pernah menyudutkan atau menyuruh aku untuk cepat-cepat menikah meski aku tahu jauh di lubuk hati mereka pasti mereka khawatir, namun mereka percaya bahwa menikah bukan soal cepat, melainkan soal kesiapan dan pilihan yang tepat.


Love,

Ihat

Saturday, October 11, 2025

Photo by Anna Tarazevich


Yesterday was a hard day for me. I felt out of sorts, sluggish, unable to open my hand to the day’s offerings. Perhaps it was just the cumulative weight of things unknown and things missing. I couldn’t name it and that’s why I went to write. Not to clarify things, but simply to release them.

Sometimes, I feel like I spend my days living with my head in the past or the future, forgetting about the present. When I do this, I miss out on the moment that’s right in front of me. A moment that could be filled with joy or peace. A moment where I could be fully engaging with my family or friends, focusing completely on what I’m doing, or simply observing the beauty of the world around me.

Maybe that’s why I often find myself complaining about life.

One of my friends once said,

“Don’t fight the current. Just follow the flow, be sincere, and let go. The more you fight it, the more exhausted you’ll become.”

Another friend told me,

“Why don’t you allow yourself to be a beginner? Try to accept who you are and where you are now. If you’re in a new environment, it’s normal to be a beginner who doesn’t know much yet.” 

“Everyone starts somewhere. The people who seem to be doing well today also went through this phase before. Don’t compare your journey with others. Focus on your own process. Everything takes time.”

I went silent after hearing their words. The more I resisted my current situation, denying where I was and forcing myself to be capable right away, the heavier I felt. I didn’t give myself the space to move slowly. I couldn’t run, and even walking felt difficult.

Learning to accept what I have now hasn’t been easy. It took days, even weeks, to train myself to truly accept and make peace with the destiny that Allah has planned for me. But when I finally did, something magical happened. Life that once felt heavy slowly became lighter. Small things started to feel meaningful again, like the presence and support of my parents. Maybe it’s because I’ve learned to say, “Okay, this is just a part of my life, part of my process. Nothing is permanent, and everything in this dunya is temporary.”

Of course, I’m still learning. There are days when I face old triggers and start blaming myself again. But the intensity has decreased, and now I can handle those uncomfortable emotions better.

I’ve started to accept both my strengths and weaknesses. I’ve realized that everyone has their own flaws. No one is truly “better” than others, because in the end, we are all just Allah’s creation: we are weak.

Learning to enjoy the process is hard. There are still moments when I ask myself, “What if I fail? What will people say?” But now, those doubts are answered with calm: “If you fail, it’s okay. Try again.”

No one succeeds in just one try. It takes dozens, hundreds, or even thousands of attempts before success finally comes.

So for now, I remind myself

Just live in the present momentYou can’t live in the past because you can’t change it. And you can’t live in the future either because it’s not guaranteed to come.


Love,

Solihat



Saturday, September 20, 2025

Photo by Pavel Danilyuk

One thing that I have to be grateful for is my parents' support. They are the reason I can keep going when everything feels heavy.

Saat aku udah sering banget complain soal hidup ini, baliknya aku ke kampung halaman lantas tak membuat aku rehat sejenak. Aku kembali diberi pekerjaan dari pagi sampai malam yang benar-benar menguras seluruh tenagaku. Itu membuat aku bertanya-tanya. Kenapa harus begini? 

Jika ditanya mengapa demikian, ya honestly I need money. Selain itu juga kesempatan datang pada saat aku hampir menyerah, namun ternyata Allah kasih aku jalan lain. Seolah Allah gak mau aku cuma diam aja, Allah mau aku terus berjuang. Jadi antara kebutuhan dan kesempatan, aku dipaksa untuk memilih tetap berjuang.

Dan kamu tahu? How my parents' responses?

Mereka benar-benar mendukung keputusan aku, mendukung kegiatan aku walau jika harus dilihat secara materi ya kurang lah. Kami sadar, secara ekonomi kami pun masih kekurangan. Keuda orang tuaku mendukung aku bukan karena secara materi, tapi karena mereka percaya pada usaha aku. 

