Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me
Photo by Engin Akyurt

Tak ada yang salah dengan kehadiranmu begitu pula dengan perasaanku untukmu. 

Meski pada akhirnya,  perasaan itu harus bertepuk sebelah tangan. 

Semula, semuanya baik-baik saja. Kita pernah sebegitu dekatnya, seolah hanya berjarak sejauh bulan dari bumi. Tapi perlahan, aku merasakan sesuatu berubah. Kamu menjauh, samar-samar hingga hampir menghilang.

Janji-janji yang dulu biasanya ditepati, kini hanya menyisakan kata yang tak lagi berarti. Pesanku yang dulu selalu kamu balas di sela-sela kesibukanmu, kini dibiarkan menyisakan tanya. Aku memilih menghapusnya, bukan karena tak ingin berbicara, tapi karena akhirnya aku sadar; tak ada gunanya berbicara dengan seseorang yang sudah tak lagi peduli. 

Panggilan yang dulu selalu kita nantikan, kini tak lagi ada. Kamu memilih untuk bilang sibuk, tapi nyatanya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan temanmu. Aku tak perlu mencari jawaban lagi. Satu hal yang aku terima: aku memang bukan prioritas dalam hidupmu. 

Dulu, kamu sudah mengatakan itu sejak awal dan aku berfikir aku bisa menerimanya. Tapi kini, kamu benar-benar membuktikannya dan aku tak bisa berpura-pura lagi dengan dalih hanya sebatas teman. 

Saat kamu mengatakan kamu melihat pesan yang aku hapus dan tanpa membalasnya, membuatku tak membutuhkan penjelasanmu lagi. Sikapmu sudah cukup menjelaskan segalanya bahwa kamu sudah tak peduli lagi denganku. 

Jadi kali ini, aku benar-benar mundur. 

Mundur. 

Bukan untuk menarik perhatianmu, bukan untuk berharap kamu berubah, tapi untuk menyelematkan diriku sendiri. Aku lelah berharap, aku muak menunggu, dan aku kecewa karena terus mengalah. Aku tak ingin menyakiti diriku sendiri lebih dalam lagi. 

Harapan yang dulu kupupuk kini telah gugur.  Doa yang pernah kupanjatkan kini kutarik kembali. Aku tak ingin lagi memohon kepada Tuhan agar menjadikanmu teman hidupku. Sungguh, aku tak ingin.

Mari kembali asing dengan cerita masing-masing. 

Biarkan cerita kita berakhir di sini.

Karena memperjuangkan seorang diri itu melelahkan.

Jangan cari aku lagi. 

Seperti yang pernah kamu katakan, aku berhak mendapatkan yang lebih baik darimu. 

Terima kasih sudah hadir. Kehadiranmu mengajariku satu hal penting: sebaik apapun seseorang, sesempurna apapun dia memenuhi kriteriamu, jika dia tidak memiliki niat untuk menetap, semuanya akan sia-sia. 

Sekali lagi, berjuang sendirian itu melelahkan. Maka kali ini aku benar-benar melepaskan, tak perlu lagi digenggam. 

Dan setelah ini, aku hanya akan benar-benar pasrah atas apapun yang Tuhan putuskan untukku, seraya terus  belajar mencintai diri sendiri, dengan atau tanpa kehadiran orang lain. 


Love,

Ihat 


doc. pribadi

Bulan Ramadan kali ini bertepatan dengan bulan Maret dan tanpa terasa kita sudah berada di pertengahan bulan lagi. Padahal rasanya kayak kemarin tahun baru, eh ternyata sudah memasuki bulan ke 3 lagi. 

Mm, minggu ini penuh dengan kegiatan buka bersama. Dimulai dari bukber di rumah kepala sekolah, kemudian dilanjut dengan bukber bersama Yayasan sekolah, terakhir kemarin buka bersama dengan anak-anak panti.  Hal yang paling aku sukai dan syukuri dari kegiatan bukber pada saat sedang merantau adalah aku merasa tidak kesepian saat berbuka. Heheee. 

