Skip to main content

Refleksi Catatan 85: Tangisan Anak dan Ibu yang Marah

Malam itu aku mendengar tangisan seorang anak kecil, disusul teriakan sumpah serapah dari seorang Ibu. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi jelas sekali: setiap kali anak itu menangis, si Ibu yang tampaknya sudah kelelahan terus mengeluarkan kata-kata kasar.

“Anjing.”
“Goblog.”
“Kamu itu anak saya. Harusnya kamu sayang sama saya!”

Aku sempat melihat sekilas. Si Ibu sedang mengepel bagian luar rumahnya. Sepertinya anaknya menjatuhkan sesuatu hingga tumpah dan membasahi lantai. Ia masih sangat muda, mungkin usianya jauh di bawahku, namun beban hidup yang ia tanggung terasa begitu berat.

Aku terdiam mendengar semuanya. Di satu sisi aku bisa merasakan bahwa dia lelah, mungkin kewalahan, mungkin tidak punya dukungan. Tapi di sisi lain, batinku ikut perih membayangkan apa yang dirasakan anak itu jika ia sudah bisa berkata-kata. Mungkin ia ingin bertanya:

“Bu… kalau Ibu belum siap jadi Ibu, kenapa harus punya anak? Kenapa melahirkan aku ke dunia? Aku tidak pernah meminta itu…”

Malam itu aku belajar sesuatu lagi. Bahwa memilih untuk menikah itu penting. Memilih untuk punya anak secara sadar itu jauh lebih penting. Kita sering diberi tahu bahwa cinta cukup, tapi tidak. Untuk membangun rumah tangga dan membesarkan anak, cinta saja tidak cukup. Dibutuhkan ilmu, kedewasaan, kesiapan mental, dan ruang untuk bertumbuh.

Memang benar, tidak ada manusia yang benar-benar siap sepenuhnya. Tapi setidaknya, ada yang dipersiapkan. Ada kesadaran. Ada tanggung jawab yang diterima tanpa paksaan.

Bukan lagi karena ekspektasi keluarga.
Bukan karena desakan budaya.
Bukan karena ingin membungkam omongan tetangga.

Aku jadi teringat perkataan rekanku yang sudah menikah, lalu bercerai, dan kini membesarkan anaknya seorang diri:

“Nikmati dulu waktu singlenya. Lakukan apa yang kamu suka. Jangan menikah hanya karena sudah gerah dengan omongan orang. Omongan mereka tidak akan pernah selesai. Bahkan setelah menikah pun, akan ada omongan lain. Menikahlah hanya kalau memang kamu sadar memilih itu dan siap dengan segala konsekuensinya.”

Malam itu, dari balik dinding rumah orang lain, aku belajar tentang kehidupan. Tentang luka yang diwariskan. Tentang tanggung jawab yang sering diambil tanpa benar-benar dipahami. Dan tentang betapa berharganya keputusan-keputusan besar yang seharusnya dibuat dengan hati yang sadar, bukan hati yang takut.


Love,

Ihat

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Catatan 84: Belajar dari Hal-Hal Kecil

Sebenarnya sudah hampir 2-3 minggu aku hiatus dari menulis reflektif di blog, apalagi sejak  aku didiagnosa dan harus menjalani konseling dengan psikiater. Awalnya aku marah dan sulit  menerima kondisi itu. Namun entah mengapa, setelah aku mencoba berdamai dengan semuanya, perlahan perjalanan hidup ini terasa penuh dengan jeda. Penuh tarikan napas panjang,  penuh dengan hal-hal kecil yang terus menerus mengajak aku untuk berhenti sejenak, dan terus mengajak aku untuk memperlambat langkah.  Ada banyak sekali momen yang mungkin bagi sebagian orang itu kecil, tapi menurutku itu besar. Momen-momen yang mengetuk hati dan terus memaksaku kembali melihat diri sendiri dengan lebih jujur.  Aku belum bisa cerita tentang kondisi detailnya kepada kalian. Yang jelas, saat ini aku tidak lagi denial bahwa aku memang sedang tidak baik-baik saja, sedang berobat ke psikiater, dan terus melakukan terapi menulis.    1. Apa tiga hal besar yang paling memengaruhi emosiku mi...

Refleksi Catatan 83: Let People Have Their Space

What would you say if you could tell every single person in the world just one thing? This morning, I got that question from 101 Essay that will Change the Way You Think written by Brianna Wiest If I could tell every single person in the world just one thing, I would say: “Let people have their space. Let them have their own time.” There are many people in this world who can respect our choices. For example, when someone needs a moment alone or wants to sit quietly in a corner, others simply let them be without asking too many questions. They understand that needing space doesn’t mean pushing people away. But in my case, it’s different. When I take a step back or sit alone for a while, people around me think I’m avoiding them because I’m upset or I hate them. They misunderstand my silence. And in the end, I’m forced to sit in the same room again, pretend everything is fine, and ignore my own need for breathing space. I don’t like that feeling. Why is this person so bossy? Why does...

Bab 2: Pesan-Pesan Dulu

Nadia: Kak, kalau FB kakak itu Reza Pratama bukan nama profilnya? Reza: Yap! 100 buat Nadia.  Nadia tersenyum bahagia sembari memeluk gulingnya erat. Semenjak berkenalan dengan Reza itulah hari-hari Nadia terasa seperti musim semi setiap hari. Ringan, hangat, dan penuh kejutan kecil.  Reza: Jadi Nadia suka sama siapa nih? Nadia: Ah itu mah secret dong. Hahaa. Reza: Ayo dong, nanti sama Kakak dibantu kalau Kakak tahu orangnya.  Nadia: Nggak ah, nanti juga Kakak tau sendiri.  Atau mungkin pesan yang dibuka Nadia setelah Nadia pulang sekolah. Reza: Udah pulang? Gimana tadi sekolahnya? Seru gak? Ketemu sama orang yang disuka gak? Pesan-pesan itu datang hampir setiap hari.  Sampai suatu hari di sore yang cerah saat Nadia tengah mendengarkan radio dan menunggu request- annya dibacakan, ponsel Nokianya berdering. Tanda SMS masuk.  Reza: Nad, lagi apa? Nadia: Lagi dengerin radio. Kakak sendiri lagi apa? Reza: Lagi nonton Persib.  Nadia membiarkan SMS itu terbu...