Skip to main content

Refleksi Catatan 84: Belajar dari Hal-Hal Kecil

Sebenarnya sudah hampir 2-3 minggu aku hiatus dari menulis reflektif di blog, apalagi sejak  aku didiagnosa dan harus menjalani konseling dengan psikiater. Awalnya aku marah dan sulit  menerima kondisi itu. Namun entah mengapa, setelah aku mencoba berdamai dengan semuanya, perlahan perjalanan hidup ini terasa penuh dengan jeda. Penuh tarikan napas panjang,  penuh dengan hal-hal kecil yang terus menerus mengajak aku untuk berhenti sejenak, dan terus mengajak aku untuk memperlambat langkah. 

Ada banyak sekali momen yang mungkin bagi sebagian orang itu kecil, tapi menurutku itu besar. Momen-momen yang mengetuk hati dan terus memaksaku kembali melihat diri sendiri dengan lebih jujur. 

Aku belum bisa cerita tentang kondisi detailnya kepada kalian. Yang jelas, saat ini aku tidak lagi denial bahwa aku memang sedang tidak baik-baik saja, sedang berobat ke psikiater, dan terus melakukan terapi menulis. 

 1. Apa tiga hal besar yang paling memengaruhi emosiku minggu ini, dan bagaimana aku meresponnya?

Tiga hal besar yang paling memengaruhi emoski minggu ini adalah hubungan dengan orang tua yang semakin terbuka sehingga membuat aku lebih cepat mengerti dan menerima masa lalu. Lalu tulisan jahil seorang teman yang entah mengapa berhasil membuat hatiku terenyuh walaupun aku tahu itu ia tidak benar-benar menuliskannya, dan rasa kesal saat seseorang mulai melewati batas yang sudah aku tetapkan. 

2. Pelajaran penting apa yang Allah ingin tunjukkan kepadaku melalui minggu ini?

Minggu ini aku kembali menjalani konseling lagi ke psikiater. Entah mengapa, seharian setelah konseling itu rasanya lelah. Dari situ aku belajar satu hal: Allah sedang mengajari aku untuk bisa lebih berempati dan lebih sayang sama diri sendiri. Semua perasaan itu valid dan aku belajar untuk bisa menerima sekaligus merasakannya tanpa menghakimi diri.

Selain itu, aku juga sadar kalau aku tidak bisa menjadikan kondisiku saat ini sebagai alasan aku untuk berleha-leha atau mencari pembenaran. Meski aku tahu, aku tak bisa sefokus atau semaksimal dulu. Kini aku sedang belajar untuk hidup dalam mode "biasa-biasa saja." Aku lelah selalu berusaha menjadi yang terbaik. Jadi untuk saat ini, tugasku adalah hanya menjalankan tanggung jawab sebaik yang aku bisa, tanpa membenani diri dengan ekspektasi berlebih yang aku buat sendiri. Let yourself be a beginner.

3. Bagian mana dari diriku yang tumbuh, berubah, atau mulai kusadari sepanjang minggu ini?

Jika minggu-minggu sebelumnya aku merasakan numb, semuanya terasa abu-kelabu, kini perlahan entah mengapa seperti ada kepakan sayap kupu-kupu yang menari di dalam kepalaku. Aku mulai tersentuh oleh hal-hal kecil yang dulu, sewaktu aku kecil belum sempat aku nikmati. 

Misalnya, diantar jajan ke alun-alun oleh Bapak, membeli es krim dan memakan bersama keluarga, atau membeli ayam goreng yang bisa dimakan tanpa nasi bersama keluarga. Sederhana, tapi menghangatkan hati. Walau aku tahu, berbicara soal uang tidak ada habisnya, tapi aku tak pernah tahu apakah masih ada kesempatan esok hari untuk aku bisa berkumpul dan menghidupkan haarapan-harapan diriku sewaktu kecil yang belum bisa diraih. 

4. Interaksi atau hubungan mana yang paling membekas minggu ini, dan mengapa?

Hubungan dengan kedua orang tua. Mereka bercerita soal masa lalu, tentang bagaimana mereka dulu dan alasan kenapa mereka memperlakukan aku begitu. Tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar. 