Namun, momen yang paling berkesan minggu ini adalah ketika aku memutuskan untuk keluar rumah; mengikuti kegiatan volunteering bersama komunitas Love and Light. Acara ini diadakan di Panti Asuhan Samiyah Amal Insani, Bandung. Kami berbagi ilmu dengan  anak-anak sambil berbagi mengenai ragam emosi. Aku mendapatkan tugas mengajari anak-anak SD. Dan ternyata, saat menyampaikan materi kepada mereka rupanya kita butuh keterampilan berkomunikasi yang sederhana dan mudah difahami. 

doc. pribadi

Aku mulai dengan bertanya, "Coba kalau wajah marah seperti apa?" dan membiarkan mereka mengeskpresikannya sendiri. Lalu dilanjut dengan pertanyaan,

"Kamu paling suka sama perasaan apa?" "Perasaan apa yang kamu tidak suka?"

Setelah itu, mereka menggambar perasaan yang mereka rasakan dan menuliskan kalimat:

"Aku senang jika aku....."
"Aku marah jika aku...."

Aku membiarkan mereka untuk mencari tahu sendiri penyebab perasaan itu muncul di dalam diri mereka. Melalui aktivitas ini ternyata mereka belajar mengenali dan memahami emosi mereka sendiri. Selain itu, kami juga bertukar surat, saling menuliskan pesan satu sama lain.

doc. pribadi - surat dari mereka 


doc. pribadi - surat dari mereka


Saat selesai kegiatan, aku mencari masjid terdekat untuk salat maghrib. Salah satu anak yang tadi belajar bersamaku menawariku untuk mengantarku. Kami salat bersama, lalu mampir membeli jajanan sebentar dan duduk di pelataran masjid sambil berbincang.

doc. pribadi

"Mamah aku ada di Malaysia, Kak. Bapak aku di Kuwait. Mamah bilang Bapak gak bisa pulang karena ditahan di sana."

Aku terdiam mendengar ceritanya saat aku bertanya mengenai keberadaan kedua orang tuanya. 

"Aku di sini tinggal sama Kakak aku. Kata Mamah kita harus pisah dulu sebentar ya, nanti ketemu lagi."

Pilu rasanya mendengar kisahnya. 

"Sekarang jarang WA-an Kak, hp Kakak aku rusak soalnya."

Aku tak bisa berkata banyak apalagi selain mencoba menghibur, menyakinkan bahwa suatu hari nanti ia pasti akan bertemu kembali dengan Ibunya. 

doc. pribadi

"Tadinya aku mau tinggal sama Nenek. Cuma karena Nenek repot harus mengurus anak bayi, jadinya aku sama Kakak aku dititip di panti asuhan ini Kak." Dia kembali melanjutkan ceritanya sembari berjalan pulang menuju panti. 

Saat aku berpamitan pulang, ia melambaikan tangan sambil berkata, "Hati-hati di jalan ya Kak."

Sepanjang perjalan pulang, aku merenung. Di tengah rintik hujan yang mulai reda, aku tak henti-hentinya mengucap syukur.

Aku bersyukur karena di situasi sesulit apapun, orang tuaku tidak pernah meninggalkanku sendirian. Mereka selalu ada, meskipun dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. 

Sering kali kita sibuk melihat ke atas, membandingkan orang tua kita dengan orang tua lain yang terlihat lebih hebat. Padahal, jika kita menengok ke bawah, ada begitu banyak hal yang patut kita syukuri. Kegiatan ini juga mengajarkanku bahwa ketika kita merasa kekurangan, ternyata ada orang lain yang lebih membutuhkan. Dan dengan berbagi, sekecil apa pun, bisa membuat hati kita merasa cukup dan bahagia. 

Mungkin ada benarnya - saat kamu menghadapi kesulitan, cobalah untuk berbagi dengan yang lain atau mengunjungi tempat-tempat yang bisa membuatmu lebih banyak bersyukur. Tidak harus dengan hal-hal besar. Selama kita berbagi dengan tulus dan ikhlas, inshallah perasaan itupun akan sampai pada penerimanya. 