Padahal jadi guru di negeri ini banyak risikonya, bukan cuma soal gaji aja ya. Tapi kenapa mereka setulus itu buat dukung aku menjadi seorang guru? Yang di negeri ini sendiri, kesejahteraannya pun tidak diperhatikan. Bahkan saat ini, profesi guru jadi mengancam jiwa. (Lihat kasus MBG, guru yang keracunan makanannya), atau mungkin menjadi sasaran amukan orang tua kalau dapat laporan yang enggak-enggak dari anaknya.

Something that makes me sad is when my father always companies me to work. Rasanya gimana gitu.  Atau mamah yang kini lebih khawatir apalagi dengan pekerjaan aku dari pagi sampai malam. Cucian aku aja dicuciin huhuuu meski udah disimpan di kamar, tetep aja malah diambil. Yallah. Sikap mereka bikin aku terharu sekaligus merasa bersalah. Aku pengen banget bisa balas kebaikan mereka.

I know this life is heavy, tapi keberadaan mereka sungguh membuatku selalu terus mencari cara ataupun jalan untuk bertahan atau berjuang. Aku mungkin belum punya pasangan, tapi dengan kehadiran mereka yang tidak pernah menuntut, mendukung setiap keputusan anaknya selama itu di jalan yang benar, bagi aku itu adalah suatu bentuk rezeki yang sangat mahal harganya. 

Setiap kali diantar jemput oleh Bapak, rasanya hati aku kayak teriris perih. Kayak, kapan ya aku bisa ngasih mereka lebih biar mereka gak perlu bangun malam buat persiapan jualan? Tapi di balik rasa sayang itu, ada juga rasa tidak mampu yang terus mengantui aku. 

Lagi dan lagi.

Aku pun belum bisa. Aku saja masih berjuang untuk hidup aku.

Sejatinya, mereka gak pernah minta tapi ya tetep namanya anak, apalagi anak pertama pasti pengen banget bisa ngasih banyak buat mereka. 

Ya Allah, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Sungguh, saat ini aku benar-benar sedang kehilangan arah. Apa yang aku cita-citakan sedari dulu kini rasanya hambar, tak terasa berwarna dan aku bahkan sering mengeluh ingin minggat dan banting setir dari pekerjaan aku sekarang.

Tapi, lagi dan lagi.

Naluri selalu berkata lain. 

Aku gak tahu harus berjalan ke arah mana lagi. 

Aku lelah, aku ingin menyerah.

Namun di saat demikian, semangat dan dukungan mereka yang sering kali menjadi api pemantik untuk semangat aku yang hampir padam.

Bapak pernah bilang, sama seperti saat kamu sedang mengayuh sepeda, kamu hanya butuh untuk terus mengayuh sepeda seterjal apapun perjalanannya supaya kamu bisa sampai. Tapi kalau kamu memilih untuk berhenti dan turun, lantas apa bisa kamu bisa sampai ke tempat tujuan kamu?

I know, that is not easy as what my father said.

Tapi kenyatannya begitu. 

Kalaupun saat ini aku tidak tahu ini arahnya ke mana, rencana-rencanaku gagal dari apa yang sudah aku rencanakan. Aku lupa, bahwa dalam hidup ini sudah ada yang mengaturnya. Sudah ada yang lebih hebat dalam membuat rencana. Aku lupa bahwa selama ini ternyata ibadahku, salatku belum sepenuhnya karena Allah. Masih hanya berupa ritual untuk menggugurkan kewajiban. 

Buktinya? Aku masih meragukan hal-hal yang terjadi padaku. Aku terus merasa gagal padahal aku tak punya kuasa untuk menjadikan apa yang aku inginkan itu bisa terwujud. Padahal saat kita salat, doa-doa yang kita untaikan dalam bacaan salat itu maknanya adalah menyerahkan segala urusan kita kepada Allah. 


إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

See? Lantas kenapa dalam menjalani kehidupan ini sering kali kita masih mencari atensi manusia? Masih mencari validasi orang lain? Masih melihat ukuran kesuksesan orang lain yang pada akhirnya membuat kita lupa untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang sudah diberikan oleh Allah?

