Tuesday, December 23, 2025
Hari itu tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba kabar itu datang: kamu masuk rumah sakit jiwa.
Informasinya tak pernah utuh. Dan aku memilih untuk tidak banyak bertanya; karena aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu, bukan?
Sampai akhirnya, sahabatmu sendiri yang meneleponku.
Katanya aku harus menjengukmu. Tak bisa dijelaskan lewat telepon. Tiket dan seluruh ongkos perjalanan ditanggung keluargamu. Dan aku memilih mengiyakan, dengan satu alasan yang terdengar paling netral: kemanusiaan.
Sejak pertama kabar itu datang, aku sengaja menjaga jarak. Aku menutup semua lembaran tentangmu. Aku memaafkan kesalahan-kesalahanmu di masa lalu. Aku mengira semuanya sudah selesai.
Tapi mengapa jalannya harus seperti ini? Mengapa keluargamu yang memintaku hadir?
“Sudah satu minggu ini, nama kamu terus keluar dari mulut adik saya,” kata kakakmu begitu aku tiba di rumah sakit. “Kadang dia tertawa, lalu menangis sambil menyesali.”
Aku hanya diam. Mendengarkan. Hingga langkah kami berhenti di ruang khusus untuk bertemu pasien.
Sepuluh tahun berlalu.
Dan baru pada hari itu aku melihatmu lagi.
Kamu mengenakan pakaian pasien, lengkap dengan gelang identitas di pergelangan tangan kirimu. Tubuhmu ada di hadapanku, tapi matamu kosong—seolah tak benar-benar hadir.
“Dek,” kata kakakmu pelan, “ini orang yang sering kamu sebut namanya.”
Tiba-tiba kamu berjalan mendekat. Tanpa ragu, tanpa kata, lalu memelukku.
Aku terkejut bukan main. Naluriku ingin melepaskan diri, tapi pelukanmu terlalu erat, seperti seseorang yang takut kehilangan sesuatu untuk kedua kalinya.
“Jangan tinggalkan saya,” ucapmu terbata. “Maafkan saya.”
Dan di detik itu, aku sadar: ada perasaan yang sudah lama aku kubur rapi, tapi belum sepenuhnya mati.
Aku tidak membalas pelukanmu. Tanganku menggantung kaku di udara, lalu perlahan turun, membiarkanmu menangis di dadaku. Aku tidak tahu harus bersikap sebagai apa? Seorang teman lama, kenangan yang seharusnya selesai, atau orang asing yang kebetulan punya wajah yang kamu ingat?
“Tenang ya,” hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Kalimat paling aman yang bisa kuucapkan agar tidak memberimu harapan, juga tidak melukai.
Kamu terisak lebih keras, seolah kalimat itu adalah izin untuk runtuh sepenuhnya.
Kami duduk berdampingan. Ada jeda panjang di antara kami, dipenuhi suara mesin dan langkah kaki perawat. Kamu bercerita terpotong-potong. Tentang malam-malam tanpa tidur, tentang rasa bersalah yang datang tanpa aba-aba, tentang penyesalan yang tidak tahu harus diarahkan ke mana.
Aku mendengarkan. Tidak menyela. Tidak menghakimi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar hanya hadir.
Di kepalaku, aku berperang dengan diriku sendiri. Ada bagian dari diriku yang ingin memelukmu lebih erat, ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ada juga diriku yang tahu: aku tidak bisa menyelamatkanmu. Dan kamu tidak berhak menjadikanku satu-satunya jangkar.
Waktu kunjungan hampir habis. Perawat memberi isyarat halus.
Aku berdiri. Kamu menatapku cemas.
“Kamu akan datang lagi?” tanyamu lirih.
Aku menarik napas panjang. “Aku doakan kamu sembuh,” jawabku jujur. Tidak berjanji, tidak pula menutup kemungkinan.
Kamu mengangguk, meski jelas ada kecewa di matamu.
Saat aku melangkah pergi, aku tidak menoleh ke belakang. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku tahu: jika aku menoleh, aku mungkin akan tinggal.
Di luar rumah sakit, angin berembus pelan. Untuk pertama kalinya sejak kabar itu datang, aku merasa bisa bernapas penuh.
Sepuluh tahun telah berlalu.
Dan hari itu, aku akhirnya benar-benar melepaskan.
Sunday, December 21, 2025
![]() |
| Photo by Tima Miroshnichenko |
Hari Minggu beberapa jam lagi akan berakhir. Sebentar lagi waktu akan berganti, besok Senin dan itu artinya sudah masuk waktuku untuk mereview sekaligus merefleksikan satu minggu yang sudah aku lalui kemarin. Rutinitas kecil yang kini terasa lebih bermakna, karena aku belajar berhenti sejenak dan benar-benar hadir.
How was your week?