Aku tahu, minggu sebelumnya aku sendiri sedang berjuang dengan kehidupanku. Namun, setelah mengikuti kegiatan ini, aku sadar bahwa masih ada begitu banyak hal yang bisa aku pelajari dan syukuri, daripada terus menangisi hal-hal yang memang tidak ditakdirkan untukku.

Hai diri. Terima kasih karena kamu telah memilih untuk belajar dan bangkit dari rasa tidak nyaman itu. Terima kasih karena mencari cara lain yang lebih bermanfaat, daripada terus merutuki dan menyalahkan diri sendiri. 

Semangat! Masih ada hal-hal menarik di luar sana yang bisa kamu lakukan. 

Love,
Ihat


Photo by KATRIN BOLOVTSOVA


Aku masih ingat dengan jelas. Semua berawal dari percakapan pertama kami di tahun 2023. Setelah sekian lama hanya berkomunikasi lewat chat, akhirnya kami memutuskan untuk berkomunikasi melalui telepon, lalu berlanjut ke video call. Ada satu pertanyaan darinya yang sampai sekarang terus terniang di kepalaku, saat aku bilang bahwa aku tinggal sendiri dan merantau, jauh dari keluarga. 

"Kenapa kamu memutuskan untuk tinggal sendiri?” 

"Kenapa kamu tidak tinggal dengan orang tua? Bukankah kamu seorang perempuan?”

“Bukankah lebih baik kamu tinggal bersama dengan orang tua karena kamu pun belum menikah?"

Awalnya, dia terdengar terkejut mendengar bahwa aku merantau. Terlebih, aku adalah seorang perempuan yang masih single - yang menurut agama, tanggung jawabku masih berada di bawah tanggung jawab orang tuaku. Namun, perlahan-lahan dia mulai memahami pilihanku, meski sesekali aku bisa merasakan kekhawatirannya. 

Sampai suatu hari, beberapa bulan setelah ucapan itu entah mengapa hati kecilku terus memanggil-manggil untuk pulang ke rumah orang tua dan meninggalkan pekerjaanku di sini. Seperti ada suara di dalam diriku yang berkata,

“Sudah cukup, pulanglah.”

Awalnya aku mengabaikan suara-suara bising ini. Namun, lambat laun suara ini semakin kuat. Setiap kali aku pulang ke rumah rasanya rumah lebih hangat dan aku lebih bersemangat. Sebaliknya, setiap kali harus kembali ke tempat perantauan, aku justru merasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menahanku untuk pergi.

Hingga akhirnya, aku mengambil keputusan besar: resign dari pekerjaanku. Ketika aku dipanggil kepala sekolah dan ditanya tentang alasanku, aku menjawab dengan jujur bahwa aku ingin kembali ke rumah orang tua. Beliau menanyakan apakah kedua orang tuaku sudah sangat sepuh sehingga tidak bisa ditinggal, atau apakah mereka memintaku untuk pulang. Aku menggeleng. Orang tuaku masih sehat, baik-baik saja, belum terlalu sepuh dan masih mandiri. Mereka bahkan tidak memaksaku untuk pulang. Mereka selalu mendukung apa pun keputusanku. Hanya saja aku ingin berada di samping mereka. 

Tapi, ada hal yang selalu mengusik pikiranku. Setiap kali orang tuaku menelepon hanya untuk menanyakan hal-hal kecil - seperti masalah teknologi yang bisa diselesaikan dalam hitungan menit - aku merasa ada sesuatu yang kurang. Kenapa aku tidak bisa ada di samping mereka untuk membantu langsung? Kenapa aku harus jauh, padaha mereka ada di sini, menua setiap hari?