Aku belajar untuk menerima seluruh kebaikan dan kekurangan mereka. Belajar untuk memahami bahwa dalam hidup semuanya datang dengan satu paket. Baik dengan buruknya, lebih dan kurangnya, cinta dan juga benci, bahagia dan juga tangis. Aku sudah menurunkan semua ekspektasi aku tentang orang tua yang dari dulu aku bangun. Tidak ada orang tua yang sempurna. Begitupun aku sebagai anak: tidak ada anak yang sempurna. 

5. Apa satu langkah kecil yang ingin aku lakukan minggu depan agar hidupku lebih selaras dengan diri dan Tuhanku?

Aku ingin bangun lebih pagi dan bisa bercengkrama dengan Tuhanku. Aku ingin berdoa agar suatu saat nanti aku bisa lepas dari obat-obat ini, berolahraga di pagi hari, dan mensyukuri setiap nafas yang telah diberikan-Nya. 

Aku tidak ingin lagi membebani diri dengan ekspektasi-ekspektasi yang terlalu tinggi, tidak ingin menyalahkan rencana-Nya yang jauh lebih indah dari apa yang sudah aku rancang sendiri, serta ingin terus belajar rendah hati dalam menerima dan menjalani apa yang sudah ditetapkan-Nya. 


Sekarang giliran kamu, bagaimana kamu berhasil melalui minggu ini?

Love,

Ihat

Comments

Popular posts from this blog

Bab 1 Yang Tak Pernah Diduga

Aula SMP tempat lomba olimpiade Fisika tingkat kota itu riuh oleh suara langkah dan peserta yang berbisik-bisik. Nadia duduk di kursinya sambil memeluk tas, mencoba menenangkan degup jantung yang sejak pagi dag-dig-dug tak beraturan.  Meski gugup, ada sedikit kebanggaan dalam dirinya. Guru Fisika memilihnya untuk mewakili sekolah. Itu bukan hal kecil untuk anak SMP kelas 2 yang biasanya lebih sibuk dengan komik dan tugas kelompok. "Duh, dingin ya ruangannya," gumam Sari, sahabat Nadia , sambil mengusap lengan. Nadia mengangguk. Namun perhatiannya langsung teralih saat melihat seseorang kakak panitia lewat di depan pintu. Usianya mungkin SMA. Tubuhnya lebih tinggi, lebih dewasa, dengan papan nama ... Sayangnya terbalik tergantung di lehernya. Ia membawa tumpukan map sambil bergegas.  Entah kenapa, Nadia malah terpaku.  "Kamu lagi liat apa sih?" Sari mencondongkan tubuhnya, mencoba mengikuti arah padangan Nadia. Nadia buru-buru menunduk. "Enggak... enggak lihat a...

Refleksi Catatan 83: Let People Have Their Space

What would you say if you could tell every single person in the world just one thing? This morning, I got that question from 101 Essay that will Change the Way You Think written by Brianna Wiest If I could tell every single person in the world just one thing, I would say: “Let people have their space. Let them have their own time.” There are many people in this world who can respect our choices. For example, when someone needs a moment alone or wants to sit quietly in a corner, others simply let them be without asking too many questions. They understand that needing space doesn’t mean pushing people away. But in my case, it’s different. When I take a step back or sit alone for a while, people around me think I’m avoiding them because I’m upset or I hate them. They misunderstand my silence. And in the end, I’m forced to sit in the same room again, pretend everything is fine, and ignore my own need for breathing space. I don’t like that feeling. Why is this person so bossy? Why does...

Yang Tak Pernah Selesai

Blurb Tahun 2012, Nadia pernah terikat dengan seseorang yang tidak pernah ia temui-Reza, teman sms dan chat FB yang menghilang begitu saja di tengah kedekatan mereka. Bertahun-tahun kemudian, di sebuah Event Organizer tempat Nadia bekerja, Reza muncul kembali. Tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf. Hanya satu kalimat yang diucapkan: "Iya kenal, tapi dulu." Nadia ingin melupakan semuanya, sampai Dika datang, rekan kerja baru yang justru melihat sesuatu yang bahkan Nadia sembunyikan dari dirinya sendiri. *** Hai semuanya!  Mulai minggu ini aku akan rutin upload cerita terbaru di blog pribadi dan ini adalah cerita pertama aku setelah sekian lama hiatus dari menulis cerita.  Jadwal upload: setiap Sabtu malam pukul 20.00 WIB . Jangan lupa mampir ya! Siapa tahu ceritanya bisa jadi teman malam Minggu kalian. Sampai ketemu di postingan berikutnya!  Cheers, Solihat