Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact

Photo by Ylanite Koppens


Aku kira ini bakal jadi yang terakhir.

Ternyata aku masih harus patah hati lagi.


Sedih dan kecewa memang ada, tapi rasanya enggak terlalu besar. Semua terasa biasa aja, hanya di ambang batas wajar. Meski iya, aku tahu diri aku nggak baik-baik aja waktu aku tahu kenyataannya. 

Aku seneng banget waktu dia mulai hadir dalam hidup aku. Dia yang baik, sopan, enggak pernah bilang aneh-aneh, dan juga enggak pernah obral janji. Sekalinya janji, selalu ditepati. Ngobrol sama dia itu berasa kayak lagi ngobrol sama teman lama yang udah lama enggak ketemu. Dia bisa dengan mudahnya paham apa yang aku utarakan tanpa harus aku jelaskan secara detail. Begitu pun sebaliknya. Sulit bagi aku untuk bisa klop sama orang, apalagi kalau harus berbagi hal-hal yang bersifat personal.

Aku merasakan banget perbedaannya. Waktu di awal kenalan dia cukup tertutup. Sulit banget buat bahas diri dia sendiri. Komunikasi hanya sebatas ngobrolin soal budaya di negara masing-masing. Lambat laun, aku merasakan dia mulai terbuka sama aku dan menunjukkan sisi humorisnya. Aku tahu rasa nyaman di antara kita enggak tiba-tiba datang begitu aja. Semuanya murni datang secara perlahan dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Ada satu momen di mana aku lagi merasa down banget dan udah pengen nyerah aja. Aku cerita sama dia. Aku kira habis itu aku bakal ditinggalin karena dia tahu sisi lemahnya aku, eh ternyata enggak. Dia justru malah support aku, sering memvalidasi perasaan aku, dan selalu berhasil meredakan emosi aku yang emang aku sendiri sulit untuk bisa menanganinya seorang diri. Dia enggak mudah untuk men-judge juga. Aku suka dengan kejujuran dia, ketegasan dia dan cara dia menepati janji yang udah dibuatnya.

Sampai aku sadar, komunikasi ini rasanya udah bukan lagi sebatas teman. Aku memberanikan diri untuk bertanya apakah dia memiliki intention yang lebih untuk hubungan ini atau tidak. Dan jawabannya adalah tidak. Dia hanya ingin menjadi teman, sebatas teman dekat saja. Dia bilang bahwa untuk kejenjang serius, menurut dia hubungan ini tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan pernah terwujud. Alasannya ya jarak kita yang jauh, beda negara, beda benua, belum lagi perbedaan budaya, harus mengurus perizinan untuk tempat tinggal/kewarganegaraan, belum lagi salah satu pihak harus ada yang mau meninggalkan keluarganya, ditambah juga masalah finansial. Dia tidak ingin menyakiti satu sama lain karena rasa kecewa nanti di akhir. Jadi, dia memutuskan untuk berteman saja tanpa komitmen apa-apa. Dia pun bilang, dia hanya ingin aku bahagia meskipun itu berarti bukan sama dia.

Awalnya, tidak bisa dipungkiri. Perasaan sedih sekaligus kecewa datang menyelinap dalam hati. Saat itu, aku pun memutuskan untuk mengambil jeda sejenak. Tapi lucunya, itu tidak berhasil. Hanya beberapa hari tidak berkabar, dia akhirnya datang kembali dan bilang juga bahwa sebenarnya dia juga sedih. Di sisi lain, dia juga tidak ingin aku terluka lebih dalam lagi karena dia yakin hubungan ini tidak akan pernah terwujud. 

Kami pun kembali memulai obrolan biasa dengan permintaannya bahwa aku harus segera melepaskan dan menghapus perasaanku padanya. Oke, aku bisa mencoba melepaskannya sedikit demi sedikit. Namun tetap saja, aku gak munafik. Perasaan itu justru malah makin tumbuh karena aku jadi lebih tahu sisi dia yang lain. Dia yang mau belajar hal-hal baru, sering diandalkan teman-temannya dalam bekerja, tahu caranya meredam rasa curiga atau overthinkingnya aku, dan selalu bilang,

"It's ok."

"Everything will be ok. You can pass it well!"

"Keep calm. You can handle it. Trust yourself!"

Dia yang selalu meluruskan kesalahpahaman dengan kepada dingin dan santai. Bahkan terkadang selalu mengurutkan kesalahpahaman yang ada kemudian dia jelaskan satu persatu. Kalaupun harus jujur, sifat dia selama ini adalah sifat-sifat yang seluruhnya pernah aku tulis. Sayangnya, aku lupa satu hal: aku harusnya menulis juga, "Dia yang ingin memperjuangkan aku tanpa ragu dan bukan hanya sebatas teman saja."

Sedih sih, tapi mau gimana lagi ya. Aku juga enggak bisa maksa dia. Cuma yang masih jadi pertanyaan adalah, kenapa dia sudah memutuskan dari awal bahwa hubungan ini enggak akan berhasil dan terwujud? Padahal aku dan dia belum pernah discuss perihal pros and cons jika kita memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius.

Demi melindungi diri aku sendiri, aku mulai mencoba secara bertahap untuk meninggalkan dia. Berat rasanya, karena dia adalah tempat aku merasa aman dan dimengerti. Tapi aku tahu, kalau aku terus bertahan, aku hanya akan makin terluka. Aku tahu, enggak nyaman banget menginggalkan dia. Tapi aku enggak mau lagi menyakiti diri sendiri lebih lama dengan bertahan sama orang yang dia sendiri udah pesimis buat memperjuangkan aku di hidupnya.

Mari belajar melepaskan ya ;)


Ihat


Photo by Pixabay


Seperti saat bermain catur, kamu bebas menentukan siapa yang akan lebih dulu memainkan peran. Setiap peran memiliki jalannya sendiri menuju tujuannya, yaitu mengalahkan raja. Namun, di sana juga kamu harus berpikir. Jalan mana yang bisa kamu kuasai dan hadapi untuk melawan musuh di depanmu. -Ihat Azmi-

Ditemani gemericik suara hujan di pagi hari yang tidak terlalu dingin, aku memutuskan mengawali weekend ku kali ini dengan menumpahkan segala kebisingan isi kepala melalui jari-jemari yang terus menari di atas keyboard pink kesayanganku. 

Ini adalah weekend pertama sejak aku memutuskan pindah ke kosan baru yang lokasinya agak jauh dari tempat bekerjaku. Semula, kosanku berada dekat dengan tempat kerjaku. 

