Sunday, December 21, 2025
![]() |
| Photo by Tima Miroshnichenko |
Hari Minggu beberapa jam lagi akan berakhir. Sebentar lagi waktu akan berganti, besok Senin dan itu artinya sudah masuk waktuku untuk mereview sekaligus merefleksikan satu minggu yang sudah aku lalui kemarin. Rutinitas kecil yang kini terasa lebih bermakna, karena aku belajar berhenti sejenak dan benar-benar hadir.
How was your week?
Alhamdulillah, berjalan baik. Tidak selalu mudah, tapi cukup baik untuk disyukuri. Apalagi semenjak didiagnosis depressive episode, banyak banget hal yang selama ini aku lewatkan begitu saja tanpa benar-benar aku sadari, apalagi aku syukuri. Kini aku bisa lebih menghargai segarnya udara di pagi hari, yang dulu begitu aku lewatkan begitu saja. Ternyata dengan bernapas secara sadar, secara tidak langsung itu bikin otak aku kayak direfresh lagi, lebih ringan, dan lebih tenang.
Hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulit juga mampu membangkitkan rasa semangat aku untuk menjalani hidup, satu hari demi satu hari. Makanan yang saat ini bisa aku rasakan rasanya, setelah beberapa minggu yang lalu terasa hambar dan tidak enak dimakan, kini kembali punya rasa. Hal-hal kecil yang dulu hanya aku lewati begitu saja, sekarang justru menjadi sumber syukurku yang besar. Ternyata banyak sekali ya nikmat yang sudah diberikan oleh Allah. Dan betul sekali, jika kita mencoba menghitungnya satu per satu, rasanya tak akan pernah bisa terhitung nikmat yang sudah diberikan oleh-Nya.
Mm, apalagi ya?
Kayaknya itu aja sih. Tapi mungkin sebenarnya bukan "itu aja", melainkan sudah lebih dari cukup. Aku cuma mau bilang terima kasih aja sama diri sendiri yang sudah melewati hari-hari di minggu ini, walau terkadang perasaan menyerah selalu hinggap tanpa permisi. Terima kasih karena kamu sudah tidak memaksakan dirimu untuk selalu tampil sempurna dan ceria setiap harinya.
Pada akhirnya gak apa-apa kan kalau hari itu gak berjalan sesuai dengan keinginan kamu? Ternyata gak apa-apa juga ya, kalau satu hari aja kamu gak all out karena energi kamu emang udah habis? Dan ternyata, aku gak harus galak dan sejahat itu sama diri aku sendiri. Aku boleh lelah. Aku boleh berhenti sebentar. Aku boleh bernapas
Tetap lakukan yang terbaik sesuai dengan kadarnya saja. Jangan melampui batasmu lagi. Mungkin kamu akan mendapatkan tepuk tangan, tapi gak sedikit juga yang akan meremehkan kamu. Selalu ada dua sisi itu, dan kamu gak bisa mengontrol keduanya. Maka dari itu, berhenti mengejar kesempurnaan, dan jalani hari sebisa yang kamu berikan hari itu: gak lebih dan gak kurang juga.
Jangan pernah paksanakan diri kamu lagi ya. Udah cukup depresi ini menjadi pengingat, bahkan tamparan halus, buat kamu untuk lebih menyayangi diri kamu sendiri. Karena pada akhirnya, yang akan terus menemani sampai akhir adalah diri kamu sendiri. Bukan pencapaian kamu, bukan validasi orang lain, tapi diri kamu sendiri: dengan segala luka dan uapaya kamu.
Jadi, ucapkanlah terima kasih pada diri kamu sendiri sebelum tidur dengan tulus. Bilang,
Makasih ya. Kamu udah hebat banget hari ini.
Kamu udah keren banget bisa melewati hari ini.
Besok tetep temenin aku ya.
Bye! <3
Ihat
Saturday, December 20, 2025
| doc. pribadi |
Identitas Buku
Blurb
Tiga Insight Utama
Refleksi Pribadi
Banyak tulisan dalam buku ini menyadarkanku bahwa sebagai manusia, kita tidak pernah benar-benar lepas dari kesalahan. Tidak ada manusia yang sempurna. Dan pada kenyataannya, kita juga tidak sepenting itu dalam hidup orang lain, sehingga kita bisa lebih fokus pada apa yang ingin dan perlu kita lakukan.
Sebagai manusia, kita tidak akan pernah bisa membuat semua orang bahagia. Akan selalu ada yang menjadikan kita tokoh jahat dalam cerita versinya sendiri. Semua kembali pada sudut pandang. Dan tugas kita hanyalah tetap melakukan kebaikan, meski kebaikan itu tidak selalu dipandang baik oleh orang lain.