Alhamdulillah, berjalan baik. Tidak selalu mudah, tapi cukup baik untuk disyukuri. Apalagi semenjak didiagnosis depressive episode, banyak banget hal yang selama ini aku lewatkan begitu saja tanpa benar-benar aku sadari, apalagi aku syukuri. Kini aku bisa lebih menghargai segarnya udara di pagi hari, yang dulu begitu aku lewatkan begitu saja. Ternyata dengan bernapas secara sadar, secara tidak langsung itu bikin otak aku kayak direfresh lagi, lebih ringan, dan lebih tenang.
Hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulit juga mampu membangkitkan rasa semangat aku untuk menjalani hidup, satu hari demi satu hari. Makanan yang saat ini bisa aku rasakan rasanya, setelah beberapa minggu yang lalu terasa hambar dan tidak enak dimakan, kini kembali punya rasa. Hal-hal kecil yang dulu hanya aku lewati begitu saja, sekarang justru menjadi sumber syukurku yang besar. Ternyata banyak sekali ya nikmat yang sudah diberikan oleh Allah. Dan betul sekali, jika kita mencoba menghitungnya satu per satu, rasanya tak akan pernah bisa terhitung nikmat yang sudah diberikan oleh-Nya.
Mm, apalagi ya?
Kayaknya itu aja sih. Tapi mungkin sebenarnya bukan "itu aja", melainkan sudah lebih dari cukup. Aku cuma mau bilang terima kasih aja sama diri sendiri yang sudah melewati hari-hari di minggu ini, walau terkadang perasaan menyerah selalu hinggap tanpa permisi. Terima kasih karena kamu sudah tidak memaksakan dirimu untuk selalu tampil sempurna dan ceria setiap harinya.
Pada akhirnya gak apa-apa kan kalau hari itu gak berjalan sesuai dengan keinginan kamu? Ternyata gak apa-apa juga ya, kalau satu hari aja kamu gak all out karena energi kamu emang udah habis? Dan ternyata, aku gak harus galak dan sejahat itu sama diri aku sendiri. Aku boleh lelah. Aku boleh berhenti sebentar. Aku boleh bernapas
Tetap lakukan yang terbaik sesuai dengan kadarnya saja. Jangan melampui batasmu lagi. Mungkin kamu akan mendapatkan tepuk tangan, tapi gak sedikit juga yang akan meremehkan kamu. Selalu ada dua sisi itu, dan kamu gak bisa mengontrol keduanya. Maka dari itu, berhenti mengejar kesempurnaan, dan jalani hari sebisa yang kamu berikan hari itu: gak lebih dan gak kurang juga.
Jangan pernah paksanakan diri kamu lagi ya. Udah cukup depresi ini menjadi pengingat, bahkan tamparan halus, buat kamu untuk lebih menyayangi diri kamu sendiri. Karena pada akhirnya, yang akan terus menemani sampai akhir adalah diri kamu sendiri. Bukan pencapaian kamu, bukan validasi orang lain, tapi diri kamu sendiri: dengan segala luka dan uapaya kamu.
Jadi, ucapkanlah terima kasih pada diri kamu sendiri sebelum tidur dengan tulus. Bilang,
Makasih ya. Kamu udah hebat banget hari ini.
Kamu udah keren banget bisa melewati hari ini.
Besok tetep temenin aku ya.
Bye! <3
Ihat
Saturday, December 20, 2025
| doc. pribadi |
Identitas Buku
Blurb
Tiga Insight Utama
Refleksi Pribadi
Banyak tulisan dalam buku ini menyadarkanku bahwa sebagai manusia, kita tidak pernah benar-benar lepas dari kesalahan. Tidak ada manusia yang sempurna. Dan pada kenyataannya, kita juga tidak sepenting itu dalam hidup orang lain, sehingga kita bisa lebih fokus pada apa yang ingin dan perlu kita lakukan.
Sebagai manusia, kita tidak akan pernah bisa membuat semua orang bahagia. Akan selalu ada yang menjadikan kita tokoh jahat dalam cerita versinya sendiri. Semua kembali pada sudut pandang. Dan tugas kita hanyalah tetap melakukan kebaikan, meski kebaikan itu tidak selalu dipandang baik oleh orang lain.
Hal lain yang membuatku menyukai buku ini adalah caranya mengajak pembaca untuk lebih memperhatikan sekitar, memperlambat ritme hidup, dan benar-benar hadir. Sebab ternyata, hal-hal kecil yang selama ini kita lewati begitu saja bisa menumbuhkan rasa syukur yang luar biasa.
Penutup
Mungkin, keinginan untuk menjadi pohon semangka bukan tentang ingin kabur dari hidup, melainkan tentang lelah menjadi manusia yang terus dituntut untuk kuat, sempurna, dan selalu tahu jawabannya.
Buku ini mengajakku berdamai dengan kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu indah, dan itu tidak apa-apa. Bahwa kecewa, menyesal, dan merasa tidak cukup bukanlah tanda gagal, melainkan bagian dari proses menjadi manusia.