Lucunya, banyak sekali orang-orang yang menyayangkan keputusanku ini. Hampir semua orang bertanya-tanya mengapa aku memutuskan untuk pindah, padahal jarak tempat kerja lebih dekat dari kosanku yang lama. Setiap kali mereka menyayangkan keputusanku, aku hanya tersenyum. Anehnya, aku sama sekali tidak menyesali keputusan ini. Sebaliknya, aku bersyukur dan mengapresiasi diriku sendiri karena sudah berani untuk mengambil langkah ini.  

Jika ditanya alasan sebenarnya ya, aku jenuh dengan situasi dan kondisi sebelumnya. Aku butuh sesuatu yang baru untuk menyelamatkan diriku dari rasa jenuh yang menganggu aktifitas sehari-hari. Misalnya, aku sering merasa malas beribadah, menunda-nunda waktu salat, bahkan menunda pekerjaan rumah. Aku lebih senang rebahan di atas kasur sambil scrolling di hp. Aku juga sering menunda berangkat ke tempat kerja, berpikir, 

"Tempatnya dekat ini, ngapain harus datang pagi-pagi?" 

Selain itu, aku merasa malas melakukan aktifitas pribadi seperti menulis, mengerjakan tugas tambahan atau belajar mandiri. Biasanya, aku memilih untuk pergi ke kafe untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut karena jika dikerjakan di kosanku yang lama, aku akan berakhir dengan kembali ke atas kasur dan tidur. Bahkan, setiap kali weekend tiba,  aku lebih banyak menghabiskannya untuk tidur. Rasanya malas sekali melakukan apa pun. 

Dari situ aku sadar, ada sesuatu yang tak beres dengan diriku. Setelah mencoret-coret perhitungan biaya bulanan dan lain-lain, aku memutuskan untuk pindah. Bismillah! Dengan penuh keberanian, aku mengambil keputusan itu. Meski jaraknya lebih jauh dari tempat kerja, aku tahu ini akan memaksaku untuk bangun lebih pagi. Aku juga harus kembali menjadi penumpang angkot dan demi menghemat pengeluaran, akupun memutuskan untuk berjalan kaki dari jalan besar menuju tempat kerja. Dengan medan jalannya yang menanjak dan cukup jauh. Lucunya, aku justru memotivasi diriku sendiri, kan jarang olahraga. Nih sekalian olahraga. Itung-itung lagi di Korea jalannya banyak tanjakan gini. Biar nanti terbiasa. Kalau ada yang ngajak bareng naik kendaraan ikut, kalau enggak ya udah gak apa-apa. Bakar kalori biar sehat. 

Sejak pindah ke kosan baru ini, aku merasa seperti terlahir kembali. Aku menjadi lebih bersemangat untuk pergi ke tempat kerja, bangun lebih pagi, bisa bercengkerama lebih banyak juga dengan Pencipta-Ku, dan melihat orang-orang sekitar dengan ceritanya masing-masing. Hal itu sering membuatku lebih banyak bersyukur atas kehidupan yang aku miliki sekarang. Meski harus bangun lebih pagi, berjalan kaki sebanyak 1,3 KM di jalan yang menanjak :D, menghadapi kemacetan sepulang bekerja, atau menunggu penumpang lain di angkot, semuanya terasa lebih bermakna. Menyebrangi padatnya jalan raya atau pada akhirnya aku memutuskan untuk menaiki jembatan penyebrangan demi keselamatan diri. 

Aku merasa diriku yang energic dalam meraih mimpi kembali hadir. Jika banyak orang menyayangkan keputusanku, aku justru bersyukur. Aku kembali merasakan kebebasan dalam diriku, bisa melihat dunia ini lebih luas dan menemukan banyak hal yang patut aku syukuri dibanding terus mengeluh.

Pada awalnya, aku sempat merasa takut untuk melangkah. Jarak yang lebih jauh, belum lagi ongkos, harus bangun lebih pagi, dll, sempat menghantuiku. Namun, aku mencoba menguraikan ketakutan itu ke dalam bentuk coretan. Nyatanya setelah semua ketakutan itu aku uraikan, aku menyadari hanya ada satu hal yang perlu aku korbankan: waktu pagi.  Yang biasanya aku gunakan untuk berleha-leha kini aku harus memanfaatkan untuk bersiap lebih pagi. Setelah itu, aku mencoba menguatkan diri, belajar untuk tidak mendengar apa kata orang dan take action. Hasilnya? Tidak seseram yang aku bayangkan sebelumnya.

Kadang, yang membuat kita takut untuk melangkah adalah terlalu banyak mendengarkan apa kata orang dan membiarkan pikiran kita sendiri yang terlalu berisik. Namun, ketika kamu mencoba untuk melakukannya - tentu dengan penuh pertimbangan -  nyatanya tak semenakutkan yang kamu kira, kok.

Hai, diri! Terima kasih sudah mengawali 2025 dengan berani mengambil keputusan tanpa terlau banyak mendengarkan apa kata orang dan mulai percaya pada dirimu sendiri. 

Ya Allah, terima kasih atas bantuan-Mu yang telah membimbing diri ini menjadi lebih berani dan tidak takut dalam mengambil keputusan. Bahkan, hanya dari proses pindahan kosan ini, aku telah belajar banyak hal. 

There is no right or wrong in making decisions. It's about how you deal the risks that come with every decisions you make. -Ihat Azmi- 

Ini sama seperti permainan catur. Aku jadi teringat ketika dulu Bapak mengajarkan aku  bermain catur dan berkata bahwa setiap peran memiliki cara dan jalannya masing-masing. Kamu hanya perlu memilih cara mana yang kamu kuasai dan yang bisa mengalahkan lawan di depanmu. Tak ada yang salah dengan setiap peran yang kamu pilih, semua hanya bergantung pada risiko mana yang siap kamu tanggung untuk tetap bertahan dan mengalahkan lawan di depanmu.

Semangat untuk kamu yang sedang di ambang kebingungan dalam menentukan langkah ya :) Semua itu gak semenakutkan yang kamu bayangkan kok ;) 

Ihat

Photo by Photo By: Kaboompics.com


2025 sudah memasuki minggu ke dua. Bagaimana dengan rencana-rencana yang sudah dibuat di awal tahun ini? Sudahkah mulai terealisasi atau bahkan masih saja stuck seperti sebelumnya?