Hal lain yang membuatku menyukai buku ini adalah caranya mengajak pembaca untuk lebih memperhatikan sekitar, memperlambat ritme hidup, dan benar-benar hadir. Sebab ternyata, hal-hal kecil yang selama ini kita lewati begitu saja bisa menumbuhkan rasa syukur yang luar biasa.
Penutup
Mungkin, keinginan untuk menjadi pohon semangka bukan tentang ingin kabur dari hidup, melainkan tentang lelah menjadi manusia yang terus dituntut untuk kuat, sempurna, dan selalu tahu jawabannya.
Buku ini mengajakku berdamai dengan kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu indah, dan itu tidak apa-apa. Bahwa kecewa, menyesal, dan merasa tidak cukup bukanlah tanda gagal, melainkan bagian dari proses menjadi manusia.
Dan setelah menutup buku ini, aku pulang dengan satu pengingat sederhana: tidak semua hari harus luar biasa. Kadang, bertahan saja sudah cukup. Kadang, duduk diam, menarik napas, dan mensyukuri hal-hal kecil di sekitar kita adalah bentuk kebahagiaan yang paling jujur.
| doc. pribadi |
Identitas Buku
Judul: Surat untuk Putriku: 37 Pelajaran Hidup dari Seorang Ibu
Penulis: Han Sung Hee
Tahun Terbit: Cetakan kedua, Mei 2025
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta
Blurb
- Jadilah anak yang nakal
- Tak ada yang memintamu menjadi superwoman
- Jangan berusaha melakukan semuanya dengan sempurna
- Depresi adalah sinyal untuk memulihkan keseimbangan hati yang hancur
- Seperti apa pun hidup yang kau jalani, jangan menunda cinta
- Hiduo tidaklah serumit itu, jadi nikmati saja prosesnya
Tiga Insight Utama
Refleksi Pribadi
Dari sekian banyak sosok yang lalu-lalang di sekitar pandanganku,
entah mengapa langkah batinku justru berhenti padamu.
Sosok yang tenang,
dengan senyum seperlunya dan wibawa yang tak perlu dijelaskan.
Tanpa banyak rencana,
sebuah kalimat meluncur begitu saja
lebih seperti bisikan hati daripada pengakuan.
Aku menyukainya,
tanpa pernah benar-benar tahu
bahwa dalam ketidaksadaranku,
ada doa-doa kecil yang diam-diam terucap.
Namun pagi berikutnya,
aku hanya belajar menahan rasa,
saat kenyataan memperlihatkan
bahwa hatinya telah lebih dulu berlabuh.
Tasikmalaya, 19 Desember 2025
Thursday, December 18, 2025
Ada banyak hal yang aku lewati dalam satu minggu kemarin. Dengan kondisi otakku yang sedang tidak baik-baik saja, ada kalanya aku ingin menyimpannya di kamar dan tidak membawanya ke mana-mana. Karena rasanya sakit, berat, dan sangat tidak nyaman untuk diajak hidup bersama.
Minggu lalu, aku akhirnya memutuskan untuk resign dari kegiatan mengajarku di sekolah formal. Aku sudah lelah. Aku butuh pagi yang tenang, tanpa debur langkah yang terburu-buru menuju sekolah, tanpa omelan, tanpa keluhan rekan kerja tentang siswa yang seolah tak pernah ada habisnya.
Beberapa rekan kerja menyayangkan keputusanku. Namun, keputusanku sudah bulat. Aku tak lagi sanggup membohongi diri sendiri dengan terus berpura-pura terlihat baik-baik saja. Aku benar-benar lelah.
Lelah.
Terlalu banyak waktu yang selama ini aku habiskan hanya untuk bekerja. Terlalu banyak hal yang akhirnya terlewat. Tiga tahun di Bandung menjadi masa yang kini kusesali. Bukan karena tempatnya, tapi karena aku terlalu fokus dan memprioritaskan pekerjaan, sampai lupa memberi jeda dan istirahat untuk diriku sendiri.
Sepuluh tahun bekerja tanpa henti, sering kali mengabaikan alarm-alarm tubuh, akhirnya membawaku pada kondisi yang harus kuterima hari ini.
Baiklah, dengan berat hati aku akan mengatakannya.
Aku didiagnosis mengalami depressive episode dan saat ini sedang menjalani terapi obat.
Capek?
Jangan ditanya.
Aku juga lelah.
Lelah.
Lain kali, aku akan bercerita lagi.
Love,
Ihat

Social Media
Search