Dan setelah menutup buku ini, aku pulang dengan satu pengingat sederhana: tidak semua hari harus luar biasa. Kadang, bertahan saja sudah cukup. Kadang, duduk diam, menarik napas, dan mensyukuri hal-hal kecil di sekitar kita adalah bentuk kebahagiaan yang paling jujur.
| doc. pribadi |
Identitas Buku
Judul: Surat untuk Putriku: 37 Pelajaran Hidup dari Seorang Ibu
Penulis: Han Sung Hee
Tahun Terbit: Cetakan kedua, Mei 2025
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta
Blurb
- Jadilah anak yang nakal
- Tak ada yang memintamu menjadi superwoman
- Jangan berusaha melakukan semuanya dengan sempurna
- Depresi adalah sinyal untuk memulihkan keseimbangan hati yang hancur
- Seperti apa pun hidup yang kau jalani, jangan menunda cinta
- Hiduo tidaklah serumit itu, jadi nikmati saja prosesnya
Tiga Insight Utama
Refleksi Pribadi
Dari sekian banyak sosok yang lalu-lalang di sekitar pandanganku,
entah mengapa langkah batinku justru berhenti padamu.
Sosok yang tenang,
dengan senyum seperlunya dan wibawa yang tak perlu dijelaskan.
Tanpa banyak rencana,
sebuah kalimat meluncur begitu saja
lebih seperti bisikan hati daripada pengakuan.
Aku menyukainya,
tanpa pernah benar-benar tahu
bahwa dalam ketidaksadaranku,
ada doa-doa kecil yang diam-diam terucap.
Namun pagi berikutnya,
aku hanya belajar menahan rasa,
saat kenyataan memperlihatkan
bahwa hatinya telah lebih dulu berlabuh.
Tasikmalaya, 19 Desember 2025
Thursday, December 18, 2025
Ada banyak hal yang aku lewati dalam satu minggu kemarin. Dengan kondisi otakku yang sedang tidak baik-baik saja, ada kalanya aku ingin menyimpannya di kamar dan tidak membawanya ke mana-mana. Karena rasanya sakit, berat, dan sangat tidak nyaman untuk diajak hidup bersama.
Minggu lalu, aku akhirnya memutuskan untuk resign dari kegiatan mengajarku di sekolah formal. Aku sudah lelah. Aku butuh pagi yang tenang, tanpa debur langkah yang terburu-buru menuju sekolah, tanpa omelan, tanpa keluhan rekan kerja tentang siswa yang seolah tak pernah ada habisnya.
Beberapa rekan kerja menyayangkan keputusanku. Namun, keputusanku sudah bulat. Aku tak lagi sanggup membohongi diri sendiri dengan terus berpura-pura terlihat baik-baik saja. Aku benar-benar lelah.
Lelah.
Terlalu banyak waktu yang selama ini aku habiskan hanya untuk bekerja. Terlalu banyak hal yang akhirnya terlewat. Tiga tahun di Bandung menjadi masa yang kini kusesali. Bukan karena tempatnya, tapi karena aku terlalu fokus dan memprioritaskan pekerjaan, sampai lupa memberi jeda dan istirahat untuk diriku sendiri.
Sepuluh tahun bekerja tanpa henti, sering kali mengabaikan alarm-alarm tubuh, akhirnya membawaku pada kondisi yang harus kuterima hari ini.
Baiklah, dengan berat hati aku akan mengatakannya.
Aku didiagnosis mengalami depressive episode dan saat ini sedang menjalani terapi obat.
Capek?
Jangan ditanya.
Aku juga lelah.
Lelah.
Lain kali, aku akan bercerita lagi.
Love,
Ihat
Wednesday, December 17, 2025
| doc.pribadi |
Identitas Buku
Blurb
Tiga Insight Utama
Refleksi Pribadi
Membaca buku ini membuatku semakin sadar bahwa di dunia ini, tidak ada orang yang benar-benar normal lalu tiba-tiba ingin bunuh diri. Pikiran tersebut tidak muncul begitu saja.
Ini bukan semata soal kurang iman, kurang bersyukur, atau kurang kuat. Di baliknya, ada luka yang tidak terlihat, beban yang terlalu lama dipendam, dan kelelahan yang tidak pernah benar-benar mendapat ruang.
Mereka yang mengalami depresi sebenarnya hanya membutuhkan satu hal yang sangat manusiawi: ruang untuk dipahami. Didengarkan tanpa dihakimi. Diterima tanpa disudutkan. Buku ini mengajarkanku bahwa memanusiakan manusia adalah bentuk empati paling sederhana. Mengakui bahwa semua perasaan itu valid dan setiap peristiwa tidak bisa kita pukul rata kadarnya.
Setiap manusia memiliki kapasitasnya masing-masing dalam menghadapi masalah. Dan memahami hal itu, barangkali, adalah langkah kecil yang bisa menyelamatkan seseorang atau bahkan diri kita sendiri.
Penutup
Buku ini tidak memberian aku jawaban instan tentang bagaimana caranya sembuh. Tetapi buku ini memberikan aku sesuatu yang jauh lebih penting: pengertian. Tentang diri sendiri, tentang orang lain, dan tentang luka yang sering kali tidak terlihat.