Di awal tahun, aku sangat bersemangat sekali untuk membuat my timetable yang sengaja ku susun agar aku bisa memaksimalkan waktu yang sudah Allah kasih. Waktu tersebut sengaja aku luangkan untuk improve diri. Seperti selepas kerja aku bisa belajar, membaca buku tentang self development atau mungkin aku bisa mengikuti kelas online lainnya. Sayangnya, kenyataan tak sesuai dengan jadwal yang aku buat. Kegiatan di pekerjaan lebih padat dari biasanya, pulang ke kosan rasanya aku sudah tak sanggup lagi untuk beraktifitas yang lainnya. Teringat janji yang sudah aku buat dengan diriku sendiri. Aku menengok lagi jadwal yang sudah aku buat. Namun, jujur. Aku sudah tak sanggup lagi untuk berfikir di sisa-sisa tenagaku. 

Aku marah pada temanku lantaran aku tak bisa melakukan aktifitas sesuai dengan timetable yang aku buat. Temanku tak banyak berkata, dia tahu aku hanya sedang kecewa dengan diriku sendiri dan keadaan yang ternyata belum bisa mendukung. 

"Udah, kamu gak harus memaksakan diri kamu sendiri untuk bisa kamu raih di saat ini. Mungkin dengan pekerjaan yang semakin padat, itu artinya Allah pengen kamu beresin dulu urusan kamu di sini satu persatu."

Aku diam, sembari mencerna ucapan temanku itu. 

"Kita kan cuma bisa berencana, tetep Allah yang menentukan. Lagi pula kalau kamu memaksakan diri kamu untuk tetap melakukan aktifitas sesuai dengan rencanamu itu di saat tubuhmu sudah minta istirahat, kamu udah dzalim sama diri kamu sendiri."

Aku berfikir.

"Iya ya, kalau dipaksakan justru akan kacau semua. Kamu gak akan fokus sama pekerjaan utama kamu saat ini, nanti malah nambah-nambah lagi masalah." Ucapku dalam hati.

Tak lama aku menelfon Mamah. Mamahpun mengutarakan hal yang sama.

"Fokus dulu satu-satu. Kerjaanmu aja udah dari pagi sampai sore, belum malam kalau masih ada yang harus dipersiapkan. Urusan rencanamu biar nanti kamu kerjakan setelah pekerjaan utamamu selesai aja. Beresin dulu di sana, nanti kalau sudah selesai kamu bebas mau melakukan apapun yang kamu inginkan."

Aku hanya manggut-manggut di seberang. Sembari berfikir, mungkin ini kali ya penyebab aku merasa overwhelmed selama ini? Aku seperti ingin melakukan semuanya dalam satu waktu sementara ya tubuh sendiri juga butuh istirahat.

Sampai kemudian pagi ini aku membaca sebuah artikel di blognya Marc and Angel

In life, we can't take more than one sip at a time. 

We have to take a step back on a regular basis and reevaluate what we're actually doing and why.

Instead of thinking, "Oh my gosh there's too much to do!".. Let's ask, "Should I actually be doing all of this?"

Marc and Angel

Aku termenung. Sebenarnya apa sih yang sebenarnya aku cari sampai ingin coba ini-itu, menambah beban fikiran yang pada akhirnya aku kewalahan sendiri dengan keinginan yang aku buat. Fokus dulu satu karena gak bisa kamu pengen melakukan yang lain sementara yang utama saja kamu sudah dibuat keteteran. 

Tenang, semua ada waktunya. Seperti yang teman dan Mamah aku bilang. Fokus dulu sama yang sedang dilakoni sekarang. Selesaikan dengan baik sebisa yang kamu beri. Jangan keras sama diri sendiri. Gak apa-apa kalau posisi kamu sekarang gak sama kayak orang lain. Fokus aja dulu sama hidupmu. Ingat, hidup di dunia ini semuanya silih berganti. Gak ada yang selamanya di atas, gak ada yang selamanya di bawah. Hanya saja, coba niatnya diperbaiki lagi.

Kamu coba menyibukkan diri sampai akhirnya bikin stress dan bikin dirimu sendiri kewalahan itu karena apa niatnya? Butuh validasi semua orang bahwa kamu itu produktif? Butuh validasi orang bahwa kamu juga punya keinginan lain? Atau buat apa?

Kalau jawabannya hanya sekedar validasi atau takut ketinggalan yang lain, coba tata ulang lagi yuk intentionnya. Kasian dirimu sendiri nanti yang repot, sakit. Lakukan sebisa yang kamu lakukan, jangan terlalu keras sama diri sendiri ya. :)


Ihat Azmi



Photo by Valeriia Miller

It’s been a long time I never share here ya.

2024 sudah berakhir bahkan kita sudah menginjak di hari ke 11 bulan Januari. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian semua.

2024.

Tahun penuh lika-liku dan juga kejutan.

Berawal dari kegiatan sekolah mengenai proyek drama yang membangkitkan kembali memori lamaku. Aku suka drama dan aku suka pementasan. 

Lalu bergabung di volunteers dan mengadakan kegiatan di bulan Ramadan di Tahura. Bertemu orang baru, mendapatkan pengalaman baru yang tentunya unforgettable moment banget. Dan kalian tahu? Aku kira tahun ini kita akan mengulangi hal yang sama ternyata tidak. Masing-masing dari kita sibuk dengan kehidupan pribadi kita dan beberapa sudah memilih jalan hidupnya masing-masing. Whenever you are, our memories is still alive.

Mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program PKGBI batch 2. Setiap Sabtu adalah jadwal kelas kami belajar bersama via g-meet. Belajar dari para senior membuatku sadar bahwa apa yang diraih mereka  pada saat ini adalah bentuk konsisten mereka dari awal mereka berkarya. 

Lanjut dengan badai kehidupan yang tiba-tiba datang. Kekecewaan, kesedihan, ketidakmampuan diri dalam memahami perasaan yang sedang dirasa rupanya cukup menguras energi. Aku yang berubah menjadi pemurung, selalu menarik diri dari orang-orang, menangis tanpa sebab sepanjang malam, sulit untuk tidur, bahkan ada dorongan ingin menyakiti diri sendiri. Aku tak bisa membagikan ini semua pada orang terdekatku saat itu. Aku hanya bisa membaginya melalui tulisan yang aku kirim pada temanku di beda negara. Aku menangis sesegukan begitu mendapatkan jawabannya. Jalannya hanya satu, aku tak perlu menghawatirkan masa depan karena itu adalah pekerjaannya Allah dan aku hanya perlu percaya sepenuhnya pada Allah. 