Kepala sekolahku memberikan saran jika alasanku hanya sebatas membantu mereka dalam hal-hal kecil seperti teknologi, bukankah itu masih bisa disiasati dengan meminta bantuan sanak saudara terdekat atau tetangga? Aku mengangguk, tetapi dalam hati aku tahu, orang tua akan selalu nyaman meminta bantuan kepada anaknya sendiri. Mereka mungkin tak pernah mengatakannya dengan gamblang, tapi aku bisa merasakannya. 

Seiring berjalannya waktu, aku kira perasaan ini hanya muncul di awal-awal saja, ternyata tidak. Semakin mendekati hari terakhir masa kontrakku, keinginan aku untuk tinggal bersama orang tua semakin kuat. Walau beberapa orang justru menyayangkan keputusanku - karena gaji dan kesempatan di perantauan jauh lebih besar- aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tahu, kesempatan berkarier itu penting. Tapi waktu bersama orang tua? Itu sesuatu yang tak bisa diulang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Bukankah hidup itu adalah tentang memilih? Dan aku memilih untuk pulang. Aku memilih untuk berada di sisi mereka, menciptakan kenangan sebanyak mungkin sebelum waktu benar-benar memisahkan kami. Entah karena kematian, atau karena suatu hari aku akan menikah dan harus mengikuti suami. 

Saat aku menyampaikan keputusan ini kepadanya, dia hanya tersenyum dan berkata bahwa dia mendukung sepenuhnya. “Aku lega kalau kamu pada akhirnya nanti tinggal kembali bersama orang tua. Itu lebih baik untuk kamu.” 

Dari kejadian ini, aku berfikir. Mungkin, ini adalah cara Tuhan mengingatkanku akan hal-hal yang benar-benar berarti dalam hidup. Mungkin, ini adalah saatnya aku belajar bahwa kebahagiaan bukan selalu tentang pencapaian besar, tetapi tentang momen kecil yang penuh makna. Pulang bukan berarti mundur. Pulang adalah kembali ke akar, kembali ke tempat di mana aku benar-benar diterima, tanpa syarat, tanpa tuntutan.

“Kalau dirasa di perantauan sudah cukup membuatmu berat, pulanglah sejenak. Tidak apa-apa. Mamah dan Bapak dengan senang hati menerimanya, walau ya harus hidup seadanya.” 

Dan di titik ini, akupun menyadari satu hal. Kadang, hidup memberikan pilihan yang sulit. Tapi yang terpenting bukanlah seberapa besar pengorbanan yang kita lakukan, melainkan seberapa tulus hati kita dalam menjalaninya. 

Wahai diri,

Terima kasih karena masih mau dan terus mau untuk belajar

Ingat, never stop learning, because life never stops teaching. 


With love,

Ihat

Photo by Photo By: Kaboompics.com


Well, there are so many things I want to share with you from last week - so many lessons I've learned.  So, let's get started!

1. Hampir Ketinggalan Kereta 

Mendadak diajak pergi ke kampung halaman, rempong di jalanan karena komunikasi kurang baik, dan hampir saja tertinggal kereta. One thing that I can learn from the situation: keep calm, don't panic. Justru karena panik, semuanya jadi berantakan dan banyak hal terlupa. Selain itu, penting juga untuk merencanakan perjalanan dengan matang dan melihat kegiatan sendiri. Jika hati kecilmu sebenarnya enggan pergi karena tubuh benar-benar butuh istirahat, lebih baik dengarkan apa kata hatimu. Karena akibat dari memaksakan diri, beberapa hari kemudian I got a fever and fatigue for three days. :( 

2. Bersyukur atas Apa yang Dimiliki

Belajar mensyukuri apa yang ada daripada terus mempertanyakan apa yang belum kita miliki saat ini. Salah satu hal yang paling aku syukuri adalah masih memiliki orang tua yang kini semakin perhatian dan menyayangiku.  Inner child dalam diriku pun bisa merasakannya. Mungkin itulah sebabnya,  setiap kali pulang ke rumah, aku sering bertingkah seperti anak kecil yang masih butuh banyak kasih sayang. 