Aku belajar bahwa depresi bukanlah kelemahan, melainkan sinyal bahwa ada bagian jiwa yang terlalu lama diabaikan. Dan mencintai jiwa yang terluka bukan berarti memaksa diri untuk segera baik-baik saja, melainkan berani berhenti sejenak, mengakui lelah, lalu perlahan mencari pertolongan.
Semoga setelah membaca buku ini, kita bisa lebih lembut pada orang lain, dan terutama pada diri sendiri. Karena barangkali, itulah langkah awal dari proses penyembuhan yang sesungguhnya.
| doc. pribadi |
Identitas Buku
Blurb
Tiga Insight Utama
Refleksi Pribadi
Ini adalah pertama kalinya aku kembali membaca novel setelah hiatus beberapa bulan. Selama ini, aku lebih memilih buku-buku self-improvement, seolah sedang sibuk membenahi diri, mencari jawaban, dan belajar kuat.
Aku pertama kali menemukan cerita ini dari blognya Tsana. Dan entah kenapa, sekali baca, rasanya boom. Ceritanya seperti menampar, pelan tapi tepat sasaran. Ada banyak bagian yang terasa dekat, terlalu dekat bahkan. Seolah kisah Rani tidak sepenuhnya fiksi, tapi potongan-potongan perasaan yang pernah aku simpan rapi.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung membeli bukunya. Dan benar saja, novel ini bukan sekadar tentang cinta atau masa lalu, tapi tentang keberanian untuk mengakui bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa kita miliki, sekeras apa pun kita menginginkannya.
Membaca buku ini membuatku diam cukup lama. Mengingat, merasakan, lalu perlahan belajar melepaskan lagi.
Penutup
Mungkin memang ada musim yang tidak ditakdirkan untuk kita miliki, sekeras apa pun kita ingin menetap di sana. Ada cerita yang hanya hadir untuk mengajarkan, bukan untuk dilanjutkan.
Novel ini mengingatkanku bahwa melepaskan bukan berarti kalah, dan mengingat bukan berarti harus kembali. Kadang, yang paling bisa kita lakukan hanyalah menerima bahwa beberapa orang dan rasa memang diciptakan untuk selesai.
Dan setelah menutup halaman terakhirnya, aku belajar satu hal: tidak semua yang kita sayangi harus kita simpan. Sebagian cukup kita kenang, lalu kita biarkan pergi dengan tenang.
| doc. pribadi |
Identitas Buku
Blurb
Tiga Insight Utama
1. Menjadi pemula berarti berdamai dengan proses
Untuk menjadi pemula yang bahagia, kita perlu memahami bahwa tidak ada hal yang bisa langsung jadi. Tidak ada proses instan atau abrakadabra. Semua membutuhkan waktu, dan tugas kita adalah menikmati setiap tahapannya.
2. Banyak hal sederhana yang bisa dicoba tanpa harus sempurna
Memasak tidak harus sekelas MasterChef. Berenang berarti bermain air. Belajar menyetir cukup menjadi sopir amatir. Menari bisa membuat hati bahagia, bernyanyi di kamar mandi itu sah-sah saja, dan menjadi gitaris, meski baru bisa satu kunci, tetap terasa keren.
3. Tidak pernah ada kata terlambat untuk menjadi manusia bahagia
Usia bukan penghalang untuk memulai. Selama kita masih hidup, selalu ada ruang untuk mencoba dan bertumbuh.
Refleksi Pribadi
Dari buku ini, aku belajar bahwa di usia berapa pun, saat ada keinginan, lakukan saja. Jangan menunggu momen sempurna atau merasa benar-benar siap, karena pada hakikatnya kita tidak akan pernah sepenuhnya siap.
Mulailah dari hal yang paling mudah. Jangan terlalu ambisius untuk langsung bisa atau langsung jago. Nikmati setiap momen di tiap levelnya. Karena sejatinya, tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang langsung mahir dalam suatu bidang.
Sebelum menjadi ahli, mereka lebih dulu akrab dengan kegagalan, menikmati proses, dan memilih untuk tidak menyerah.
Penutup
Membaca buku ini seperti diingatkan kembali bahwa aku tidak perlu terburu-buru menjadi siapa-siapa. Tidak harus hebat hari ini, tidak harus rapi dari awal, dan tidak harus tahu semua jawabannya sekarang. Cukup hadir sebagai pemula yang mau belajar, jatuh, bangkit, lalu mencoba lagi.
Di dunia yang sering menuntut kita untuk cepat, buku ini mengajakku melambat. Mengizinkan diri untuk tidak tahu, tidak bisa, dan belum mahir, tanpa harus merasa gagal. Karena ternyata, menjadi pemula bukanlah tanda ketertinggalan, melainkan bukti keberanian: berani memulai.
Dan mungkin, di fase hidupku saat ini, menjadi pemula adalah bentuk paling jujur dari mencintai diri sendiri.
Thursday, December 11, 2025
Dalam melakukan apa pun, aku selalu berusaha untuk sempurna. Aku sadar, kesalahanku adalah aku tak pernah mengizinkan diriku menjadi seorang pemula. Aku selalu membandingkan diriku dengan orang-orang yang sudah berada di level tertentu. Ketika hal itu terjadi dan aku mendapatkan pujian, rasanya senang bukan main. Tapi ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku, aku langsung marah dan merendahkan diriku sendiri serendah-rendahnya.