Aku tahu, aku terima semua perasaan yang tidak nyaman ini. Aku kebingungan, aku ragu, aku ingin menyerah, aku ingin jawaban itu ada saat ini....

Yallah.

Aku tak tahu harus berbuat apalagi.

Aku tahu dan aku terima perasaan kecewa ini.

Tolong jangan biarkan aku berjalan sendiri. Kalau kamu baca ini, doakan aku ya. Semoga aku diberi jalan yang terang.


Love,

Solihat




Wednesday, August 27, 2025

Photo by may day.ua:

Beberapa hari tidak menulis justru membuat fikiran berisik tak karuan. Maka dari itu, menulis buat aku adalah healing terbaik dan juga mudah. Kamu hanya perlu menuangkan seluruh isi kepalamu ke dalam kata-kata yang dirangkai hingga menjadi kalimat tanpa perlu merasa ini benar atau salah. Karena semua perasaan yang kamu rasakan itu valid, and that's normal.

Kalau ditanya, how was your week?

I'm so grateful for this week. 

Meski hidup memang gak bisa ditebak arahnya ke mana. Waktu itu aku mintanya buat istirahat dulu, tapi ini malah dikasih wahana roller coaster. Aku masih ingat, waktu aku bilang aku gak mau dulu jadi guru, eh yang terjadi malah sebaliknya. Aku masih saja diterima di pekerjaan yang sama. Padahal dalam hati udah yakin, kayaknya gak bakalan keterima deh. Tapi qadarullah, ya tetap keterima. Allah masih tuntun aku di jalan ini.

Lucunya ketika aku merasa tidak mampu dan aku sampaikan semua itu kepada atasanku, justru atasan aku hanya tersenyum dan bilang bahwa aku itu memiliki potensi dan kemampuan yang selama ini akupun tak mampu membacanya sendiri. 

Belum lagi, serangkaian kegiatan PPG yang mengharuskan aku mau tidak mau harus punya sekolah. Kesibukan akupun bertambah. Tidak hanya menjadi guru di kursusan, akupun kini menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar negeri. Dan aku merasakan sendiri bagaimana rasanya digaji kecil. Pagi sampai siang aku di sekolah, lanjut sore sampai malam itu di kursusan. Capek? Jangan ditanya. Gaji nyampe sebulan 10 juta? Hahahaaa. Enggak juga. Kadang pengen ngeluh, tapi ya mau gimana lagi. Harus dijalani. Sempat mikir, apa karena aku gak layak jadi di gaji kecil gitu ya? Biar bisa sebulan dapet 2 juta aja ampun kerjanya harus banting tulang dari pagi ampe malem. Tapi setelah obervasi dan cari info sana-sini, emang sistemnya udah dibuat kayak gini di Indonesia. Ya buktinya aja yang ada di atas, gajinya aja selangit, sementara kami? Kamu jawab sendiri aja deh.

Ya sudahlah, tak ada habisnya mengeluh soal negeri ini. Meski dicurangi oleh pemerintah sendiri, satu keyakinan aku. Apa yang menjadi milik aku tidak akan pernah tertukar. Dan hanya Allah yang menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Kalau para pejabat itu bisa berkelimpahan harta dari cara yang haram, ya mereka juga akan menanggung semua itu kok. Kalau gak di dunia, di akhirat udah pasti gak akan bisa berkelit dan mengelak.

Meski capek, ada rasa haru dan bahagia saat melihat anak-anak sekolah, belajar. Ada siswa yang bela-belain salam sama aku sebelum dia masuk kelas. Dia berjalan ke lapangan untuk bisa bersalaman dengan aku, kemudian menyapa aku dengan bahasa Inggris.

"Good morning, Bu." Katanya sambil tersenyum malu-malu. 

Ada juga yang menulis bahwa dia ingin pintar seperti aku. Padahal aku juga gak pintar-pintar amat kok. Aku cuma senang belajar aja. Atau anak TK di kursusan yang menegur aku, 

"Ms, matanya jangan dikucek. Nanti perih, sakit."

Aku terdiam. Lalu tersenyum. Ada perasaan hangat yang menyusup dalam hati. 