Meski begitu, berbulan-bulan bahkan sampai detik ini perasaan itu terus saja hadir. Sampai kemudian aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan aku sekarang. Aku memilih untuk pulang ke rumah dan tinggal kembali bersama orang tua. Meski aku harus menunggu selama 6 bulan lagi, lantaran kontrak kerjaku berakhir di bulan Juni mendatang. 

Ada hal yang aku syukuri dari ujian perasaan yang tak menentu ini. Aku jadi terus memupuk diri untuk lebih bersabar, menerima perasaan yang hadir walau tidak tahu ini perasaan apa. Belajar untuk percaya serta menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Karena banyak sekali hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Aku pun jadi sering bercerita pada orang tua ku, terutama Mamah. Dan Mamah kini bisa memahami apa yang aku rasakan. Kalau kata Mamah, jangan bosen-bosen untuk terus bertanya kepada diri sendiri, karena jawaban dari kebimbangan dan keputusasaan ini bisa kamu temukan dari dalam dirimu sendiri. 

Setelah itu, sedikit demi sedikit aku selalu mencoba untuk menyapa diriku sendiri, termasuk anak kecil yang ada dalam diri ini yang sering diabaikan. Rasanya bagaimana? Sungguh tidak enak. Ada rasa sakit begitu aku mencoba menyapanya. Belum juga belum udah nangis apalagi kalau udah lihat foto semasa kecil. Tapi ya aku harus terus menyapanya biar dia tidak merasa kesepian. 

Jangan kalian harap aku selesai dengan ujian ini. Belum. Tahun 2025 juga aku masih berjuang dengan ujian perasaan ini. Setelah coba cari tahu dari buku, internet, podcast apa yang aku alami saat ini adalah aku sedang memasuki fase life quarter crisis. Jujur aku demotivasi, bingung dengan tujuan hidupku, sering mempertanyakan kembali apa makna hidup ini. Fase tidak nyaman ini justru menuntunku untuk lebih melihat diriku sendiri secara utuh, mendengarkan apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup ini, serta luka-luka pengasuhan dan pengabaian dulu yang kini lebih sering minta untuk dipeluk. 

Aku tahu ini tak mudah, tapi aku yakin aku mampu untuk melewatinya. Aku yakin aku akan baik-baik saja dengan bantuan dari Nya, dengan cinta dan kasih sayang-Nya. 

Menulis pada akhirnya menuntunku kembali untuk berdialog dengan diriku sendiri dan juga membuat fikiranku sedikit lebih ringan. Karena pada akhirnya yang bisa memahami dirimu adalah dirimu sendiri.


Ihat 



Photo by Alex Fu


Aku kembali gelisah

Waktu terus berputar tak bisa kuhentikan

Malam semakin larut, tetapi mata sulit untuk bisa dipejamkan

Kebisingan dunia sudah berhenti tinggal semilir angin yang terdengar, namun bisik di kepala rupanya masih salih bersahutan sulit untuk bisa dihentikan. 

Menatap jam yang kini jarumnya sudah berpindah ke hari baru 

Tiba-tiba perasaan sedih, rindu, kesal, bercampur marah kembali hadir

Air mata tak bisa lagi ku bendung

Aku kembali menangis sendirian, bayangan-bayangan yang menyebalkan itu kembali lagi datang

Ingin sekali aku menghubungimu saat itu

Menangis kembali dipelukanmu, sembari mendengar nasihatmu yang selalu menenangkanku

Tapi malam itu aku tak bisa 

Aku tak bisa melakukannya lagi

Teringat bahwa tujuan kita berbeda

Arah yang kita tuju ternyata tak sama

Aku memutuskan untuk segera pergi meninggalkanmu sebelum aku jatuh terlalu dalam

Dan kamu membiarkan aku pergi dengan keputusanku


Tak ada yang salah dengan pertemuan ini

Kesempatan yang kita lalui bersama

Kamu yang selalu ada untukku

Begitupun aku


Meski aku tahu jalanan yang harus ku tempuh ini masih jauh untuk menemukan cahaya

Tapi aku tak mau, saat aku sudah terlalu terbiasa denganmu dan perjalanan yang kita lalui sudah sangat jauh, sementara tujuan kita berbeda

Pada akhirnya kita akan tetap berpisah bukan?


Sungguh, jika harus ku katakan

Aku sangat merindukanmu

Namun keputusan yang aku buat

Aku tak bisa mengatakan itu kembali

Dan aku tak ingin kehilangan diriku lebih jauh lagi

Biarkan sepi malam dan segala riuh dalam isi kepala menemaniku

Meski harus tetap terjaga sampai fajar tiba


Ihat



 


Photo by alexandre saraiva carniato

Minggu ini rasanya masih menjadi minggu yang berat bagiku. Perasaanku kembali naik.  Aku malas beraktiftas, sering melamun bahkan terkadang lupa dengan apa yang akan aku kerjakan atau yang sudah aku kerjakan detik itu juga. Diam sedikit sudah bengong. Tidur tidak nyenyak. Sudah beberapa hari aku terbangun di tengah malam dan sulit kembali untuk memejamkan mata. Atau aku akan kesulitan untuk tidur sampai tengah malam dengan kondisi mata yang masih terjaga. Meski mataku terpejam, fikiranku tetap riuh berisik dan tidak berhenti mondar-mandir ke sana kemari. 

Selain itu, tak jarang aku menangis tanpa sebab setiap malam selama seminggu kebelakang ini. Lucunya lagi, saat minggu lalu aku mengajak diriku sendiri untuk jalan-jalan sebentar dengan naik bandros yang ada malah aku banyak bengong sepanjang jalan. Aku benar-benar tidak menikmati perjalananku di minggu lalu. Dan anehnya lagi justru aku sangat menikmati waktu liburku untuk tidak bertemu banyak orang, mengurung diri di kamar, mematikan ponsel, dan tidur seharian. 

Sungguh, saat tak mengetahui perasaan ini kenapa dan mengapa rasanya capek ya. Perasaan bingung dan sering berubah-rubah inilah yang mendominasiku kembali selama kurang lebih dua minggu kebelakang ini. Aku tahu menjadi dewasa tidak bisa seperti saat kamu kecil bisa berhenti sejenak bermain atau sekolah. Sudah dewasa ya mau seberantakan apapun diri kamu di dalam, kerja ya tetep harus kerja. Pasang muka baik-baik aja, walau jauh dalam hati kamu sudah ingin menyerah. 