Sampai akhirnya aku lelah. Lalu aku bertemu dengan lingkungan yang mengingatkanku untuk mengizinkan diriku menjadi pemula. Untuk tidak melihat jalan orang lain, cukup fokus pada jalanku sendiri. Kalau aku masih berada di titik satu dan orang lain di titik lima, tentu tidak adil kalau aku terus membandingkan diriku dengan mereka.
Aku pernah ingin menjadi guru yang kompeten, istri yang baik, ibu yang baik suatu hari nanti, menantu yang baik, teman yang baik, anak yang baik, dan rekan kerja yang baik. Aku berusaha keras untuk semua itu. Namun, sekeras apa pun aku mencoba, akan selalu ada saja orang yang tidak setuju, tidak menyukai, atau menemukan celah dalam apa yang kulakukan. Akan selalu ada masalah yang muncul.
Sampai akhirnya aku sadar: aku harus berhenti memaksakan diri menjadi “orang baik” versi semua orang. Aku juga harus berhenti mengejar kesempurnaan. Kalau memang ada yang tidak suka, apakah harus dipaksa suka? Tidak. Jadi mulai sekarang, aku belajar untuk tidak menilai diriku berdasarkan apa yang orang sukai. Aku ingin lebih banyak mendengarkan diriku sendiri dan melakukan apa pun yang benar-benar ingin kulakukan.
Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang memenuhi ekspektasi siapa pun. Hidup ini tentang belajar pelan-pelan, tumbuh dengan ritmeku sendiri, dan menerima bahwa menjadi manusia berarti membuat kesalahan, jatuh, bangun lagi, dan terus berjalan. Aku ingin memberikan ruang bagi diriku untuk bernapas, belajar, salah, mencoba lagi, dan berkembang tanpa tekanan untuk selalu benar.
Aku ingin menapaki hidup dengan lebih ringan, tanpa harus terburu-buru mengejar standar orang lain. Mulai sekarang, aku memilih untuk menyayangi diriku apa adanya, dengan segala kekurangan, proses, dan perjalanan panjang yang masih terus berlangsung. Aku mungkin belum sampai ke mana-mana, tapi aku sedang menuju ke sana, dengan langkah-langkah kecil yang tulus.
Love,
Ihat
Monday, December 08, 2025
Malam itu aku mendengar tangisan seorang anak kecil, disusul teriakan sumpah serapah dari seorang Ibu. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi jelas sekali: setiap kali anak itu menangis, si Ibu yang tampaknya sudah kelelahan terus mengeluarkan kata-kata kasar.
“Anjing.”
“Goblog.”
“Kamu itu anak saya. Harusnya kamu sayang sama saya!”
Aku sempat melihat sekilas. Si Ibu sedang mengepel bagian luar rumahnya. Sepertinya anaknya menjatuhkan sesuatu hingga tumpah dan membasahi lantai. Ia masih sangat muda, mungkin usianya jauh di bawahku, namun beban hidup yang ia tanggung terasa begitu berat.
Aku terdiam mendengar semuanya. Di satu sisi aku bisa merasakan bahwa dia lelah, mungkin kewalahan, mungkin tidak punya dukungan. Tapi di sisi lain, batinku ikut perih membayangkan apa yang dirasakan anak itu jika ia sudah bisa berkata-kata. Mungkin ia ingin bertanya:
“Bu… kalau Ibu belum siap jadi Ibu, kenapa harus punya anak? Kenapa melahirkan aku ke dunia? Aku tidak pernah meminta itu…”
Malam itu aku belajar sesuatu lagi. Bahwa memilih untuk menikah itu penting. Memilih untuk punya anak secara sadar itu jauh lebih penting. Kita sering diberi tahu bahwa cinta cukup, tapi tidak. Untuk membangun rumah tangga dan membesarkan anak, cinta saja tidak cukup. Dibutuhkan ilmu, kedewasaan, kesiapan mental, dan ruang untuk bertumbuh.
Memang benar, tidak ada manusia yang benar-benar siap sepenuhnya. Tapi setidaknya, ada yang dipersiapkan. Ada kesadaran. Ada tanggung jawab yang diterima tanpa paksaan.
Bukan lagi karena ekspektasi keluarga.
Bukan karena desakan budaya.
Bukan karena ingin membungkam omongan tetangga.
Aku jadi teringat perkataan rekanku yang sudah menikah, lalu bercerai, dan kini membesarkan anaknya seorang diri:
“Nikmati dulu waktu singlenya. Lakukan apa yang kamu suka. Jangan menikah hanya karena sudah gerah dengan omongan orang. Omongan mereka tidak akan pernah selesai. Bahkan setelah menikah pun, akan ada omongan lain. Menikahlah hanya kalau memang kamu sadar memilih itu dan siap dengan segala konsekuensinya.”