Ah, entahlah. Aku juga aneh. Di saat aku ingin berhenti, tapi Allah tidak menginginkan itu. Justru dengan semua kesibukan yang Allah beri, perlahan Allah sembuhkan aku. 

Selain itu juga, kembali mengajar di sekolah lamaku dulu mempertemukan aku dengan teman lamaku yang juga dulunya adalah saingan langganan di kelas. Dia sudah lebih dulu mengabdi di sekolah ini. Satu minggu kemarin jika ada kesempatan untuk mengobrol, tentu kami akan bernostalgia dan sesekali update mengenai kehidupan kami masing-masing. 

"Kalau harus beradu nasib, ya semua orang juga sama. Punya masalahnya masing-masing. Gak ada yang mendang-mending, semua sama. Hanya persoalannya saja yang berbeda. Kalau saya harus cerita, sama. Kehidupan saya juga susah."

"Btw, kamu lagi deket sama siapa?"

Aku jawab aku lagi gak deket sama siapa-siapa. Tapi temanku itu gak percaya. Sampai akhirnya aku bilang bahwa aku lagi berteman dekat dengan seseorang.

"Ini sih saran saya sebagai laki-laki. Kalau dari awal dia gak ada niatan serius, mending tinggalkan. Karena tanpa sadar kamu sama dia udah bikin ikatan yang kuat. Saya takutnya kamu jadi buta sama kemungkinan lain."

Akupun terdiam.

Aku tahu, aku nyaman sama orang ini. Aku merasa nyaman, aman, dan juga bisa menjadi diri sendiri. Tapi untuk apa semua itu kalau dia memang tak ingin menjadikan aku sebagai bagian hidupnya? Kalaupun memang rintangan ini terlalu besar dan dia enggak sanggup, harusnya dia juga gak egois dong untuk tetap minta aku menjadi teman dia? 

Obrolan dengan teman aku ini membuatku berfikir. Apalagi saat dia bilang dia tak bisa menelfon aku karena ada kakaknya yang sedang datang ke rumahnya. Besoknya sama, dan aku sampaikan aja pembicaraan aku dengan teman aku itu ke dia.

Dan ya. Dia tetap dengan pendirian dia bahwa dia hanya ingin berteman saja denganku. Meski aku sudah tahu itu yang akan menajadi jawaban dia, tapi dengan melihat perubahan dia selama ini aku memiliki setitik harapan. Harapan bahwa bisa jadi perasaannya saat ini mulai berubah. Tapi kenyataannya? Tidak. Perubahan yang dia kasih buat aku ternyata gak menjamin bahwa perasaan dia berubah juga untuk aku. Maka dari itu, daripada aku harus drama lagi dengan dia seperti dulu dengan cara aku memblokir dia, perlahan saja aku mundur. Seperti mengurangi intensitas komunikasi dengan dia, tidak terlalu excited lagi dengan kehidupan dia, walau jauh dari lubuk hati terbesar aku, aku masih ingin tahu banyak hal. Hanya saja... Semakin aku tahu, semakin aku tersesat dan sulit untuk pulang. 

Aku tahu ini gak mudah. Tapi aku pun harus tegas dengan diriku sendiri. Buat apa tetap sama orang yang dia sendiri gak mau kamu ada dihidup dia? Buat apa saling support, saling berbagai soal kehidupan kalau nyatanya sampai akhir dia tetap bersikukuh bahwa kamu hanya jadi second lead? Bukan jadi main lead? 

Usiaku 28 tahun.

Karir aku berantakan.

Tabungan aku habis gak karuan.

Gaji juga alhamdulillah pas-pasan.

Kisah cinta yang menyedihkan.

Hahahaaa.

Ya, sudahlah. Mari tertawakan saja.

Aku jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat ada yang memanggil namaku secara lengkap, dua kali lagi.

Aku terdiam cukup lama untuk mengingat nama orang yang memanggilku. Ternyata dia adalah teman satu kelas aku dulu, dan rupanya dia sedang menunggu jam kepulangan anaknya.

"Udah nikah belum?" Lagi dan lagi, pertanyaan ini. Batinku.

"Belum," jawabku sambil senyum.