3. Melepaskan yang Tak Jelas

Melepaskan sesuatu yang sejak awal saja sudah tidak jelas memang sulit dan menyakitkan. Tapi daripada terus menginvestasikan perasaan kepada seseorang yang tidak memiliki purpose yang sama, untuk apa? Masih banyak hal yang lebih penting untuk aku lakukan dan perjuangkan. Lebih baik fokus  mengupgrade diri daripada bertahan pada sesuatu yang tidak sejalan. Dan aku bangga pada diriku sendiri karena bisa melepaskannya tanpa takut merasa kehilangan. 

4. People Come and Go

Tahun lalu, menjelang  Ramadan, aku sibuk dengan kegiatan volunteers di Tahura. Kini, orang-orang yang dulu berada dalam satu circle yang sama sudah berpencar mengikuti jalannya masing-masing. Dari sini, aku belajar bahwa  setiap peluang yang datang harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, karena bisa jadi kesempatan itu tidak akan datang lagi.

5. Making Mistake is Normal!

Yep! Saat mengikuti kelas volunteer, aku melihat guruku melakukan kesalahan dalam menyampaikan materi. Tapi beliau tetap tenang, tidak panik, dan melanjutkan dengan santai. Even as a teacher, of course. We are human. Dari situ aku belajar bahwa membuat kesalahan itu wajar. Justru dari kesalahanlah kita belajar dan bisa berhati-hati lagi ke depannya. 

6. Tidak Semua Komentar Harus Ditanggapi

Dalam hidup, selalu ada orang yang mendukung dan ada juga yang tidak setuju dengan pilihan kita. Itu hal yang wajar. Tapi satu hal yang aku sadari, komentar orang lain adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita meresponsnya. Saat ini, aku merasa sudah mulai kebal terhadap komentar-komentar tentang pilihanku. Aku tahu mereka mungkin bermaksud baik, tapi yang menjalani hidup ini adalah aku. Aku tidak bisa menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada pendapat orang lain. Ini hidupku sendiri, dan aku berhak menentukan jalan hidupku, selama tetap dalam koridor agama dan norma yang ada.

7. Percaya pada Diri Sendiri

Aku mulai belajar untuk percaya pada diri sendiri, meskipun kadang masih muncul perasaan ragu. Memang sulit, tapi aku akan terus berusaha. Semangat!

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi sepertinya cukup sampai di sini dulu. Semoga bisa menjadi pengingat, baik untukku maupun untuk kalian yang membaca ini. :)


Cheers,

Ihat

Photo by Tobi

Pernahkah gak sih, kamu merasa begitu bahagia karena suatu pencapaian, lalu sadar bahwa kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar? 

Terus, gimana perasaan kamu ketika kebahagiaan itu mulai memudar dan kamu harus kembali menghadapi realitas perjuangan?

Aku tidak pernah menyangka, di tengah-tengah kebimbangan hidup yang sedang aku hadapi, di pagi hari itu, Allah seperti sedang berbicara kepadaku melalui orang tua salah satu siswa yang harus aku temui. Setelah selesai konsultasi tentang perkembangan anaknya, si Bunda ini tiba-tiba berkata,

"Bu, kalau kata saya dalam hidup ini 20% kebahagiaan, sisanya 80% adalah pilihan: bertahan atau menyerah."

Aku mengernyitkan dahi, mencoba memahami maksudnya. Seakan menyadari kebingunganku, beliau melanjutkan,

"Misalnya, saat kita diterima di universitas ternama, kita akan mendapat ucapan selamat, merasa bangga dengan almamater kita. Tapi, berapa lama kebahagiaan itu bertahan? Mungkin hanya beberapa minggu. Setelahnya, kita harus menghadapi tugas-tugas yang melelahkan, tekanan akademik, konflik pertemanan, dan tantangan lainnya. Kita akan menghabiskan 80% waktu kita untuk memilih: bertahan dan berjuang, atau menyerah."

Aku mengangguk, mulai memahami arah pembicaraan ini. 