Malam itu, dari balik dinding rumah orang lain, aku belajar tentang kehidupan. Tentang luka yang diwariskan. Tentang tanggung jawab yang sering diambil tanpa benar-benar dipahami. Dan tentang betapa berharganya keputusan-keputusan besar yang seharusnya dibuat dengan hati yang sadar, bukan hati yang takut.
Love,
Ihat
Sunday, December 07, 2025
Sebenarnya sudah hampir 2-3 minggu aku hiatus dari menulis reflektif di blog, apalagi sejak aku didiagnosa dan harus menjalani konseling dengan psikiater. Awalnya aku marah dan sulit menerima kondisi itu. Namun entah mengapa, setelah aku mencoba berdamai dengan semuanya, perlahan perjalanan hidup ini terasa penuh dengan jeda. Penuh tarikan napas panjang, penuh dengan hal-hal kecil yang terus menerus mengajak aku untuk berhenti sejenak, dan terus mengajak aku untuk memperlambat langkah.
Ada banyak sekali momen yang mungkin bagi sebagian orang itu kecil, tapi menurutku itu besar. Momen-momen yang mengetuk hati dan terus memaksaku kembali melihat diri sendiri dengan lebih jujur.
Aku belum bisa cerita tentang kondisi detailnya kepada kalian. Yang jelas, saat ini aku tidak lagi denial bahwa aku memang sedang tidak baik-baik saja, sedang berobat ke psikiater, dan terus melakukan terapi menulis.
1. Apa tiga hal besar yang paling memengaruhi emosiku minggu ini, dan bagaimana aku meresponnya?
Tiga hal besar yang paling memengaruhi emoski minggu ini adalah hubungan dengan orang tua yang semakin terbuka sehingga membuat aku lebih cepat mengerti dan menerima masa lalu. Lalu tulisan jahil seorang teman yang entah mengapa berhasil membuat hatiku terenyuh walaupun aku tahu itu ia tidak benar-benar menuliskannya, dan rasa kesal saat seseorang mulai melewati batas yang sudah aku tetapkan.
2. Pelajaran penting apa yang Allah ingin tunjukkan kepadaku melalui minggu ini?
Minggu ini aku kembali menjalani konseling lagi ke psikiater. Entah mengapa, seharian setelah konseling itu rasanya lelah. Dari situ aku belajar satu hal: Allah sedang mengajari aku untuk bisa lebih berempati dan lebih sayang sama diri sendiri. Semua perasaan itu valid dan aku belajar untuk bisa menerima sekaligus merasakannya tanpa menghakimi diri.
Selain itu, aku juga sadar kalau aku tidak bisa menjadikan kondisiku saat ini sebagai alasan aku untuk berleha-leha atau mencari pembenaran. Meski aku tahu, aku tak bisa sefokus atau semaksimal dulu. Kini aku sedang belajar untuk hidup dalam mode "biasa-biasa saja." Aku lelah selalu berusaha menjadi yang terbaik. Jadi untuk saat ini, tugasku adalah hanya menjalankan tanggung jawab sebaik yang aku bisa, tanpa membenani diri dengan ekspektasi berlebih yang aku buat sendiri. Let yourself be a beginner.
3. Bagian mana dari diriku yang tumbuh, berubah, atau mulai kusadari sepanjang minggu ini?
Jika minggu-minggu sebelumnya aku merasakan numb, semuanya terasa abu-kelabu, kini perlahan entah mengapa seperti ada kepakan sayap kupu-kupu yang menari di dalam kepalaku. Aku mulai tersentuh oleh hal-hal kecil yang dulu, sewaktu aku kecil belum sempat aku nikmati.
Misalnya, diantar jajan ke alun-alun oleh Bapak, membeli es krim dan memakan bersama keluarga, atau membeli ayam goreng yang bisa dimakan tanpa nasi bersama keluarga. Sederhana, tapi menghangatkan hati. Walau aku tahu, berbicara soal uang tidak ada habisnya, tapi aku tak pernah tahu apakah masih ada kesempatan esok hari untuk aku bisa berkumpul dan menghidupkan haarapan-harapan diriku sewaktu kecil yang belum bisa diraih.
4. Interaksi atau hubungan mana yang paling membekas minggu ini, dan mengapa?
Hubungan dengan kedua orang tua. Mereka bercerita soal masa lalu, tentang bagaimana mereka dulu dan alasan kenapa mereka memperlakukan aku begitu. Tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar.
Aku belajar untuk menerima seluruh kebaikan dan kekurangan mereka. Belajar untuk memahami bahwa dalam hidup semuanya datang dengan satu paket. Baik dengan buruknya, lebih dan kurangnya, cinta dan juga benci, bahagia dan juga tangis. Aku sudah menurunkan semua ekspektasi aku tentang orang tua yang dari dulu aku bangun. Tidak ada orang tua yang sempurna. Begitupun aku sebagai anak: tidak ada anak yang sempurna.