"Ih kenapa? Oh, ini ya fokus karir dulu ya. Soalnya kan kamu dari dulu emang pinter."

Aku tersenyum walau dalam hati aku meringis. Gak gitu juga. Hei!

Pada hakikatnya kita semua ternyata saling sangka ya soal kehidupan kita masing-masing. 

Yang dilihatnya enak, ternyata enggak kok. 

The grass is always greener on the other side. 

Kira-kira begitulah.

Ya sudah, aku tak mau berlama-lama galau. Aku masih butuh duit buat hidup ini. Hahahaa. 

Mari kita tertawakan semua hal-hal yang mungkin terasa menyedihkan ini. 

Oh iya, minggu kemarin juga ada satu hal yang bikin perasaan aku campur aduk. Pada saat Mamah bela-belain nganter aku buat beli beberapa keperluan untuk mengajar. Baru kali itu, aku lihat Mamah se-excited pas memilih barang-barang. Tapi di saat yang sama aku juga sedih, karena aku belum punya cukup uang untuk bisa bikin mamah beli barang yang dia suka. Walau aku tahu, mamah gak pernah minta itu dari aku. Sampai akhirnya mamah tanpa sadar bilang, 

"Mamah itu seneng kalau belanja sama kamu. Soalnya bisa lihat barang-barang dan milihnya lama, jadi punya banyak pilihan." 

Aku terdiam. Kata-kata sederhana itu menyusup ke dalam hati. 

Tarik nafas. Hempaskan perlahan.

Aku cuma mau bilang sama diri aku,

Thank you for choosing to keep moving forward and keep learning. Because, as long as you live, challenges will always come and go. Remember, never stop learning, because life never stop teaching. I know, it is hard for you. But remember. You have Allah who always guides and accompanies you in every situation. Allah trusts you to go through this life. So please, don't underestimate yourself. Just seek for His sake, not human validation or appreciation.

Cheeers,

Solihat

Tuesday, August 12, 2025

Photo by cottonbro studio


When I once asked him, "How do you define success in life?"

He answered,

"Sometimes, a simple thing is a success. Sometimes I don't have specific goals, but I have dreams. If they come true, I will be happy. I am  not overthinking about the future now. I live my days as they come. I don't know where I will end up, but I always remain optimistic about the best."

I was quiet. I never imagined his answer would be like that. 

A simple thing is a success.

Sometimes, we forgot to appreciate ourselves for the small things. We only focus on the big achievements, forgetting that the big things never come without the small steps. In today's world, scrolling through social media and seeing many different people living what appears to be seemingly perfect lives. Maybe some of us find ourselves trying to copy them by buying expensive things, going to abroad for vacation, and posting pictures on our social media to get "likes."

I have to admit, there were times I tried like what they did. But in the end? I felt like I was chasing something I could never fully become.  I can't be someone's life. I used to think that success meant when you can achieve something big, earn much money, or you can buy an expensive car or house.

But then, I understood.

We can't define our success based on someone else's standards. Often, we are so focused on the result that we forget to value the journey itself: the effort, the prayers, the patience, and the growth align teh way. We tend to rush, hoping everything will fall into place as soon as possible.

From his statement, I realized that I rarely appreciate myself for the small things. I have been so focused on the big goals then I end up overthinking. Now, I am learning to slow down, acknowledge my progress, and celebrate even the litte victories. Because sometimes, those small things are the real definition of success.

There is no "late." I only know one thing about myself: I have dreams, and I will fight for them with patience. My time will come.

Be patient, dear one. 

Accept where you are today, because growth take times. You are not defined by the end result. You are defined by the efforts you give and the love you share to others. 

You cannot define your worth by the end results of your efforts: because you are not the author of your life. God is.  

-Rara Noormega-


With love,

Ihat

Saturday, August 09, 2025


Photo by Anna Tarazevich

I really didn't know myself at that time.

When I got the invitation, my first thought was, I can't do both at the same time. So, I chose to let one go. 

Then, I made a decision. One so reckless that it made my manager angry with me. When she asked to discuss it again, she eventually uncovered something I had been hiding, something even I didn't fully understand. 