"Saat lulus kuliah, kita kembali mendapat ucapan selamat, tapi itu hanya bertahan sebentar. Setelahnya? Kita harus kembali berjuang. Begitu juga saat diterima bekerja di perusahaan impian—20% awalnya penuh dengan kebahagiaan, tapi setelah itu kita kembali dihadapkan pada tekanan kerja, tuntutan, dan rasa jenuh. Sisanya? Lagi-lagi, kita memilih: bertahan atau menyerah."

Aku terdiam, mencerna kata-katanya.

20% kebahagiaan, 80% perjuangan. 

Perjuangan yang penuh dengan rasa capek, lelah, kecewa, marah, bahkan terkadang terselip perasaan ingin menyerah. 

"Makannya Bu, punya tujuan dalam hidup itu penting. Sebesar apa pun ujian yang datang, kalau kita tahu ke mana kita melangkah, kita akan tetap maju."

Pagi itu, rasanya seperti mendapat mata kuliah kehidupan. Aku mulai menyadari satu hal: tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kebahagiaan.

Ucapan si Bunda terus terniang di telingaku, sampai kemudian pertanyaan ini bergema dalam benakku.

Apakah kebahagiaan sejati terletak pada hasil, atau pada proses bertahan dan berjuang? 

Tak lama setelahnya, aku mengikuti sebuah kajian, dan di sanalah aku menemukan jawabannya.

"Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik amalnya." (QS. Al-Mulk: 2)

"Dan kehidupan dunia ini, hanyalah senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?" (QS. Al-An'am:32)

"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS. Ali-Imran: 140)

Aku terdiam. Rasanya ayat-ayat ini menamparku.

Di era media sosial ini, mudah sekali melihat hidup orang lain yang tampak lebih bahagia hanya dari postingannya. Aku lupa, bahwa yang mereka bagikan hanyalah potongan kecil  dari kehidupan 24 jam mereka. Aku terlalu sibuk membandingkan hidupku dengan orang lain, lalu merasa tertinggal. 

Tapi semakin dewasa, aku menyadari sesuatu.


Saat sesuatu yang ingin kamu capai ternyata belum bisa kamu capai, lepaskan. 

Jangan digenggam, biarkan ia berjalan menemui rumahnya sendiri. Kelak, kalau kamu adalah rumahnya, ia pasti kembali. 


Kadang keindahan postingan orang-orang di media sosial membutakan kita. Sampai-sampai kita sendiri merutuki nasib kita yang menyedihkan. Padahal, namanya juga media sosial. Semuanya diatur, dipoles, diperindah sesuai dengan apa yang kita mau tampilkan. Jangan pernah terkecoh dengan postingan-postingan yang tersebar. Setiap hidup akan selalu ada ujiannya, masalahnya. Karena udah Allah sampaikan, kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan sementara dan akhirat adalah kehidupan yang kekal. 


Kalau sekiranya media sosial itu malah bikin kamu banyak mengeluh dan terus membandingkan hidupmu dengan orang lain, mungkin saatnya mengambil jeda. Coba jalan keluar rumah, lihat sekitar kita. Masih banyak hal yang bisa kita syukuri tenyata. Terkadang, kebahagiaan sejati bukan tentang mencapai sesuatu yang besar, tetapi tentang menemukan keindahan dan ketulusan dalam hal-hal sederhana. 


Dan yang terpenting...


Gak apa-apa kalau jalan hidupmu berbeda dengan teman-temanmu yang lain. Jangan pernah merasa tertinggal. Semua ada masanya.  


Cheers,


Ihat

Photo by Andrea Davis

Hal yang paling aku benci setelah pulang liburan dari rumah dan harus kembali ke perantauan adalah perasaan kangen terhadap rumah serta kenyataan bahwa aku harus kembali melakukan segala sesuatu sendirian. Termasuk tinggal di kosan sendiri, makan sendiri, dan juga mengerjakan pekerjaan dalam suasana hening, tanpa ada suara-suara yang mengingatkanku untuk salat, makan, atau menyuruhku tidur lebih awal.