5. Apa satu langkah kecil yang ingin aku lakukan minggu depan agar hidupku lebih selaras dengan diri dan Tuhanku?
Aku ingin bangun lebih pagi dan bisa bercengkrama dengan Tuhanku. Aku ingin berdoa agar suatu saat nanti aku bisa lepas dari obat-obat ini, berolahraga di pagi hari, dan mensyukuri setiap nafas yang telah diberikan-Nya.
Aku tidak ingin lagi membebani diri dengan ekspektasi-ekspektasi yang terlalu tinggi, tidak ingin menyalahkan rencana-Nya yang jauh lebih indah dari apa yang sudah aku rancang sendiri, serta ingin terus belajar rendah hati dalam menerima dan menjalani apa yang sudah ditetapkan-Nya.
Sekarang giliran kamu, bagaimana kamu berhasil melalui minggu ini?
Love,
Ihat
What would you say if you could tell every single person in the world just one thing?
This morning, I got that question from 101 Essay that will Change the Way You Think written by Brianna Wiest
If I could tell every single person in the world just one thing, I would say:
“Let people have their space. Let them have their own time.”
There are many people in this world who can respect our choices. For example, when someone needs a moment alone or wants to sit quietly in a corner, others simply let them be without asking too many questions. They understand that needing space doesn’t mean pushing people away.
But in my case, it’s different.
When I take a step back or sit alone for a while, people around me think I’m avoiding them because I’m upset or I hate them. They misunderstand my silence. And in the end, I’m forced to sit in the same room again, pretend everything is fine, and ignore my own need for breathing space.
I don’t like that feeling.
Why is this person so bossy? Why does she feel the need to tell everyone that I “have a problem”? I just needed a moment. I just needed space. But she keeps making it bigger, louder, and more complicated than it is.
At work, there are days when I simply need to be by myself. To recharge, to breathe, to think. But it seems like they never understand that. They always want everyone to gather in the same room, no matter what.
And honestly… it’s exhausting.
Saturday, December 06, 2025
Nadia:
Kak, kalau FB kakak itu Reza Pratama bukan nama profilnya?
Reza:
Yap! 100 buat Nadia.
Nadia tersenyum bahagia sembari memeluk gulingnya erat. Semenjak berkenalan dengan Reza itulah hari-hari Nadia terasa seperti musim semi setiap hari. Ringan, hangat, dan penuh kejutan kecil.
Reza:
Jadi Nadia suka sama siapa nih?
Nadia:
Ah itu mah secret dong. Hahaa.
Reza:
Ayo dong, nanti sama Kakak dibantu kalau Kakak tahu orangnya.
Nadia:
Nggak ah, nanti juga Kakak tau sendiri.
Atau mungkin pesan yang dibuka Nadia setelah Nadia pulang sekolah.
Reza:
Udah pulang?
Gimana tadi sekolahnya? Seru gak?
Ketemu sama orang yang disuka gak?
Pesan-pesan itu datang hampir setiap hari.
Sampai suatu hari di sore yang cerah saat Nadia tengah mendengarkan radio dan menunggu request-annya dibacakan, ponsel Nokianya berdering. Tanda SMS masuk.
Reza:
Nad, lagi apa?
Nadia:
Lagi dengerin radio. Kakak sendiri lagi apa?
Reza:
Lagi nonton Persib.
Nadia membiarkan SMS itu terbuka begitu saja karena ia fokus mendengarkan SMSnya dibacakan oleh penyiar radio.
Reza:
Nad…
SMS baru masuk lagi berbarengan dengan selesai dibacakannya SMS Nadia di radio.
Nadia:
Eh iya Kak, gimana?
Reza:
Nadia suka Persib gak?
Nadia:
Mm, suka. Kenapa gitu Kak?
Reza:
Bisa temenin nonton?
Nadia menatap layar ponselnya lama sekali. Seperti ada sesuatu yang mengepak lembut dalam dadanya. Perasaan asing yang membuatnya tersenyum tanpa sadar.
Nadia:
Temenin nonton gimana Kak?
Percakapan-percakapan itu menjadi bagian dari hari-harinya. Dan lama-lama, Reza mulai mengungkapkan sesuatu yang lebih jujur.
Sampai suatu malam, sebuah pesan dari Reza muncul di layar ponsel Nadia. Pesan yang pada akhirnya membekas di ingatan Nadia seumur hidupnya.
Reza:
Kakak boleh nanya gak?
Nadia:
Boleh, kak. Mau nanya apa?
Beberapa detik sunyi. Lalu muncul balasan yang membuat jantung Nadia terasa berhenti berdetak.
Reza:
Nadia, mau enggak saling percaya? Nadia percaya sama Kakak, Kakak percaya sama Nadia.
Nadia menatap layar lama.
Saling percaya? Apa maksudnya
Nadia:
Saling percaya?
Reza:
Iya. Harapan supaya kita bisa saling percaya.
Nadia:
Maksudnya?
Balasan berikutnya membuat Nadia terasa sesak.
Reza:
Perasaan Nadia sekarang ke Kakak gimana?
Jantung Nadia bagai dihantam. Jarinya kaku. Nadia tidak membalas. Bukan karena tidak tahu jawabannya, tetapi karena terlalu takut mengatakannya.
