![]() |
| Photo by Pixabay |
Hari Minggu sebentar lagi berakhir, dan itu artinya Senin sudah menunggu di depan mata. Kembali lagi bekerja, kembali lagi ke rutinitas.
Ada beberapa hal yang ingin aku highlight selama satu minggu ini.
Pertama, perasaan aku yang mudah berubah. Apalagi kalau si anxiety ini kambuh. Rasanya kayak aku gak bisa fokus sama apa yang harus aku kerjakan atau yang ingin aku sampaikan.
Kedua, kalau mood aku lagi bagus, biasanya akan lebih mudah buat aku untuk menghadapi hari dengan lebih tenang. Rasanya semua if if an dalam kepala itu berhenti sejenak dan hilang entah pergi ke mana.
Ketiga, selalu saja ada momen yang menjengkelkan, bahkan di saat kita udah berusaha untuk menjaga sikap kita sebaik mungkin.
Keempat, tentang usia aku yang 28 tahun dan belum juga menikah. Tentang doa dari senior aku di tempat kerja, dan juga tentang perceraian para artis yang entah kenapa ikut memantul di pikiranku.
Tentang Mood Swing dan Anxiety
Entahlah. Aku juga sedang tidak faham dengan diriku sendiri. Kadang ada aja hal yang bikin aku merasa kayak degdegan gak karuan, panik gak jelas, atau cemas berlebihan setiap kali menghadapi tantangan baru.
Semakin aku belajar menerima tentang perasaan ini, semakin aku sadar dan faham bagaimana hal ini bisa muncul dan bagaimana cara meng-handlenya.
Contoh kecilnya, setiap kali aku mendapatkan tugas baru, otakku langsung overthinking kayak aku tuh merasa aku udah ada di moment itu dengan kejadian-kejadian yang mengerikan dan itupun dibuat oleh fikiran aku sendiri. Alhasil, bukannya aku siap-siap, aku malah banyak menunda. Alasannya?
"Ah susah."
"Ribet." Atau, "nanti aja."
Dan itu tuh terus menerus berputar-putar di kepala gak berhenti. Makannya sedikit demi sedikit setiap ovethinking aku kambuh, termasuk anxiety nya aku paksa diri aku dengan cara memulai untuk membuat persiapan. Daripada bingung di kepala dan tidak ada action yang ada malah overthinking dan anxiety ternyata dengan cara kita melakukan hal-hal tersebut untuk persiapan justru perasaan-perasaan itu berkurang dan aku bisa menemukan cara dan solusinya bagaimana. Nah dari hal tersebut, pada akhirnya membuat aku sadar, setiap kali perasaan aneh itu muncul mau tidak mau aku harus menuliskan apapun dalam selembar kertas, agar semua perasaan-perasaan negatif itu bisa terkendali.
Terakhir aku kasih afirmasi untuk diri aku.
Ingat, yang bisa aku kendalikan hanyalah aapa yang aku persiapkan dan aku sampaikan. Sisanya, apakah orang akan faham atau tidak, komentar orang baik atau bagus, berhasil atau tidak itu di luar jangkuanku. Fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan. Jangan ambil peran Tuhan.
Menjaga Mood
Agar mood nya bagus jangan lupa bangun lebih awal, salat tahajud, sat-set di pagi hari, menyisihkan waktu 20 menit untuk ngobrol sama orang tua, dan jangan lupa ucapkan alhamdulillah walau kamu tahu perasaan-perasaan negatif itu selalu datang.
Kuncinya tetap sama: Fokus pada apa yang bisa aku kendalikan.
Tentang Pertanyaan "Kapan Nikah?"
Entah kenapa, seminggu ini beberapa orang menyinggung aku soal "menikah." Senin lalu, senior di tempat kerja memberi aku dari seorang ustadz doa untuk meminta jodoh yang didapatkannya dari pengajian semalam. Satu hal yang membuat aku bisa menerima adalah beliau tidak menjudge aku dengan hal lain, atau menyudutkan aku lantaran aku belum menikah. Beliau dengan sopan menasihati aku untuk terus mengamalkan doa itu dan tidak menutup peluang untuk siapapun yang datang.
Tapi pengalaman yang paling bikin aku kesal di minggu ini dan bikin aku uring-uringan di jalan adalah saat bertemu sahabat lama di toko buku. Moment yang seharusnya menjadi momen temu rindu ini malah jadi moment yang menyakitkan.
Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut dia seteah kami saling sapa tanya kabar adalah,
"Kamu udah nikah belum?"
Meski agak kaget dan langsung ditodong pertanyaang ini, okay. Ini pertanyaan basi dan aku sudah sering mendapatkannya. Dan pertanyaan ini masih bisa aku toleransi. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan soal sahabat-sahabat kami yang lain yang semuanya udah punya anak dua. Dari 4 orang yang dulunya bersahabat ketika SMA, hanya aku yang masih single, belum menikah dan tentunya juga belum punya anak. Dalam hati, ini maksudnya apa sih ngomong-ngomong begini? Terus dia bilang intinya serba kapan. Belum lagi nyinggung soal pakaian aku yang pada saat itu aku pakai celana jeans longgar, sementara memang dia sudah berpakaian syar'i. Dalam hati ngapain sih udah lama gak ketemu malah bahas ginian, orang aku juga gak bahas yang aneh-aneh. Cuma nanya anaknya siapa namanya, kabar dia. Malah dia yang banyak nyeroscos. Sampai pas aku pamitan pulang duluan, dia malah bilang,
"Sibuk ngejar karir mulu ya." Rasanya bak dihantam palu, aku tak menggubris ucapannya dan langsung bersalaman pulang. Begitu pulang dan selama di jalan rasanya aku udah pengen meledak nangis. Ini orang setelah hampir bertahun-tahun gak ketemu, eh sekalinya ketemu malah ngobrol gitu? Hei! You have no idea what I've been through. Emangnya perkara cari jodoh cuma nunggu di rumah, cari laki sana sini tanpa bekerja? Sorry to say, but I've been living on my own financially. If I want to treat myself, I need to work for it.
Sebegitu sampai di rumah, aku nyeroscos gak karuan dihadapan orang tua aku sambil nangis. Aku kesal dengan perkataan orang tentang hidup aku. Sampai bisa dititik ini juga butuh perjuangan besar untuk aku bisa melewatinya. Bisa tetap hidup, tetap waras, masih inget Allah dan yakin sama apa yang sudah digariskan-Nya juga itu sudah pencapaian besar buat aku. Dan akupun gak perlu membeberkan itu semua kepada dunia bukan?
Destinasi dari hidup juga bukan hanya soal menikah, banyak kebaikan lainnya yang bisa kita lakukan. Kenapa sih orang-orang tuh rese kalau lihat kita belum menikah atau masih jomlo gitu? Kayak aib banget kelihatannya. Bantuin cariin jodoh aja kagak, apalagi bantuin biaya resepsi sama nanggung biaya kehidupan pasca menikahnya.
Mana ngobrolin soal yang lain udah punya anak 2 dan aku belum. Ini akan menjadi momen yang sangat menyakitkan kalau posisinya aku sudah menikah dan belum punya anak. Huhuuu.
Mana isu perceraian semakin meningkat. Dari selebritis aja, Raisa misalnya. Kadang aku sadar gitu ya, pernikahan itu bukan hanya soal status: pindah dari single jadi married, bukan. Tapi soal tanggung jawab, komitmen, dan kerja sama.
Aku tumbuh dengan melihat Bapak yang bisa masak, beres-beres rumah, gak pernah ribut sama mamah di depan anak-anaknya, selalu menomor satukan keluarga, act of service, gak banyak nuntut ke istri, urusan rumah itu dikerjakan bersama, tidak merokok, membuat aku punya standar tertentu dalam memilih pasangan. Dan aku rasa, itu bukan sesuatu yang salah.
Terima Kasih, Diri Sendiri
Aku mau mengucapkan terima kasih buat diri aku yang terus menerus mau belajar untuk mengenali diri sendiri dan tetap tawakal kepada Allah. Karena pada hakikatnya kita ini lemah dan butuh sekali sandaran kepada dzat yang tidak pernah mengecewakan yaitu Allah SWT.
Dan juga jaga lisan. Jangan pernah judge kehidupan orang lain. Kita gak pernah tahu seberat apa mereka memperjuangkan hidup mereka.
Ketiga, aku pengen bilang: I really love my parents. Terima kasih karena selalu ada dan mendengarkan. Tidak pernah menyudutkan atau menyuruh aku untuk cepat-cepat menikah meski aku tahu jauh di lubuk hati mereka pasti mereka khawatir, namun mereka percaya bahwa menikah bukan soal cepat, melainkan soal kesiapan dan pilihan yang tepat.
Love,
Ihat


.jpg)
.jpg)