Aku tahu, aku faham. Fase ini sangat sulit sekali untuk bisa aku lalui. Tapi di tengah-tengah kesulitan ini, aku hanya yakin bahwa Allah tetap ada di sampingku, tetap menemaniku, tetap menjagaku, membimbingku agar aku tetap berjalan melewati semua ujian perasaan ini. Aku bersyukur karena aku sudah bisa melawan perasaan untuk menyakiti diri sendiri. Bersyukur karena orang tuaku sangat memahami kondisiku di saat aku sering menghubungi mereka. 

Aku cuma mau bilang sama diri aku sendiri.

Hai,

Makasih ya udah mau bertahan sejauh ini. Tahu, ini berat banget dan kamu benar-benar sedang merasakan masa kegelapan dalam hidupmu. Gak apa-apa. Semuanya gak akan lama, semuanya akan berakhir. Percaya aja ya kamu akan baik-baik aja kok dan kamu akan menjadi semakin kuat juga tangguh setelah melewati perjalanan ini. 

Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan. Sampaikan dan terima perasaan yang kamu rasakan saat ini. Kamu hebat. Kamu kuat. 

Tetep berjalan ya, jangan pernah berhenti. Titip. Jangan menyakiti diri sendiri, karena siapa lagi yang mau menemani kalau bukan diri sendiri. 


Love,

Ihat

Photo by Vlad Bagacian

Minggu lalu seperti biasa pulang pergi ke rumah itu aku pasti menggunakan kereta. Ketika berangkat aku bersyukur karena kereta yang aku pilih ternyata kereta yang sudah menggunakan rangkaian kereta api baru alias kereta new generation. Mana naik kelas eksekutif dan tentunya nyaman sekali. 

Pulangnya aku memilih perjalanan sore dengan menggunakan kereta api ekonomi. Seperti biasa, tidak ada yang berbeda dengan pilihanku. 

Sore itu ketika akan pulang ke tempat perantuan rasanya hati aku campur aduk lantaran kembali meninggalkan rumah dan harus menabung rindu untuk bertemu lagi di minggu-minggu selanjutnya. Diantar Bapak sampai stasiun dan begitu sampai stasiun, aku memesan iced cappucino; berharap diperjalanan aku bisa terjaga seraya memandang pemandangan lewat jendela. Karena tiket yang aku pesan itu dekat jendela. 

Begitu sampai di gerbong, aku cukup menarik nafas panjang lantaran banyak sekali penumpang yang naik sampai-sampai bagasi atas pun habis. Terpaksa aku hanya bisa menyimpan koperku di dekat pintu gerbong. Begitu aku sampai di kursiku rupanya kursiku sudah ditempati oleh seorang anak seusia SD. Kursi itu muat untuk tiga orang. Bapak-bapak yang ada di sana pergi karena dia sadar itu bukan kursinya.

"Maaf saya di kursi 9A." Kataku. 

"Oh iya, silahkan Teh." 

Begitu Bapak itu pergi, sekali lagi aku bilang bahwa aku duduk di kursi A. Namun si Ibu tidak mengindahkan ucapanku. Mungkin ucapanku pelan. Akhirnya dengan berat hati aku duduk di kursi C. Si Ibu yang berada di tengah hanya duduk santai tidak peduli bahwa kursi yang ditempati anaknya itu adalah kursiku. 

Berkali-kali pengumuman di kereta menyampaikan bahwa semua orang harus duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Sampai pada akhirnya kereta itu berhenti di Stasiun Cipeundeuy dan si Ibu beserta anak itu turun. Aku bergeser dan duduk di kursiku. Begitu mereka kembali lagi aku bilang dengan sopan,

"Maaf Bu, ini kursi saya."

"Oh gimana ya, anak saya pengen duduk di dekat jendela." Ucapnya tanpa merasa bersalah sementara si anak entah mendengarkan Ibunya berbicara atau tidak nampaknya biasa-biasa saja berdiri di belakang Ibunya. 

Aku menarik nafas panjang mendengar jawaban si Ibu tersebut. 

"Oh gitu ya." Jawabku pendek, malas berdebat dan aku kembali mundur ke kursi C lagi. 

Lalu mereka kembali duduk seolah tak terjadi apa-apa. 

Oh gini doang? Gak ada minta maaf atau bagaimana?

Uuh.. Perasaan aku kesal bukan main. Ingin berdebat, marah tapi sungguh aku tak berani. Mana di bawah kursi si anak banyak banget barang. 

Fikiranku kacau selama perjalanan itu. Aku ingin protes, tapi masa harus berdebat hanya karena anak kecil? Gimana kata orang nanti? 

Aku hanya memikirkan bagaimana reaksi orang-orang tanpa mempedulikan hakku untuk duduk di sana.

Aku terus menenangkan diri. Mencari hal positif lainnya.

Koper kamu kan ada di ujung sana. Mungkin duduk di dekat gang biar mempermudah kamu pas nanti kamu turun. Atau ya udahlah orang udik, gak tahu aturan. Ngapain mesti didebat. 

Alangkah baiknya si Ibu itu tidak egois dan belajar untuk mendisiplinkan anak sedini mungkin. Jangan mentang-mentang status "anak" kemudian bisa seenak jidat ngambil alih hak orang lain di fasilitas umum. Emang sampai tua dia bakal terus berada di bawah perlindungan orang tua? Enggak! Anak juga harus belajar untuk menghargai dan menghormati hak orang lain. Kalau mau duduk di dekat jendela, tolonglah pas beli tiket pilih yang bener!

Dari hal ini aku belajar, bahwa aku pun sebagai orang dewasa berhak untuk menyampaikan dan memperjuangkan yang memang hakku. Dan juga sebagai reminder kalau aku punya anak nanti jangan sampai seenak jidat kayak ibu-ibu itu. Yang dengan entengnya bilang anaknya pengen duduk di sana tanpa diajari untuk izin dulu kepada yang berhak yang punya tempat duduk tersebut dan meminta maaf karena sudah mengambil tempat duduknya. Karena gak semua hal di dunia ini bisa kamu dapatkan sesuai dengan apa yang kamu mau. Itu poinnya. Apalagi udah jelas-jelas hak orang lain malah kamu ambil. 

Selain itu, aku tidak perlu takut atas cibiran orang-orang. Yang penting sampaikan dengan baik dan santun. Karena omongan orang kan gak bisa kita kendalikan. Lagi pula pada saat itu aku takut atas fikiran aku sendiri. 

