![]() |
| Photo by Andrea Piacquadio |
Menulis itu berarti mengingat ulang, dan tidak semua ingatan itu menyenangkan. Rintik Sedu.
Semalam aku membaca blognya Rintik Sedu dan menemukan kalimat itu. Rasanya iya betul banget. Kadang yang membuat kita enggan menulis bukan karena menulisnya, tapi karena kita harus siap berhadapan dengan ingatan yang tidak semuanya menghadirkan senyum. Ada bagian dari diri yang masih perih, yang belum siap disentuh, apalagi dituangkan ke dalam kata.
Aku teringat ketika tahun lalu mengikuti sesi konseling bersama psikolog sekolah. Beliau berkata, “Untuk bisa mengenal luka inner child, cobalah banyak mengobrol dengan diri sendiri atau menulis.”
Satu dua kali aku mencobanya. Tapi setiap kali sampai di titik harus mengingat momen yang menyakitkan, aku menarik diri. Aku berhenti menulis. Seolah tubuh dan pikiranku bersekongkol untuk melindungiku dari rasa sakit itu.
“Bu, rasanya menyesakkan setiap kali ingat momen itu,” kataku pelan. “Aku gak sanggup melihat diri aku di sana, apalagi memeluknya.”
Beliau tersenyum lembut.
“Kalau orang sakit terus minum obat, gimana rasanya?”
“Pahit, Bu.”
“Tapi demi sembuh, tetap harus diminum, kan?”
Aku terdiam.
“Sama seperti jiwa kita. Sesakit apa pun, tetap harus dihadapi. Memang terasa sesak saat menuliskan pengalaman yang tak kita inginkan, tapi setelah itu semuanya akan lebih ringan.”
Beberapa waktu setelahnya, sekolah mengadakan IHT bertema “Deep Secret and Inner Child Healing: Learn How to Make Peace with Your Inner Child and Create A Trauma Free Environment for Your Kids to Grow.” Kami diajarkan berdialog dengan diri sendiri, lewat kata-kata, doa, dan tulisan sambil menatap foto masa kecil kami.
Aku mencobanya.
Tapi baru melihat foto itu saja, air mataku sudah jatuh. Dadaku terasa sesak. Aku gagal lagi menjalani sesi terapi menulis itu. Sampai akhirnya kondisiku makin tidak stabil. Emosiku berantakan, pikiranku mudah kalut. Seorang rekan kerja bahkan berkata lembut, “Kamu kayaknya udah butuh bantuan profesional.” Dan benar saja, aku kembali menemui psikolog sekolah.
Sebenarnya aku tahu apa yang harus kulakukan: mendengarkan diri sendiri, journaling, olahraga, beristirahat. Tapi semua itu selalu kuhindari karena aku tak siap menghadapi rasa sakit setiap kali harus mengingat masa lalu. Hingga suatu hari aku sadar: jika ingin sembuh, aku tidak bisa terus berlari dari hal-hal yang menyakitkan.
Aku pun memulai lagi.
Menulis sambil memandangi foto masa kecilku.
Rasanya seperti membuka kembali luka lama yang belum benar-benar kering. Dua jam lamanya aku habiskan hanya untuk menelusuri ingatan-ingatan yang dulu sengaja kupendam. Keesokan harinya, aku mengabari psikologku. Dan beliau membalas dengan kalimat yang membuatku menangis:
“Subhanallah, Solihah. Dengan lembut Allah berkata kepada teteh:
Aku menulis namamu sebelum bumi ini tercipta. Aku merawatmu, menemanimu, menjagamu, dan tak akan meninggalkanmu meski sekejap matapun. Maka maafkanlah segala hal yang menurutmu tak lengkap dan tak sempurna, karena hanya Aku yang Maha Sempurna.”
Sejak saat itu, aku belajar berdialog dengan diri sendiri. Perlahan, setiap kali aku menulis, rasa sakitnya tak lagi sesedih dulu. Setiap huruf yang kutulis seperti menjadi doa kecil untuk jiwaku sendiri. Aku mulai bisa melepaskan, menerima, dan memaafkan terutama memaafkan diriku sendiri.
Perlakuan orang tuaku pun kini berubah. Lebih hangat, lebih menerima, dan lebih penuh kasih. Perubahan itu membuat proses penyembuhanku semakin mudah. Aku merasa Allah memang bekerja lewat cara-cara yang lembut: melalui orang-orang di sekitarku, melalui rasa sakit yang dulu aku benci, dan melalui tulisan-tulisanku sendiri.
Lucunya, kini aku justru kecanduan menulis. Setiap kali perasaan datang dan aku tak tahu harus berbicara pada siapa, aku menulis. Kadang tanpa arah, tapi selalu berakhir dengan kelegaan. Aku sadar, menulis bukan sekadar kegiatan menuangkan pikiran, melainkan proses berdamai dengan masa lalu, dengan diri sendiri, dan dengan takdir.
Menulis itu memang mengingat ulang. Tapi dari setiap ingatan yang kutulis, aku belajar satu hal: bahwa Allah tidak pernah salah menempatkanku di jalan hidup ini. Ada rasa sakit, ada kehilangan, ada luka tapi di antara itu semua, ada pertumbuhan. Dan setiap kalimat yang kutulis adalah bentuk kecil dari kepercayaanku bahwa setelah setiap perih, ada kesembuhan; setelah setiap tangis, ada ketenangan.
Kini aku tak lagi menulis untuk melarikan diri, tapi untuk pulang. Pulang kepada diriku sendiri.
Love,
Ihat



.jpg)
.jpg)