Beberapa menit kemudian, Reza mengirim pesan lagi.
Reza:
Iya sudah, kalau Nadia belum siap.
Kakak cuma mau bilang, Kakak punya harapan ke Nadia.
Supaya Nadia bisa terus menemani Kakak.
Nadia memandangi layar itu sepanjang malam. Tidak ada yang Nadia balas. Nadia membiarkan pesan itu terbuka.
***
Keesokan harinya…
Setelah mengumpulkan keberanian, Nadia akhirnya membalas dan berterus terang akan perasaannya.
Jadi, Kakak lagi menjalani hubungan spesial dong?
Jawaban Reza ringan, tetapi mengikat.
Sementara itu Nadia memeluk gulingnya erat dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya.
Reza yang akhirnya menyebut hubungan mereka HTS-hubungan tanpa status. Hubungan yang berjalan seolah nyata, tetapi tidak pernah benar-benar diberi tempat untuk tumbuh.
Satu, dua, tiga hingga empat minggu semua berjalan seperti biasa. Nadia bahagia setiap kali mendapatkan pesan-pesan dukungan dari Reza. Nadia tidak benar-benar mengerti sebenarnya apa itu HTS. Tapi Nadia mengerti satu hal:
Reza perhatian.
Reza membuatnya merasa dilihat
Dan untuk pertama kalinya, Nadia merasa penting bagi seseorang.
Namun sayang, setiap awal selalu ada akhir. Hanya saja Nadia tidak pernah mengantisipasi itu. Sampai kemudian pesan itu mulai jarang datang.
Semakin jarang.
Lalu berhenti.
Nomornya tidak aktif.
Facebooknya hilang.
Seakan Reza menghapus diri dari dunia.
Nadia menunggu dalam diam.
Dan yang tersisa hanyalah pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Apa salahku?
Kenapa menghilang?
Kenapa tidak pamit?
Kenapa tidak ada kata selesai?
Pertanyaan-pertanyaan itu tetap tinggal di hati Nadia, bertahun-tahun lamanya.
Di kehidupan berikutnya kamu mau jadi apa?
Aku dapat pertanyaan ini dari buku Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya yang ditulis oleh dr. Andreasa Kurniawan, Sp.KJ.
Kalau dipikir-pikir, dalam Islam setelah mati memang ada kehidupan selanjutnya, yaitu akhirat. Jadi, sebenarnya pertanyaan ini mungkin tidak terlalu relevan ya. Tapi baiklah, kalau seandainya ada “kehidupan berikutnya” dalam arti lain, aku ingin menjadi… burung.
Kenapa burung? Karena aku ingin merasakan bagaimana rasanya benar-benar bebas. Terbang ke sana kemari tanpa batas, tanpa banyak hal yang mengikat. Melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Dari atas pohon, dari tanah, dari atap rumah. Menyaksikan matahari terbit dari ketinggian. Menikmati angin yang menyentuh tubuh tanpa harus memikirkan apa-apa. Sepertinya menyenangkan sekali menjadi burung.
Kadang aku membayangkan, betapa tenangnya hidup jika bisa berpindah tempat hanya dengan mengepakkan sayap. Enggak ada rencana yang rumit, gak ada tekanan untuk selalu kuat, atau beban untuk menjadi versi terbaik setiap saat. Hanya ada aku, udara, dan semesta yang luas. Betapa ringan hidup ketika yang perlu dipikirkan hanya terbang dan kembali pulang.
Kalau jadi manusia ya begini. Banyak aturan, banyak tanggung jawab, banyak hal yang harus dikerjakan dan diurusi. Ada lelah yang tak bisa dijelaskan. Ada ekspektasi, ada tuntutan, ada suara-suara dari luar yang kadang lebih keras dari suara hatiku sendiri. Ruang gerakku sering terasa sempit, seolah aku harus menyesuaikan diri terus-menerus.
Mungkin itu sebabnya bayangan menjadi burung terasa begitu menenangkan; seru, ringan, dan bebas. Seolah aku bisa beristirahat sebentar dari ributnya dunia, dan kembali mengingat bahwa hidup juga bisa sesederhana menikmati angin yang berhembus di antara sayap.
Jadi gimana? Hmm...
Sebenarnya ketika menulis ini aku gak tahu arah tulisannya ke mana. Tapi tulisan ini juga jadi mengingatkan aku bahwa gak semua manusia bisa menikmati angin yang berhembus kan? Kadang kita banyak melewatkannya tanpa sadar. Padahal beberapa waktu lalu, saat aku mencoba menikmati angin secara sadar, rasanya luar biasa… bagaimana angin membelai lembut pipiku, seperti mengingatkan bahwa aku masih hidup, masih bisa merasakan sesuatu.
Ternyata banyak hal yang kita lewati dalam hidup hanya karena kita terlalu fokus pada hal-hal besar. Padahal mungkin, kebahagiaan yang kita cari selama ini tersimpan di momen-momen kecil yang selama ini tak sempat kita hiraukan.
Cheers,
Ihat


Social Media
Search