Tentang Jarak

Photo by Jan Kroon


Aku selalu mengira jarak akan menghapus semua yang pernah ada.

Obrolan ringan yang kusangka sepele, diskusi hangat yang sering kuanggap rutinitas, hingga pertemuan singkat yang tak pernah benar-benar kupikirkan maknanya.

Kupikir jarak akan menjauhkan kita untuk selamanya.
Tapi ternyata aku naif.

Justru jaraklah yang membuka mataku
Bahwa kebaikanmu selama ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bahasa halus dari perasaan yang bahkan mungkin tak kau sadari tumbuh di hatimu.

Di tempat yang berbeda, aku belajar satu hal:
Perlakuanmu ternyata tidak pernah biasa.
Kebaikanmu memiliki warna yang tak pernah kutemukan di mana pun aku berada.

Aku terlalu kaku menerima perhatian.
Terlalu beku untuk percaya pada kebaikan tanpa syarat.
Terlalu kelu menjawab pujian yang kau ucapkan dengan nada berat dan sungguh-sungguh.

Namun jarak justru membuatku sadar
Aku terlambat memahami semua itu.
Bahwa kebaikan dan perhatian tulusmu telah lama mengetuk dinding pertahananku, mendengar luka-luka yang belum sembuh, membuatku merasa hidup, utuh, dan manusiawi.

Dan anehnya… aku bersyukur atas keterlambatan ini.
Karena ia menyelamatkanku dari kemungkinan-kemungkinan yang tak seharusnya terjadi.

Mungkin kau sudah lama menyadarinya.
Mungkin kau pandai menyembunyikan asa yang pelan-pelan tumbuh di hatimu.
Kita sama-sama tahu ada batas yang tak boleh dilewati.
Ada rasa ingin yang tak akan pernah menjadi nyata.

Kini aku memilih diam.
Memendam semuanya dengan tenang.
Menyimpan kenangan baikmu di sudut hati terdalam
Tempat yang tak akan tersentuh jarak ataupun waktu.

Karena bagiku, kau adalah orang pertama yang membuatku percaya lagi
bahwa aku layak diperlakukan dengan baik,
bahwa mimpiku tidak terlalu besar,
bahwa kesalahan bukan akhir dari segalanya.
Bahwa menjadi manusia berarti punya ruang untuk tumbuh dan memperbaiki.

Terima kasih.
Untuk segalanya yang pernah kau berikan, meski tanpa pernah benar-benar kau ucapkan.


Love,

Ihat


0 Comments