Refeksi Catatan 87: Lelah

Ada banyak hal yang aku lewati dalam satu minggu kemarin. Dengan kondisi otakku yang sedang tidak baik-baik saja, ada kalanya aku ingin menyimpannya di kamar dan tidak membawanya ke mana-mana. Karena rasanya sakit, berat, dan sangat tidak nyaman untuk diajak hidup bersama.

Minggu lalu, aku akhirnya memutuskan untuk resign dari kegiatan mengajarku di sekolah formal. Aku sudah lelah. Aku butuh pagi yang tenang, tanpa debur langkah yang terburu-buru menuju sekolah, tanpa omelan, tanpa keluhan rekan kerja tentang siswa yang seolah tak pernah ada habisnya.

Beberapa rekan kerja menyayangkan keputusanku. Namun, keputusanku sudah bulat. Aku tak lagi sanggup membohongi diri sendiri dengan terus berpura-pura terlihat baik-baik saja. Aku benar-benar lelah.

Lelah.

Terlalu banyak waktu yang selama ini aku habiskan hanya untuk bekerja. Terlalu banyak hal yang akhirnya terlewat. Tiga tahun di Bandung menjadi masa yang kini kusesali. Bukan karena tempatnya, tapi karena aku terlalu fokus dan memprioritaskan pekerjaan, sampai lupa memberi jeda dan istirahat untuk diriku sendiri.

Sepuluh tahun bekerja tanpa henti, sering kali mengabaikan alarm-alarm tubuh, akhirnya membawaku pada kondisi yang harus kuterima hari ini.

Baiklah, dengan berat hati aku akan mengatakannya.

Aku didiagnosis mengalami depressive episode dan saat ini sedang menjalani terapi obat.

Capek?

Jangan ditanya.

Aku juga lelah.

Lelah.

Lain kali, aku akan bercerita lagi.


Love,

Ihat

Post a Comment

Letters to Myself | Designed by Oddthemes | Distributed by Gooyaabi