I cried in front of her. I poured out all of my fears about the future. The fears that might never even happen. She just listened. She understood the reasons behind my decision, reasons I counld't even put it into words before. 

Afterward, my friend told me, "You live in the future." She was right. I was overthinking things that weren't even certain. She had been in my position before, so she understood me deeply. She reminded me  to live in the present. Not in the past. Not in the future.  She said that I was putting everything on my plate at once. And that's way I felt so suffocated. 

Later, when I called him yesterday, I was so angry about his decision. I tried to calm myself, but deep down, the only things I wanted to hear from him was.

"Will you wait for me? So I'll save what I have and find a way to bring you here."

When I started talking about random things, he told me I was overthinking. At that moment, I denied it. But eventually, I realized. He was right. I was overthinking. Overthingking means I've been living in the future. 

"All these decisions that I implemented are for you. You shouldn't lie to yourself. Think about it wisely and clearly. It's about you and your future. Think wisely and see what works for you."

What makes me so grateful is that he never leaves me. No matter what state I'm in. I know my life feels messy. I'm trying to fix it, to embrace it, and to accept it. But, it's not as easy as people say. I still go through trial and error, but he always says, "That's okay."

Now, I'm teaching myself to stay in the present. To aprreciate what I have right now. To focus on what I'm doing now. Not to worry too much about the future, and not to regret what has already happened in the past. Because I can't control the future and I can't change the past. 

Hi, Ihat

I know this isn't easy for you. Please, be patient. Everything will bloom in the right time. Don't rush. Slow down. Accept what is, focus on what matters now.  You don't have to compete with anyone else's life. It's just you! Only you. Compare yourself only with you were yesterday. Keep going, even if it's just one small step each day.

"It doesn't matter if there are mistakes. What matters is that you are on the right path. We all make mistakes, but we must not fail. We must continue moving forward."

Then, he said,

"The nice thing I like about you is that you accept advice."

Hmm..hm...


Love.

Ihat





Photo by Wendelin Jacober

I know.

I know what I feel. 

I was angry when reality slapped me again. When he said that we would never meet in real life. Because for him,  the problem is our financial situation, our distance, and how hard everything would be.

Yes, he is a realistic person. Very different from me. I'm a dreamer.

Maybe last week, I enjoyed sharing everything with him over the phone. I still remember when he told me for the first time that he was comfortable with me. He even said that I was part of his private life, something he never shares with others. We talked for almost two hours.

But, tonight. I don't know why. Our conversation shifted to us, about the future. I asked him again, "Is it okay if I'm with someone else?" And he said, "Yes."

We know, we hurt each other. We know, we need each other to support. But again, reality reminded us that wanting something and making it happen are two different things. 

I do understand all of that. But deep down, the only things I wanted to hear from him was.

"Will you wait for me? So I'll save what I have and find a way to bring you here."

Just that. Then, I would wait.

But for him, it's not that simple.

He's so realistic. He doesn't want to make a promise he can't keep.

Again.

I asked him, courious about his feelings.

I know that he has another friend from another country. He said that he rarely texts her. Then, I asked  something more personal. He said,  he only shares that kind of thing with me. 

So I asked him, "Am I special to you?"

I knew it would be  hard for him to admit it. He tried to change the subject, but in the end... yes, he admitted I am special to him. 

Argh, I don't know what to feel. I'm happy with him, but deep down I know. In the end, I have to say goodbye and let him go.

I care about him so much. I feel comfortable with him. I feel safe with him. He's the only one who can truly understand my emotions and my overthinking, listen without judging. Always be there for me and support me.

Then, I realized something.

Maybe he is a lesson for me. That in the end,  I can only rely on myself and on Allah. Not on him.

I know, I'm sad about it. But again, I have to turst Allah's plan for my relationship. He is good, he is nice, and something I can learn from him is: don't worry about the future, don't overthink everyhting that comes your way. Just surrender, because Allah has already set everything perfectly for you. I will never regret meeting you, because you have given me so much, for myself, for my self-love journey. And you are my flashlight. 


Love,

Solihat

Letters to Myself | Designed by Oddthemes | Distributed by Gooyaabi