Jika bertemu lagi dengan situasi itu, aku akan tegas bilang,

"Mohon maaf kursi saya di dekat jendela, silahkan bisa duduk sesuai kursi yang tertera pada tiket ya."

"Tapi anak saya duduknya ingin dekat dengan jendela."

"Mohon maaf Bu, saya jauh-jauh sudah pesan tiketnya yang memang duduk dengan jendela. Di kereta sendiri sudah ada aturannya untuk duduk sesuai dengan nomor yang tertera dengan tiket."

Kalau masig ngeyel?

Panggil Kondektur nya aja. Hahahahaaa.

Sampai pada akhirnya aku menemukan kata-kata di bukunya Haemin Sunim "Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection",


Be good to yourself first, then to other. 

Why am I such an idiot, that I can't express my feelings properly, can't even speak up honestly? 

 

Cukup sekian cerita yang membuat hati jengkel sepanjang jalan. 

Semoga teman-teman bisa tegas pada diri sendiri dan juga orang lain ya :)


Cheers,

Ihat

Photo by Paweł L.

Hallo Bapak,

Rasanya capek banget Pak, pengen nyerah iya. Tapi suka inget sama nasihat Bapak, sama ayat Qur'an yang suka Bapak bacain sama aku kalau aku udah mulai nyerah dengan ujian hidup. 

"Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Pak, makasih ya udah jadi Bapak yang baik buat aku, buat adek-adek juga. Terima kasih karena sudah mau berubah, udah bukan lagi pemarah kayak dulu.

Pak, segala bentakan dulu yang sering Bapak lakuin ke aku, dengan sepenuh hati aku sudah menerimanya dan ikhlas memaafkan. Termasuk pukulan yang pernah dilayangkan, ucapan yang tidak seharusnya disampaikan. Aku sudah memaafkan itu semua Pak. 

Meski di tengah-tengah amarah Bapak dulu yang sangat sulit untuk bisa diredam, Bapak masih mau nganter aku ke sekolah dibonceng naik sepeda, diajak ke festival meski pada saat aku minta untuk dibelikan gimbot, Bapak bilang Bapak lagi gak punya uang, dan aku hanya bisa memegangnya kemudian menyimpannya kembali seraya bilang,

"Iya ya Pak, mahal." 

Walau sungguh dalam hati aku ingin sekali memilikinya. 

Pak maafin aku juga ya. Mungkin aku dulu bandel banget ya ditambah kerjaan Bapak yang dibayar gak seberapa tapi capeknya luar biasa. Terima kasih karena sudah memilih untuk tetap bertahan dari pada berpaling lalu meninggalkan.

Maafin aku yang dulu tak sengaja membandingkanmu dengan Bapak temanku yang lain. Aku jahat sih, tapi Bapak gak pernah marah dan hanya memilih diam jika aku sudah membicarakan Bapak temanku yang lain yang memiliki jabatan tinggi atau mampu membelikan apapun yang diminta anaknya.

Pak, maafin aku juga yang dulu marah sama Bapak karena aku yang keukeuh pengen kuliah tapi Bapak larang aku karena memang tidak ada uang sama sekali. Maafin aku yang sebetulnya itu membuat Bapak frustasi kan?

"Sebenarnya Bapak juga pengen nguliahin kamu, tapi Bapak bener tidak punya apa-apa. Kamu tahu? Dulu Bapak setiap malam suka nangis, kenapa Bapak gak bisa nguliahin anak Bapak sendiri?" 

Atau ketika aku pada akhirnya memilih untuk bekerja sembari kuliah, membayar uang kuliah sendiri dan mampu membeli baju dengan uang sendiri, Bapak bilang,

"Maafin Bapak ya. Bapak gak bisa beliin baju buat kamu selama ini. Sampai akhirnya kamu harus kerja dan bisa beli sendiri baju kamu itu."

Atau ungkapan...

"Maafin Bapak ya, Bapak belum bisa bikin kamu bahagia. Semoga kamu mendapatkan suami yang baik, yang sayang sama kamu, yang gak main tangan..."

Bapak, I'm so proud of you. Meski pendidikanmu tidak setinggi orang lain, tapi menurutku Bapak justru lebih hebat. 

Bapak yang rela antar jemput anaknya buat bimbingan skripsi, rela nungguin aku yang lagi bimbingan berjam-jam, nunggunya di masjid. Rela bongkar celengan karena cartridge yang aku beli itu salah sementara uang aku udah mulai habis dan harus nunggu dulu uang gajihan.

Atau setiap mau pulang ke rumah pasti suka ditanya,

"Mau dibeliin apa?"

"Mau dimasakin apa?"

"Mau dianter ke mana?"

Atau kalau aku yang udah anteng di perantauan pasti ditanya,

"Kapan pulang?" 

"Gimana sehat?"

Yang rela ninggalin kerjaan rumah cuma buat dengerin aku curhat.

Yang cuma dengerin keluh-kesahnya aku tanpa disela ceritanya, tanpa disalahkan. Dibiarkan aku menangis sampai aku bisa tenang kembali. 

Yang kalau aku udah mulai nyerah, Bapak justru cuma mendengarkan aja habis itu support biar aku bisa maju lagi. Atau Bapak suka bilang,

"Katanya mau ke luar negeri, tapi segini aja udah banyak ngeluh."

Terima kasih ya, Pak.

Terima kasih udah jadi sosok yang hangat dan perhatian. 

Terima kasih karena selalu menomor satukan kami semua. 

Terima kasih karena pernah merelakan untuk tidak jualan demi mengantar aku interview kerja di luar kota setelah aku mengalami sakit parah. 

Kalau kata Bapak,

"Uang bisa dicari lagi, tapi waktu tak bisa diputar kembali."

Love you endlessly, 
Ihat
 

Photo by Scott Webb


Sudah memasuki sore di akhir pekan nih. Udah saatnya nanti malam kita bersiap-siap untuk bertemu dengan minggu baru di bulan November. Enggak kerasa ya, November udah di tanggal 10 aja. Btw, gimana nih kabarnya? Semoga semuanya dalam keadaan sehat ya!

Hari Minggu, itu artinya aku sedang belajar untuk mendisiplinkan diri menulis, merefleksi hal-hal yang terjadi selama satu minggu ke belakang. Alhamdulillah, banyak sekali hal yang bisa aku syukuri dan aku pelajari dari kejadian satu minggu kebelakang ini. 