Aku memang merasa aneh dengan diriku sendiri. Sejak setahun terakhir, perasaanku terhadap rumah semakin kuat, hingga sering kali aku merasakan homesick. Padahal, ini bukan kali pertama aku jauh dari rumah. Sebelumnya, aku pernah tinggal di asrama selama 6,9 tahun, lalu setelah itu merantau dan tinggal sendiri di kosan. Tapi aku benar-benar merasakan perbedaannya. Selain karena asrama dulu tidak terlalu jauh dari rumah, di sana juga ada teman-teman, sehingga aku punya tempat berbagi cerita dan tidak merasa kesepian. Berbeda dengan sekarang, tinggal di kosan membuatku benar-benar merasakan yang namanya sepi-kesepian.

Sebenarnya, bukan itu yang ingin aku bahas. Aku tahu bahwa aku sedang sangat rindu rumah, meskipun baru dua hari yang lalu aku pulang. Namun, ada kejadian yang membuatku benar-benar kesal dengan diriku sendiri—kenapa aku tidak bisa lebih sabar terhadap Mamah?

Aku jadi teringat obrolanku dengan gengku beberapa waktu lalu. Sepulang  kegiatan sekolah, kami memilih untuk makan mie di sebuah kedai Mie Aceh di daerah Ujung Berung. Obrolan kami sangat random, hingga akhirnya sampai pada satu topik pembahasan: orang tua.

“Bu, pokoknya selagi ada orang tua, apalagi Mamah, ya ikutin saja maunya. Yang sabar. Kadang, keinginan kita yang menurut kita baik belum tentu baik di mata mereka.”

“Suara kita jangan ditinggikan, ingat. Harus banyak sabar menghadapi kemauan mereka, apalagi kalau nanti kita diberi kesempatan untuk mengurus mereka.”

Selain itu, ucapan salah satu temanku kembali terngiang di telingaku.

“Kita akan diuji dengan apa yang kita punya dan apa yang kita ketahui atau kuasai atas ilmu tersebut.”

Aku menarik napas panjang sebelum menuliskan ini.

Long weekend ini, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah, karena adikku juga pulang sekalian. Katanya, akan ada acara makan-makan sebagai syukuran karena dia berhasil lolos tes CPNS. Aku bilang ke Mamah untuk menunggu kepulanganku dulu karena aku juga ingin ikut. Begitu sampai di rumah, ternyata Mamah dan Bapak masih mengurus orderan. Lalu, hujan deras turun, sehingga acara makan-makan terpaksa ditunda keesokan harinya.

Namun, setelah salat Magrib, hujan mulai reda, dan aku terus menyarankan agar acara makan-makan dilakukan malam itu juga, karena besok malam adikku akan kembali ke Jakarta. Awalnya, pilihan jatuh ke tempat makan khas Sunda, tapi menurutku itu terlalu biasa. Masakan rumah pun menurutku lebih enak. Mamah juga lebih memilih memasak di rumah daripada makan di luar karena menurutnya lebih hemat. Apalagi kali ini, traktiran datang dari adikku. Tapi karena aku sudah meminta untuk pergi malam itu juga dan ingin makan bakso, akhirnya kami pun pergi.

Sesampainya di sana, Bapak tidak ikut makan karena sudah kenyang setelah makan nasi di sore harinya. Lalu, pesanan datang lama sekali, membuat adikku mengomel dan menyuruhku mengeceknya. Aku bilang, “Lagi dibuat, sabar.” Tapi adikku malah menyebutku sebagai tipe orang yang terlalu mengalah. Saat itu, aku kesal setengah mati. Aku bilang lagi, “Sabar sedikit, bisa tidak?” Tapi adikku tetap ngotot dan berkata bahwa di Jakarta tidak seperti ini—semuanya serba cepat. Aku hanya menjawab, “Ya, iyalah, beda kasus. Itu buat makan siang, sementara ini kita tidak sedang terburu-buru.” Tapi dia tetap tidak terima dan akhirnya aku menyuruhnya mengecek sendiri.

Saat pesanan datang, ternyata makanan yang dipesan Mamah tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Aku salah pesan. Di awal, Mamah hanya bilang ingin sayur dan bakso saja, jadi aku hanya menuliskan itu. Aku tidak tahu kalau seharusnya tidak ada taoge di dalamnya. Kalau tahu, tentu aku akan meminta tanpa taoge. Belum lagi, Mamah mengeluhkan harga makanan yang cukup mahal dan akhirnya tidak makan baksonya karena menurutnya masih terasa amis. Lengkap sudah kekesalanku malam itu.

Aku pun keceplosan berkata,

“Susah sih kalau terlalu pilih-pilih soal makanan. Ini tidak mau, itu tidak mau. Aku suka greget kalau di sekolah ada murid yang seperti itu juga.”

“Bukan begitu, Mamah memang kurang suka makan beginian.”

“Kenapa tidak bilang dari awal mau makan apa?"

Mamah dan Bapak diam. Mereka tahu aku sedang emosi. Aku berusaha menahan kesal sambil beristighfar. Bahkan makan bakso pun rasanya jadi hambar.

Kami pun pulang.

Keesokan harinya, Mamah berkata kepada kami semua bahwa lain kali harus bisa lebih memahami kondisi orang tua. Mamah memang tidak suka makanan kekinian, apalagi yang berbumbu kuat. Bapak pun menambahkan bahwa aku harus lebih sabar lagi dalam menghadapi orang tua.

Aku hanya terdiam mendengarkan. Jujur, rasanya sungkan untuk meminta maaf setelah sempat berbicara dengan nada tinggi. Namun, saat hendak pamit pulang, akhirnya aku meminta maaf kepada Mamah.

Selama perjalanan, aku terus merenung. Aku tipe orang yang kesal jika berhadapan dengan orang yang tidak bisa membuat keputusan, lalu ketika sudah dipilihkan, malah mengeluh karena tidak sesuai keinginannya. Dan ternyata, sifat itu ada dalam diri Mamah. Pikiran ini terus menggangguku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menuangkannya dalam tulisan ini.

Aku belajar banyak hal.

Pertama, aku harus berani berbicara dari hati ke hati dengan Mamah tentang pengambilan keputusan. Ini bukan pertama kalinya terjadi, sebelumnya hal serupa pernah membuat Mamah murung.

Kedua, aku harus belajar lebih sabar jika kejadian ini terulang lagi. Kalau ke murid, aku bisa tegas, tapi kepada orang tua, aku harus tetap menjaga sopan santun.

Ketiga, aku tidak boleh terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Kejadian ini terjadi karena akumulasi banyak hal—emosi yang kutahan sejak adikku mengomel tentang lamanya pesanan datang, lalu menyebutku pengalah, hingga akhirnya tetap meledak karena hal lain yang menyinggungku.

Sekarang, bagaimana perasaannya? Sudah lebih tenang, kan? Ini bukan sepenuhnya salahmu. Mungkin Mamah punya alasan sendiri kenapa sulit membuat keputusan—bisa jadi karena trauma atau pengalaman buruk di masa lalu. Tapi, karena di sini kamu yang lebih dewasa secara emosional, maka kamu harus belajar untuk bisa berkomunikasi dengan baik agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Hi, Ihat. Aku bangga padamu. Aku bangga karena kamu bisa dan mau menguraikan peristiwa ini, hingga akhirnya bisa belajar banyak hal baru lagi.

Semangat! 😊


Ihat

Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

You are looking for...

  • ▼  2025 (25)
    • ▼  July (2)
      • Refleksi Catatan 20: Lingkungan Baru dan Perasaan ...
      • Refleksi Catatan 19: I'm Still His Little Girl
    • ►  June (3)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Thank You!

Friends

Get new posts by email:
Powered by follow.it

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Follow Me On Instagram

Translate

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template