Flashback ke satu minggu belakang ini. Pertama adalah aku belajar untuk percaya dan memberikan tanggung jawab penuh kepada para pimpinan OSIS di sekolah. Sebagai pembina, tentu ada perasaan khawatir dan takut jika kegiatan yang akan dilaksanakannya gagal. Namun pada hari itu aku mencoba untuk menenangkan diri, yakin pada kemampuan siswa bimbinganku bahwa mereka pasti bisa melaluinya. Meski H-2, ppt belum selesai, mereka kewalahan untuk mencari waktu yang pas agar semua bisa berkumpul dan bersiap-siap. Fyi, jadi mereka ini diamanahi sebagai guest teacher oleh SD untuk berbagi ilmu mengenai organisasi. Dan kegiatan seperti sharing session ini adalah kegiatan yang pertama kalinya untuk mereka. Sempat degdegan dan overthinking ketika aku meminta mereka untuk sharing pptnya sebelum ditampilkan di hari H. Nyatanya mereka belum siap. Ingin marah sebenarnya (karena aku sendiri tipikal orang yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari) lantaran informasi untuk kegiatan ini  sudah diberi tahu satu minggu sebelumnya. Namun aku mencoba tetap tetang dan mengingat mereka mau bagaimanapun caranya besok di H-1 itu harus sudah selesai PPT nya. Alhasil entah bagaimana ceritanya, keesokan paginya ketika briefing dan latihan sebentar, PPT tersebut sudah selesai dan hanya dirapih-rapihkan sedikit saja. Mereka sempat nervous dan ada yang bilang ingin mundur saja. Sebagai pembina tentunya aku terus mendukung dan meyakinkan bahwa semuanya pasti bisa dilalui dengan baik.

Jujur selama persiapan untuk kegiatan guest teacher ini aku tidak banyak ikut serta dalam mengonsep kegiatannya. Aku hanya memberikan garis-garis besar kegiatannya dan apa saja yang harus disampaikan. Sisanya mereka explore sendiri. Alhamdulillah, selama kegiatan berlangsung mereka mampu menampilkannya dengan baik. Beberapa feedback yang diberikan baik itu dari guru maupun dari siswa kelas 6, Alhamdulillah semuanya memberikan feedback positif. Dan itu rupanya memberikan rasa puas tersendiri kepada siswa karena mereka sebelumnya benar-benar merancang sendiri kegiatannya. 

Dari hal tersebut lah, aku merenung dan berefleksi untuk kegiatan selanjutnya aku harus memberikan kepercayaan lebih kepada siswa agar siswa tersebut merasa dipercaya, diberi tanggungjawab dan jika hasilnya bagus  ataupun tidak itu akan memberikan pengalaman tersendiri bagi mereka. Kalau kata supervisor ku yang sebelumnya juga menjabat sebagai pembina pernah bilang,

“Gak apa-apa, Bu. Kalaupun misal gagal tidak sesuai dengan harapan setidaknya anak akan belajar dari kesalahan itu sendiri. Berhasil ya Alhamdulillah. Bukan hanya sebagai ajang pamer bahwa OSIS itu ada dengan kegiatannya yang keren-keren. Kita coba untuk berikan ruang kepada mereka dalam berorganisasi agar mereka bisa belajar dan memiliki pengalaman yang lebih."

Kalau dulu di tahun pertama merasa terbebani dengan ekspektasi sendiri bahwa OSIS yang ada di bawah bimbinganku harus bagus, harus ada kegiatan yang keren-keren. Kini aku sudah mulai menemukan arahnya. Pujian, apresiasi, dan hadiah adalah bonus. Yang dicari adalah ilmu dan pengalaman. Dengan begini, aku bisa mengurangi rasa kekhawatiranku terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan dan aku juga jadi tidak menaruh banyak ekspektasi kepada anak-anak. Karena anak-anak sendiri pada dasarnya sedang belajar berorganisasi. 

Foto bersama setelah selesai memberikan pengalaman dalam berorganisasi.
Doc. pribadi

Well, terima kasih ya untuk diri ini yang setiap harinya tumbuh walaupun harus melalui hal-hal yang tidak menyenangkan.

Selain itu pula, aku mau mengucapkan terima kasih pada diri sendiri karena dengan kejadian-kejadian yang kadang mengecewakan, mengesalkan yang terjadi padaku, rupanya hal tersebut membuat diri aku menjadi semakin tangguh dan berani untuk membuat batasan diri. Semakin berani untuk menyatakan hal-hal yang tidak kusukai tanpa harus merasa bersalah lagi (porsinya sudah mulia berkurang, alhamdulillah yes!), sudah mulai bisa berfikir tenang, mengambil jeda dan tidak terburu-buru saat ditawari sesuatu. Berani meninggalkan hal yang memang tidak pantas untuk aku perjuangkan. Porsi people pleasurenya alhamdulillah sudah mulai berkurang.

Hei!

Terima kasih karena sudah memilih bertahan di tengah kegelapan hidup yang menyelimuti. Walau kamu sempat ragu, putus asa, bahkan hampir menyakiti dirimu sendiri. Meski sambil menangis, kecewa, marah dan bingung dengan perasaan yang hadir tapi kamu berhasil melaluinya dengan baik. Kamu mampu membuka dan menerima perasaan-perasaan aneh itu walau pada prosesnya memang tidak menyenangkan. 

Gak apa-apa, gak semuanya harus dapat jawabannya saat ini. Adakalanya Allah meminta kita untuk ikut saja aturan mainnya tanpa banyak bertanya, mengapa? Mengapa harus aku? Perlahan ikuti sambil tetap meminta bantuan dari-Nya. Walau bagaimanapun yang terjadi dalam hidup ini semua tak lepas dari izin dan kuasa-Nya. Jika kamu menemukan dirimu justru bisa tumbuh menjadi lebih baik lagi, itu semua karena Allah yang izinkan itu terjadi pada-Mu. 

Semoga, di hari-hari selanjutnya aku tetap bisa bertahan dengan apapun ujiannya yang akan dihadapi nanti. Karena aku yakin, Allah selalu ada untuk aku. :)

Cheers,
Ihat



Photo by Pixabay


Hi!

Gimana seminggu kemarin? Semua berjalan lancarkah?  Atau kamu harus merasakan kembali hari-hari berat tapi kamu berhasil melaluinya?

Di mulai dari Senin yang lalu, Allah kasih kesempatan untuk aku bisa mengobrol dan berbagi ilmu dengan guru dari Thailand pada saat mereka melakukan kunjungan ke sekolah tempat aku bekerja. Saling bertukar nomor handphone dan juga kalau pergi ke Thailand jangan lupa hubungi mereka. 

Sambung hari selanjutnya yang rasanya berat sekali, entah mengapa. Disusul dengan pengajuan resign ku secara lisan sebelum nanti form lanjut atau tidak resmi dikeluarkan. Rasanya setelah menyampaikan pengajuan itu hati ini menjadi lebih tenang. Kenapa ya?

Tidak ada rencana tiba-tiba diajak menjenguk teman yang sedang dirawat di RSHS. Sempat kesal karena harus menunggu teman yang salah arah, namun pada akhirnya malah jadi bahan tawa bersama. Makan cuanki di pinggir jalan Masjid Pusdai, rasanya menyenangkan dan mampu melepas penat pekerjaan. 

Tanpa rencana kembali keesokan harinya begitu hendak pulang, aku diajak untuk makan Mie Aceh bersama dengan genk yang baru saja terbentuk. Sambil makan, pada akhirnya kami mengutarakan rencana kami ke depan. Dan lucunya, salah satu temanku berkata,

"Baru juga terbentuk udah bubar lagi."

Yah, namanya hidup kadang tak sesuai dengan rencana. 

Lalu karena merasa sesak sekali entah mengapa, aku pada akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Rencananya tadinya aku akan menghadiri dulu acara International Education Fair di Pullman Hotel sayangnya ojeg online yang aku pesan tak ada satu pun yang bisa mengantar. Waktu terus berjalan ditambah hujan, rasanya tak mungkin aku bisa hadir di acara yang aku tunggu-tunggu itu mengingat aku juga akan pulang ke Tasik. Dengan berat hati, aku membatalkan rencana tersebut dan langsung mencari tiket pulang agar bisa sampai lebih pagi di sana. Qadarullah, hujan lebat, ditambah si drivernya telat sampai, jalanan yang super duper macet, sampai akhirnya aku harus merelakan tiket kereta eksekutif seharga 120 ribu melayang hangus karena aku tak bisa sampai di stasiun sebelum kereta itu berangkat. Sepanjang perjalanan aku sudah mencoba untuk menenangkan diri, tapi ya gimana? Pada akhirnya aku tak bisa membendung air mataku karena aku sudah pasti akan kehilangan 120 ribu itu sia-sia. Huhuu. 
Kemudian aku menyeka air mataku, berfikir. 

Lho aku nangis?

Bukannya dari kemarin-kemarin kamu minta nangis ya? Karena saking udah lelah dan merasa kecewa sulit untuk kamu bisa menangis? Hari ini Allah izinkan kamu menangis dengan perantara drivernya telat, jalanan macet, dan kamu harus kehilangan tiket eksekutif kamu seharga 120 ribu lalu kamu bisa menangis?

Meski harus menunggu kereta selanjutnya selama 2 jam. Kalau kamu tanya kenapa gak direscedule aja? Gak bisa, karena rescedule cuma bisa di atas dari 2 jam sebelum pemberangkatan. Kalau udah 2 jam sebelum pemberangkatan udah gak bisa diotak-atik lagi tiketnya. 

Pulang ke rumah dengan perasaan senang dan bahagia, meski keesokannya disuguhi pekerjaan yang banyak sampai harus begadang. Tapi kenapa ya rasanya ya seneng aja gitu, sambil bantu orang tua sambil cerita nostalgia juga. Keesokannya sebelum aku pergi kembali ke Bandung, Mamah seperti merasa bersalah karena sudah mempekerjakan aku, padahal itu adalah kemauan aku sendiri. Mamah bilang harusnya kan ke sini buat istirhat, ini malah disuruh kerja, maafin ya. 

Hmm.. Rasanya kenapa ya nyes gitu. 

Setelah selesai pekerjaan itu, Mamah langsung pergi buat beliin bubur karena Mamah tahu aku doyan makan bubur. Lalu ribut buat bikinin aku puding biar bisa dibawa pulang padahal aku tahu Mamah itu lagi capek banget. Nawarin aku banyak banget buat dibawa bekal, tapi aku menolak. Gak mau ngerepotin.

Terakhir, sewaktu aku pamit salaman buat berangkat lagi, Mamah berbisik seraya tersenyum,
"Sehat ya, maafin karena kamu malah bekerja di sini bantuin Mamah bukannya istirahat. Semoga dimudahkan jalan buat ketemu jodohnya." 

"Aamiin.." Kataku. 

Huft, aku tahu banget rasanya tahun ini adalah tahun-tahun terberat aku dalam menjalani hidup. Aku sempat frustasi dan terkadang masih menemui hari di mana hari-hari itu terasa gelap dan tak bermakna sama sekali. Tapi dari semua ujian yang Allah berikan pada aku saat ini, justru support dan kehadiran orang tualah yang membuat aku sanggup untuk bertahan dan melalui semua ini meski berat sekali pada saat melaluinya.

Sungguh, aku butuh jeda sesaat dari hiruk pikuk dunia ini. Fikiranku kusut, hatiku kacau balau, perasaanku sudah mulai mati, dan ya mungkin fase ini harus aku jalani sebelum aku bertemu dengan jalan yang lebih luas dan panjang lagi.

Tahu tulisan ini tidak terarah, hanya saja aku ingin mengucapkan terima kasih untuk diri ini yang mampu melewati hari demi harinya dengan baik meski banyak mengeluh jika malam tiba,

"Ya Allah, aku capek. Capek. Tapi mati juga gak bikin masalah selesai, karena di akhirat nanti kita akan mempertanggungjawabkan amalan yang sudah dikerjakan di dunia."

Hi, semangat! Terima kasih sudah bertahan dan tetap berjalan meski sambil misuh-misuh, nangis-nangis. Nikmati aja ya :)


Love,
Ihat
Newer Posts Older Posts Home

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (15)
    • ▼  May (2)
      • Refleksi Catatan 14: Gak Harus Tahu Aku Siapa
      • Refleksi Catatan 13: Ketika Aku Memilih Untuk Mera...
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Friends

Community

Community

Subscribe Us

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia Logo Komunitas BRT Network

Featured post

Don't Worry. Don't Think Too Much.

Photo by Cup of Couple Dear you, I wanted to take a moment to express that I'm filled with gratitude for you and the incredible influen...

Translate

Copyright © 2016 Hi Solihat. Created by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates