Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact

Photo by Photo By: Kaboompics.com


Well, there are so many things I want to share with you from last week - so many lessons I've learned.  So, let's get started!

1. Hampir Ketinggalan Kereta 

Mendadak diajak pergi ke kampung halaman, rempong di jalanan karena komunikasi kurang baik, dan hampir saja tertinggal kereta. One thing that I can learn from the situation: keep calm, don't panic. Justru karena panik, semuanya jadi berantakan dan banyak hal terlupa. Selain itu, penting juga untuk merencanakan perjalanan dengan matang dan melihat kegiatan sendiri. Jika hati kecilmu sebenarnya enggan pergi karena tubuh benar-benar butuh istirahat, lebih baik dengarkan apa kata hatimu. Karena akibat dari memaksakan diri, beberapa hari kemudian I got a fever and fatigue for three days. :( 

2. Bersyukur atas Apa yang Dimiliki

Belajar mensyukuri apa yang ada daripada terus mempertanyakan apa yang belum kita miliki saat ini. Salah satu hal yang paling aku syukuri adalah masih memiliki orang tua yang kini semakin perhatian dan menyayangiku.  Inner child dalam diriku pun bisa merasakannya. Mungkin itulah sebabnya,  setiap kali pulang ke rumah, aku sering bertingkah seperti anak kecil yang masih butuh banyak kasih sayang. 

3. Melepaskan yang Tak Jelas

Melepaskan sesuatu yang sejak awal saja sudah tidak jelas memang sulit dan menyakitkan. Tapi daripada terus menginvestasikan perasaan kepada seseorang yang tidak memiliki purpose yang sama, untuk apa? Masih banyak hal yang lebih penting untuk aku lakukan dan perjuangkan. Lebih baik fokus  mengupgrade diri daripada bertahan pada sesuatu yang tidak sejalan. Dan aku bangga pada diriku sendiri karena bisa melepaskannya tanpa takut merasa kehilangan. 

4. People Come and Go

Tahun lalu, menjelang  Ramadan, aku sibuk dengan kegiatan volunteers di Tahura. Kini, orang-orang yang dulu berada dalam satu circle yang sama sudah berpencar mengikuti jalannya masing-masing. Dari sini, aku belajar bahwa  setiap peluang yang datang harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, karena bisa jadi kesempatan itu tidak akan datang lagi.

5. Making Mistake is Normal!

Yep! Saat mengikuti kelas volunteer, aku melihat guruku melakukan kesalahan dalam menyampaikan materi. Tapi beliau tetap tenang, tidak panik, dan melanjutkan dengan santai. Even as a teacher, of course. We are human. Dari situ aku belajar bahwa membuat kesalahan itu wajar. Justru dari kesalahanlah kita belajar dan bisa berhati-hati lagi ke depannya. 

6. Tidak Semua Komentar Harus Ditanggapi

Dalam hidup, selalu ada orang yang mendukung dan ada juga yang tidak setuju dengan pilihan kita. Itu hal yang wajar. Tapi satu hal yang aku sadari, komentar orang lain adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita meresponsnya. Saat ini, aku merasa sudah mulai kebal terhadap komentar-komentar tentang pilihanku. Aku tahu mereka mungkin bermaksud baik, tapi yang menjalani hidup ini adalah aku. Aku tidak bisa menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada pendapat orang lain. Ini hidupku sendiri, dan aku berhak menentukan jalan hidupku, selama tetap dalam koridor agama dan norma yang ada.

7. Percaya pada Diri Sendiri

Aku mulai belajar untuk percaya pada diri sendiri, meskipun kadang masih muncul perasaan ragu. Memang sulit, tapi aku akan terus berusaha. Semangat!

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi sepertinya cukup sampai di sini dulu. Semoga bisa menjadi pengingat, baik untukku maupun untuk kalian yang membaca ini. :)


Cheers,

Ihat

Photo by Tobi

Pernahkah gak sih, kamu merasa begitu bahagia karena suatu pencapaian, lalu sadar bahwa kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar? 

Terus, gimana perasaan kamu ketika kebahagiaan itu mulai memudar dan kamu harus kembali menghadapi realitas perjuangan?

Aku tidak pernah menyangka, di tengah-tengah kebimbangan hidup yang sedang aku hadapi, di pagi hari itu, Allah seperti sedang berbicara kepadaku melalui orang tua salah satu siswa yang harus aku temui. Setelah selesai konsultasi tentang perkembangan anaknya, si Bunda ini tiba-tiba berkata,

"Bu, kalau kata saya dalam hidup ini 20% kebahagiaan, sisanya 80% adalah pilihan: bertahan atau menyerah."

Aku mengernyitkan dahi, mencoba memahami maksudnya. Seakan menyadari kebingunganku, beliau melanjutkan,

"Misalnya, saat kita diterima di universitas ternama, kita akan mendapat ucapan selamat, merasa bangga dengan almamater kita. Tapi, berapa lama kebahagiaan itu bertahan? Mungkin hanya beberapa minggu. Setelahnya, kita harus menghadapi tugas-tugas yang melelahkan, tekanan akademik, konflik pertemanan, dan tantangan lainnya. Kita akan menghabiskan 80% waktu kita untuk memilih: bertahan dan berjuang, atau menyerah."

Aku mengangguk, mulai memahami arah pembicaraan ini. 

"Saat lulus kuliah, kita kembali mendapat ucapan selamat, tapi itu hanya bertahan sebentar. Setelahnya? Kita harus kembali berjuang. Begitu juga saat diterima bekerja di perusahaan impian—20% awalnya penuh dengan kebahagiaan, tapi setelah itu kita kembali dihadapkan pada tekanan kerja, tuntutan, dan rasa jenuh. Sisanya? Lagi-lagi, kita memilih: bertahan atau menyerah."

Aku terdiam, mencerna kata-katanya.

20% kebahagiaan, 80% perjuangan. 

Perjuangan yang penuh dengan rasa capek, lelah, kecewa, marah, bahkan terkadang terselip perasaan ingin menyerah. 

"Makannya Bu, punya tujuan dalam hidup itu penting. Sebesar apa pun ujian yang datang, kalau kita tahu ke mana kita melangkah, kita akan tetap maju."

Pagi itu, rasanya seperti mendapat mata kuliah kehidupan. Aku mulai menyadari satu hal: tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kebahagiaan.

Ucapan si Bunda terus terniang di telingaku, sampai kemudian pertanyaan ini bergema dalam benakku.

Apakah kebahagiaan sejati terletak pada hasil, atau pada proses bertahan dan berjuang? 

Tak lama setelahnya, aku mengikuti sebuah kajian, dan di sanalah aku menemukan jawabannya.

"Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik amalnya." (QS. Al-Mulk: 2)

"Dan kehidupan dunia ini, hanyalah senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?" (QS. Al-An'am:32)

"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS. Ali-Imran: 140)

Aku terdiam. Rasanya ayat-ayat ini menamparku.

Di era media sosial ini, mudah sekali melihat hidup orang lain yang tampak lebih bahagia hanya dari postingannya. Aku lupa, bahwa yang mereka bagikan hanyalah potongan kecil  dari kehidupan 24 jam mereka. Aku terlalu sibuk membandingkan hidupku dengan orang lain, lalu merasa tertinggal. 

Tapi semakin dewasa, aku menyadari sesuatu.


Saat sesuatu yang ingin kamu capai ternyata belum bisa kamu capai, lepaskan. 

Jangan digenggam, biarkan ia berjalan menemui rumahnya sendiri. Kelak, kalau kamu adalah rumahnya, ia pasti kembali. 


Kadang keindahan postingan orang-orang di media sosial membutakan kita. Sampai-sampai kita sendiri merutuki nasib kita yang menyedihkan. Padahal, namanya juga media sosial. Semuanya diatur, dipoles, diperindah sesuai dengan apa yang kita mau tampilkan. Jangan pernah terkecoh dengan postingan-postingan yang tersebar. Setiap hidup akan selalu ada ujiannya, masalahnya. Karena udah Allah sampaikan, kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan sementara dan akhirat adalah kehidupan yang kekal. 


Kalau sekiranya media sosial itu malah bikin kamu banyak mengeluh dan terus membandingkan hidupmu dengan orang lain, mungkin saatnya mengambil jeda. Coba jalan keluar rumah, lihat sekitar kita. Masih banyak hal yang bisa kita syukuri tenyata. Terkadang, kebahagiaan sejati bukan tentang mencapai sesuatu yang besar, tetapi tentang menemukan keindahan dan ketulusan dalam hal-hal sederhana. 


Dan yang terpenting...


Gak apa-apa kalau jalan hidupmu berbeda dengan teman-temanmu yang lain. Jangan pernah merasa tertinggal. Semua ada masanya.  


Cheers,


Ihat

Photo by Andrea Davis

Hal yang paling aku benci setelah pulang liburan dari rumah dan harus kembali ke perantauan adalah perasaan kangen terhadap rumah serta kenyataan bahwa aku harus kembali melakukan segala sesuatu sendirian. Termasuk tinggal di kosan sendiri, makan sendiri, dan juga mengerjakan pekerjaan dalam suasana hening, tanpa ada suara-suara yang mengingatkanku untuk salat, makan, atau menyuruhku tidur lebih awal.

Aku memang merasa aneh dengan diriku sendiri. Sejak setahun terakhir, perasaanku terhadap rumah semakin kuat, hingga sering kali aku merasakan homesick. Padahal, ini bukan kali pertama aku jauh dari rumah. Sebelumnya, aku pernah tinggal di asrama selama 6,9 tahun, lalu setelah itu merantau dan tinggal sendiri di kosan. Tapi aku benar-benar merasakan perbedaannya. Selain karena asrama dulu tidak terlalu jauh dari rumah, di sana juga ada teman-teman, sehingga aku punya tempat berbagi cerita dan tidak merasa kesepian. Berbeda dengan sekarang, tinggal di kosan membuatku benar-benar merasakan yang namanya sepi-kesepian.

Sebenarnya, bukan itu yang ingin aku bahas. Aku tahu bahwa aku sedang sangat rindu rumah, meskipun baru dua hari yang lalu aku pulang. Namun, ada kejadian yang membuatku benar-benar kesal dengan diriku sendiri—kenapa aku tidak bisa lebih sabar terhadap Mamah?

Aku jadi teringat obrolanku dengan gengku beberapa waktu lalu. Sepulang  kegiatan sekolah, kami memilih untuk makan mie di sebuah kedai Mie Aceh di daerah Ujung Berung. Obrolan kami sangat random, hingga akhirnya sampai pada satu topik pembahasan: orang tua.

“Bu, pokoknya selagi ada orang tua, apalagi Mamah, ya ikutin saja maunya. Yang sabar. Kadang, keinginan kita yang menurut kita baik belum tentu baik di mata mereka.”

“Suara kita jangan ditinggikan, ingat. Harus banyak sabar menghadapi kemauan mereka, apalagi kalau nanti kita diberi kesempatan untuk mengurus mereka.”

Selain itu, ucapan salah satu temanku kembali terngiang di telingaku.

“Kita akan diuji dengan apa yang kita punya dan apa yang kita ketahui atau kuasai atas ilmu tersebut.”

Aku menarik napas panjang sebelum menuliskan ini.

Long weekend ini, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah, karena adikku juga pulang sekalian. Katanya, akan ada acara makan-makan sebagai syukuran karena dia berhasil lolos tes CPNS. Aku bilang ke Mamah untuk menunggu kepulanganku dulu karena aku juga ingin ikut. Begitu sampai di rumah, ternyata Mamah dan Bapak masih mengurus orderan. Lalu, hujan deras turun, sehingga acara makan-makan terpaksa ditunda keesokan harinya.

Namun, setelah salat Magrib, hujan mulai reda, dan aku terus menyarankan agar acara makan-makan dilakukan malam itu juga, karena besok malam adikku akan kembali ke Jakarta. Awalnya, pilihan jatuh ke tempat makan khas Sunda, tapi menurutku itu terlalu biasa. Masakan rumah pun menurutku lebih enak. Mamah juga lebih memilih memasak di rumah daripada makan di luar karena menurutnya lebih hemat. Apalagi kali ini, traktiran datang dari adikku. Tapi karena aku sudah meminta untuk pergi malam itu juga dan ingin makan bakso, akhirnya kami pun pergi.

Sesampainya di sana, Bapak tidak ikut makan karena sudah kenyang setelah makan nasi di sore harinya. Lalu, pesanan datang lama sekali, membuat adikku mengomel dan menyuruhku mengeceknya. Aku bilang, “Lagi dibuat, sabar.” Tapi adikku malah menyebutku sebagai tipe orang yang terlalu mengalah. Saat itu, aku kesal setengah mati. Aku bilang lagi, “Sabar sedikit, bisa tidak?” Tapi adikku tetap ngotot dan berkata bahwa di Jakarta tidak seperti ini—semuanya serba cepat. Aku hanya menjawab, “Ya, iyalah, beda kasus. Itu buat makan siang, sementara ini kita tidak sedang terburu-buru.” Tapi dia tetap tidak terima dan akhirnya aku menyuruhnya mengecek sendiri.

Saat pesanan datang, ternyata makanan yang dipesan Mamah tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Aku salah pesan. Di awal, Mamah hanya bilang ingin sayur dan bakso saja, jadi aku hanya menuliskan itu. Aku tidak tahu kalau seharusnya tidak ada taoge di dalamnya. Kalau tahu, tentu aku akan meminta tanpa taoge. Belum lagi, Mamah mengeluhkan harga makanan yang cukup mahal dan akhirnya tidak makan baksonya karena menurutnya masih terasa amis. Lengkap sudah kekesalanku malam itu.

Aku pun keceplosan berkata,

“Susah sih kalau terlalu pilih-pilih soal makanan. Ini tidak mau, itu tidak mau. Aku suka greget kalau di sekolah ada murid yang seperti itu juga.”

“Bukan begitu, Mamah memang kurang suka makan beginian.”

“Kenapa tidak bilang dari awal mau makan apa?"

Mamah dan Bapak diam. Mereka tahu aku sedang emosi. Aku berusaha menahan kesal sambil beristighfar. Bahkan makan bakso pun rasanya jadi hambar.

Kami pun pulang.

Keesokan harinya, Mamah berkata kepada kami semua bahwa lain kali harus bisa lebih memahami kondisi orang tua. Mamah memang tidak suka makanan kekinian, apalagi yang berbumbu kuat. Bapak pun menambahkan bahwa aku harus lebih sabar lagi dalam menghadapi orang tua.

Aku hanya terdiam mendengarkan. Jujur, rasanya sungkan untuk meminta maaf setelah sempat berbicara dengan nada tinggi. Namun, saat hendak pamit pulang, akhirnya aku meminta maaf kepada Mamah.

Selama perjalanan, aku terus merenung. Aku tipe orang yang kesal jika berhadapan dengan orang yang tidak bisa membuat keputusan, lalu ketika sudah dipilihkan, malah mengeluh karena tidak sesuai keinginannya. Dan ternyata, sifat itu ada dalam diri Mamah. Pikiran ini terus menggangguku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menuangkannya dalam tulisan ini.

Aku belajar banyak hal.

Pertama, aku harus berani berbicara dari hati ke hati dengan Mamah tentang pengambilan keputusan. Ini bukan pertama kalinya terjadi, sebelumnya hal serupa pernah membuat Mamah murung.

Kedua, aku harus belajar lebih sabar jika kejadian ini terulang lagi. Kalau ke murid, aku bisa tegas, tapi kepada orang tua, aku harus tetap menjaga sopan santun.

Ketiga, aku tidak boleh terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Kejadian ini terjadi karena akumulasi banyak hal—emosi yang kutahan sejak adikku mengomel tentang lamanya pesanan datang, lalu menyebutku pengalah, hingga akhirnya tetap meledak karena hal lain yang menyinggungku.

Sekarang, bagaimana perasaannya? Sudah lebih tenang, kan? Ini bukan sepenuhnya salahmu. Mungkin Mamah punya alasan sendiri kenapa sulit membuat keputusan—bisa jadi karena trauma atau pengalaman buruk di masa lalu. Tapi, karena di sini kamu yang lebih dewasa secara emosional, maka kamu harus belajar untuk bisa berkomunikasi dengan baik agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Hi, Ihat. Aku bangga padamu. Aku bangga karena kamu bisa dan mau menguraikan peristiwa ini, hingga akhirnya bisa belajar banyak hal baru lagi.

Semangat! 😊


Ihat

Photo by Ylanite Koppens


Aku kira ini bakal jadi yang terakhir.

Ternyata aku masih harus patah hati lagi.


Sedih dan kecewa memang ada, tapi rasanya enggak terlalu besar. Semua terasa biasa aja, hanya di ambang batas wajar. Meski iya, aku tahu diri aku nggak baik-baik aja waktu aku tahu kenyataannya. 

Aku seneng banget waktu dia mulai hadir dalam hidup aku. Dia yang baik, sopan, enggak pernah bilang aneh-aneh, dan juga enggak pernah obral janji. Sekalinya janji, selalu ditepati. Ngobrol sama dia itu berasa kayak lagi ngobrol sama teman lama yang udah lama enggak ketemu. Dia bisa dengan mudahnya paham apa yang aku utarakan tanpa harus aku jelaskan secara detail. Begitu pun sebaliknya. Sulit bagi aku untuk bisa klop sama orang, apalagi kalau harus berbagi hal-hal yang bersifat personal.

Aku merasakan banget perbedaannya. Waktu di awal kenalan dia cukup tertutup. Sulit banget buat bahas diri dia sendiri. Komunikasi hanya sebatas ngobrolin soal budaya di negara masing-masing. Lambat laun, aku merasakan dia mulai terbuka sama aku dan menunjukkan sisi humorisnya. Aku tahu rasa nyaman di antara kita enggak tiba-tiba datang begitu aja. Semuanya murni datang secara perlahan dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Ada satu momen di mana aku lagi merasa down banget dan udah pengen nyerah aja. Aku cerita sama dia. Aku kira habis itu aku bakal ditinggalin karena dia tahu sisi lemahnya aku, eh ternyata enggak. Dia justru malah support aku, sering memvalidasi perasaan aku, dan selalu berhasil meredakan emosi aku yang emang aku sendiri sulit untuk bisa menanganinya seorang diri. Dia enggak mudah untuk men-judge juga. Aku suka dengan kejujuran dia, ketegasan dia dan cara dia menepati janji yang udah dibuatnya.

Sampai aku sadar, komunikasi ini rasanya udah bukan lagi sebatas teman. Aku memberanikan diri untuk bertanya apakah dia memiliki intention yang lebih untuk hubungan ini atau tidak. Dan jawabannya adalah tidak. Dia hanya ingin menjadi teman, sebatas teman dekat saja. Dia bilang bahwa untuk kejenjang serius, menurut dia hubungan ini tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan pernah terwujud. Alasannya ya jarak kita yang jauh, beda negara, beda benua, belum lagi perbedaan budaya, harus mengurus perizinan untuk tempat tinggal/kewarganegaraan, belum lagi salah satu pihak harus ada yang mau meninggalkan keluarganya, ditambah juga masalah finansial. Dia tidak ingin menyakiti satu sama lain karena rasa kecewa nanti di akhir. Jadi, dia memutuskan untuk berteman saja tanpa komitmen apa-apa. Dia pun bilang, dia hanya ingin aku bahagia meskipun itu berarti bukan sama dia.

Awalnya, tidak bisa dipungkiri. Perasaan sedih sekaligus kecewa datang menyelinap dalam hati. Saat itu, aku pun memutuskan untuk mengambil jeda sejenak. Tapi lucunya, itu tidak berhasil. Hanya beberapa hari tidak berkabar, dia akhirnya datang kembali dan bilang juga bahwa sebenarnya dia juga sedih. Di sisi lain, dia juga tidak ingin aku terluka lebih dalam lagi karena dia yakin hubungan ini tidak akan pernah terwujud. 

Kami pun kembali memulai obrolan biasa dengan permintaannya bahwa aku harus segera melepaskan dan menghapus perasaanku padanya. Oke, aku bisa mencoba melepaskannya sedikit demi sedikit. Namun tetap saja, aku gak munafik. Perasaan itu justru malah makin tumbuh karena aku jadi lebih tahu sisi dia yang lain. Dia yang mau belajar hal-hal baru, sering diandalkan teman-temannya dalam bekerja, tahu caranya meredam rasa curiga atau overthinkingnya aku, dan selalu bilang,

"It's ok."

"Everything will be ok. You can pass it well!"

"Keep calm. You can handle it. Trust yourself!"

Dia yang selalu meluruskan kesalahpahaman dengan kepada dingin dan santai. Bahkan terkadang selalu mengurutkan kesalahpahaman yang ada kemudian dia jelaskan satu persatu. Kalaupun harus jujur, sifat dia selama ini adalah sifat-sifat yang seluruhnya pernah aku tulis. Sayangnya, aku lupa satu hal: aku harusnya menulis juga, "Dia yang ingin memperjuangkan aku tanpa ragu dan bukan hanya sebatas teman saja."

Sedih sih, tapi mau gimana lagi ya. Aku juga enggak bisa maksa dia. Cuma yang masih jadi pertanyaan adalah, kenapa dia sudah memutuskan dari awal bahwa hubungan ini enggak akan berhasil dan terwujud? Padahal aku dan dia belum pernah discuss perihal pros and cons jika kita memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius.

Demi melindungi diri aku sendiri, aku mulai mencoba secara bertahap untuk meninggalkan dia. Berat rasanya, karena dia adalah tempat aku merasa aman dan dimengerti. Tapi aku tahu, kalau aku terus bertahan, aku hanya akan makin terluka. Aku tahu, enggak nyaman banget menginggalkan dia. Tapi aku enggak mau lagi menyakiti diri sendiri lebih lama dengan bertahan sama orang yang dia sendiri udah pesimis buat memperjuangkan aku di hidupnya.

Mari belajar melepaskan ya ;)


Ihat


Photo by Pixabay


Seperti saat bermain catur, kamu bebas menentukan siapa yang akan lebih dulu memainkan peran. Setiap peran memiliki jalannya sendiri menuju tujuannya, yaitu mengalahkan raja. Namun, di sana juga kamu harus berpikir. Jalan mana yang bisa kamu kuasai dan hadapi untuk melawan musuh di depanmu. -Ihat Azmi-

Ditemani gemericik suara hujan di pagi hari yang tidak terlalu dingin, aku memutuskan mengawali weekend ku kali ini dengan menumpahkan segala kebisingan isi kepala melalui jari-jemari yang terus menari di atas keyboard pink kesayanganku. 

Ini adalah weekend pertama sejak aku memutuskan pindah ke kosan baru yang lokasinya agak jauh dari tempat bekerjaku. Semula, kosanku berada dekat dengan tempat kerjaku. 

Lucunya, banyak sekali orang-orang yang menyayangkan keputusanku ini. Hampir semua orang bertanya-tanya mengapa aku memutuskan untuk pindah, padahal jarak tempat kerja lebih dekat dari kosanku yang lama. Setiap kali mereka menyayangkan keputusanku, aku hanya tersenyum. Anehnya, aku sama sekali tidak menyesali keputusan ini. Sebaliknya, aku bersyukur dan mengapresiasi diriku sendiri karena sudah berani untuk mengambil langkah ini.  

Jika ditanya alasan sebenarnya ya, aku jenuh dengan situasi dan kondisi sebelumnya. Aku butuh sesuatu yang baru untuk menyelamatkan diriku dari rasa jenuh yang menganggu aktifitas sehari-hari. Misalnya, aku sering merasa malas beribadah, menunda-nunda waktu salat, bahkan menunda pekerjaan rumah. Aku lebih senang rebahan di atas kasur sambil scrolling di hp. Aku juga sering menunda berangkat ke tempat kerja, berpikir, 

"Tempatnya dekat ini, ngapain harus datang pagi-pagi?" 

Selain itu, aku merasa malas melakukan aktifitas pribadi seperti menulis, mengerjakan tugas tambahan atau belajar mandiri. Biasanya, aku memilih untuk pergi ke kafe untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut karena jika dikerjakan di kosanku yang lama, aku akan berakhir dengan kembali ke atas kasur dan tidur. Bahkan, setiap kali weekend tiba,  aku lebih banyak menghabiskannya untuk tidur. Rasanya malas sekali melakukan apa pun. 

Dari situ aku sadar, ada sesuatu yang tak beres dengan diriku. Setelah mencoret-coret perhitungan biaya bulanan dan lain-lain, aku memutuskan untuk pindah. Bismillah! Dengan penuh keberanian, aku mengambil keputusan itu. Meski jaraknya lebih jauh dari tempat kerja, aku tahu ini akan memaksaku untuk bangun lebih pagi. Aku juga harus kembali menjadi penumpang angkot dan demi menghemat pengeluaran, akupun memutuskan untuk berjalan kaki dari jalan besar menuju tempat kerja. Dengan medan jalannya yang menanjak dan cukup jauh. Lucunya, aku justru memotivasi diriku sendiri, kan jarang olahraga. Nih sekalian olahraga. Itung-itung lagi di Korea jalannya banyak tanjakan gini. Biar nanti terbiasa. Kalau ada yang ngajak bareng naik kendaraan ikut, kalau enggak ya udah gak apa-apa. Bakar kalori biar sehat. 

Sejak pindah ke kosan baru ini, aku merasa seperti terlahir kembali. Aku menjadi lebih bersemangat untuk pergi ke tempat kerja, bangun lebih pagi, bisa bercengkerama lebih banyak juga dengan Pencipta-Ku, dan melihat orang-orang sekitar dengan ceritanya masing-masing. Hal itu sering membuatku lebih banyak bersyukur atas kehidupan yang aku miliki sekarang. Meski harus bangun lebih pagi, berjalan kaki sebanyak 1,3 KM di jalan yang menanjak :D, menghadapi kemacetan sepulang bekerja, atau menunggu penumpang lain di angkot, semuanya terasa lebih bermakna. Menyebrangi padatnya jalan raya atau pada akhirnya aku memutuskan untuk menaiki jembatan penyebrangan demi keselamatan diri. 

Aku merasa diriku yang energic dalam meraih mimpi kembali hadir. Jika banyak orang menyayangkan keputusanku, aku justru bersyukur. Aku kembali merasakan kebebasan dalam diriku, bisa melihat dunia ini lebih luas dan menemukan banyak hal yang patut aku syukuri dibanding terus mengeluh.

Pada awalnya, aku sempat merasa takut untuk melangkah. Jarak yang lebih jauh, belum lagi ongkos, harus bangun lebih pagi, dll, sempat menghantuiku. Namun, aku mencoba menguraikan ketakutan itu ke dalam bentuk coretan. Nyatanya setelah semua ketakutan itu aku uraikan, aku menyadari hanya ada satu hal yang perlu aku korbankan: waktu pagi.  Yang biasanya aku gunakan untuk berleha-leha kini aku harus memanfaatkan untuk bersiap lebih pagi. Setelah itu, aku mencoba menguatkan diri, belajar untuk tidak mendengar apa kata orang dan take action. Hasilnya? Tidak seseram yang aku bayangkan sebelumnya.

Kadang, yang membuat kita takut untuk melangkah adalah terlalu banyak mendengarkan apa kata orang dan membiarkan pikiran kita sendiri yang terlalu berisik. Namun, ketika kamu mencoba untuk melakukannya - tentu dengan penuh pertimbangan -  nyatanya tak semenakutkan yang kamu kira, kok.

Hai, diri! Terima kasih sudah mengawali 2025 dengan berani mengambil keputusan tanpa terlau banyak mendengarkan apa kata orang dan mulai percaya pada dirimu sendiri. 

Ya Allah, terima kasih atas bantuan-Mu yang telah membimbing diri ini menjadi lebih berani dan tidak takut dalam mengambil keputusan. Bahkan, hanya dari proses pindahan kosan ini, aku telah belajar banyak hal. 

There is no right or wrong in making decisions. It's about how you deal the risks that come with every decisions you make. -Ihat Azmi- 

Ini sama seperti permainan catur. Aku jadi teringat ketika dulu Bapak mengajarkan aku  bermain catur dan berkata bahwa setiap peran memiliki cara dan jalannya masing-masing. Kamu hanya perlu memilih cara mana yang kamu kuasai dan yang bisa mengalahkan lawan di depanmu. Tak ada yang salah dengan setiap peran yang kamu pilih, semua hanya bergantung pada risiko mana yang siap kamu tanggung untuk tetap bertahan dan mengalahkan lawan di depanmu.

Semangat untuk kamu yang sedang di ambang kebingungan dalam menentukan langkah ya :) Semua itu gak semenakutkan yang kamu bayangkan kok ;) 

Ihat

Photo by Photo By: Kaboompics.com


2025 sudah memasuki minggu ke dua. Bagaimana dengan rencana-rencana yang sudah dibuat di awal tahun ini? Sudahkah mulai terealisasi atau bahkan masih saja stuck seperti sebelumnya?

Di awal tahun, aku sangat bersemangat sekali untuk membuat my timetable yang sengaja ku susun agar aku bisa memaksimalkan waktu yang sudah Allah kasih. Waktu tersebut sengaja aku luangkan untuk improve diri. Seperti selepas kerja aku bisa belajar, membaca buku tentang self development atau mungkin aku bisa mengikuti kelas online lainnya. Sayangnya, kenyataan tak sesuai dengan jadwal yang aku buat. Kegiatan di pekerjaan lebih padat dari biasanya, pulang ke kosan rasanya aku sudah tak sanggup lagi untuk beraktifitas yang lainnya. Teringat janji yang sudah aku buat dengan diriku sendiri. Aku menengok lagi jadwal yang sudah aku buat. Namun, jujur. Aku sudah tak sanggup lagi untuk berfikir di sisa-sisa tenagaku. 

Aku marah pada temanku lantaran aku tak bisa melakukan aktifitas sesuai dengan timetable yang aku buat. Temanku tak banyak berkata, dia tahu aku hanya sedang kecewa dengan diriku sendiri dan keadaan yang ternyata belum bisa mendukung. 

"Udah, kamu gak harus memaksakan diri kamu sendiri untuk bisa kamu raih di saat ini. Mungkin dengan pekerjaan yang semakin padat, itu artinya Allah pengen kamu beresin dulu urusan kamu di sini satu persatu."

Aku diam, sembari mencerna ucapan temanku itu. 

"Kita kan cuma bisa berencana, tetep Allah yang menentukan. Lagi pula kalau kamu memaksakan diri kamu untuk tetap melakukan aktifitas sesuai dengan rencanamu itu di saat tubuhmu sudah minta istirahat, kamu udah dzalim sama diri kamu sendiri."

Aku berfikir.

"Iya ya, kalau dipaksakan justru akan kacau semua. Kamu gak akan fokus sama pekerjaan utama kamu saat ini, nanti malah nambah-nambah lagi masalah." Ucapku dalam hati.

Tak lama aku menelfon Mamah. Mamahpun mengutarakan hal yang sama.

"Fokus dulu satu-satu. Kerjaanmu aja udah dari pagi sampai sore, belum malam kalau masih ada yang harus dipersiapkan. Urusan rencanamu biar nanti kamu kerjakan setelah pekerjaan utamamu selesai aja. Beresin dulu di sana, nanti kalau sudah selesai kamu bebas mau melakukan apapun yang kamu inginkan."

Aku hanya manggut-manggut di seberang. Sembari berfikir, mungkin ini kali ya penyebab aku merasa overwhelmed selama ini? Aku seperti ingin melakukan semuanya dalam satu waktu sementara ya tubuh sendiri juga butuh istirahat.

Sampai kemudian pagi ini aku membaca sebuah artikel di blognya Marc and Angel

In life, we can't take more than one sip at a time. 

We have to take a step back on a regular basis and reevaluate what we're actually doing and why.

Instead of thinking, "Oh my gosh there's too much to do!".. Let's ask, "Should I actually be doing all of this?"

Marc and Angel

Aku termenung. Sebenarnya apa sih yang sebenarnya aku cari sampai ingin coba ini-itu, menambah beban fikiran yang pada akhirnya aku kewalahan sendiri dengan keinginan yang aku buat. Fokus dulu satu karena gak bisa kamu pengen melakukan yang lain sementara yang utama saja kamu sudah dibuat keteteran. 

Tenang, semua ada waktunya. Seperti yang teman dan Mamah aku bilang. Fokus dulu sama yang sedang dilakoni sekarang. Selesaikan dengan baik sebisa yang kamu beri. Jangan keras sama diri sendiri. Gak apa-apa kalau posisi kamu sekarang gak sama kayak orang lain. Fokus aja dulu sama hidupmu. Ingat, hidup di dunia ini semuanya silih berganti. Gak ada yang selamanya di atas, gak ada yang selamanya di bawah. Hanya saja, coba niatnya diperbaiki lagi.

Kamu coba menyibukkan diri sampai akhirnya bikin stress dan bikin dirimu sendiri kewalahan itu karena apa niatnya? Butuh validasi semua orang bahwa kamu itu produktif? Butuh validasi orang bahwa kamu juga punya keinginan lain? Atau buat apa?

Kalau jawabannya hanya sekedar validasi atau takut ketinggalan yang lain, coba tata ulang lagi yuk intentionnya. Kasian dirimu sendiri nanti yang repot, sakit. Lakukan sebisa yang kamu lakukan, jangan terlalu keras sama diri sendiri ya. :)


Ihat Azmi



Photo by Valeriia Miller

It’s been a long time I never share here ya.

2024 sudah berakhir bahkan kita sudah menginjak di hari ke 11 bulan Januari. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian semua.

2024.

Tahun penuh lika-liku dan juga kejutan.

Berawal dari kegiatan sekolah mengenai proyek drama yang membangkitkan kembali memori lamaku. Aku suka drama dan aku suka pementasan. 

Lalu bergabung di volunteers dan mengadakan kegiatan di bulan Ramadan di Tahura. Bertemu orang baru, mendapatkan pengalaman baru yang tentunya unforgettable moment banget. Dan kalian tahu? Aku kira tahun ini kita akan mengulangi hal yang sama ternyata tidak. Masing-masing dari kita sibuk dengan kehidupan pribadi kita dan beberapa sudah memilih jalan hidupnya masing-masing. Whenever you are, our memories is still alive.

Mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program PKGBI batch 2. Setiap Sabtu adalah jadwal kelas kami belajar bersama via g-meet. Belajar dari para senior membuatku sadar bahwa apa yang diraih mereka  pada saat ini adalah bentuk konsisten mereka dari awal mereka berkarya. 

Lanjut dengan badai kehidupan yang tiba-tiba datang. Kekecewaan, kesedihan, ketidakmampuan diri dalam memahami perasaan yang sedang dirasa rupanya cukup menguras energi. Aku yang berubah menjadi pemurung, selalu menarik diri dari orang-orang, menangis tanpa sebab sepanjang malam, sulit untuk tidur, bahkan ada dorongan ingin menyakiti diri sendiri. Aku tak bisa membagikan ini semua pada orang terdekatku saat itu. Aku hanya bisa membaginya melalui tulisan yang aku kirim pada temanku di beda negara. Aku menangis sesegukan begitu mendapatkan jawabannya. Jalannya hanya satu, aku tak perlu menghawatirkan masa depan karena itu adalah pekerjaannya Allah dan aku hanya perlu percaya sepenuhnya pada Allah. 

Meski begitu, berbulan-bulan bahkan sampai detik ini perasaan itu terus saja hadir. Sampai kemudian aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan aku sekarang. Aku memilih untuk pulang ke rumah dan tinggal kembali bersama orang tua. Meski aku harus menunggu selama 6 bulan lagi, lantaran kontrak kerjaku berakhir di bulan Juni mendatang. 

Ada hal yang aku syukuri dari ujian perasaan yang tak menentu ini. Aku jadi terus memupuk diri untuk lebih bersabar, menerima perasaan yang hadir walau tidak tahu ini perasaan apa. Belajar untuk percaya serta menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Karena banyak sekali hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Aku pun jadi sering bercerita pada orang tua ku, terutama Mamah. Dan Mamah kini bisa memahami apa yang aku rasakan. Kalau kata Mamah, jangan bosen-bosen untuk terus bertanya kepada diri sendiri, karena jawaban dari kebimbangan dan keputusasaan ini bisa kamu temukan dari dalam dirimu sendiri. 

Setelah itu, sedikit demi sedikit aku selalu mencoba untuk menyapa diriku sendiri, termasuk anak kecil yang ada dalam diri ini yang sering diabaikan. Rasanya bagaimana? Sungguh tidak enak. Ada rasa sakit begitu aku mencoba menyapanya. Belum juga belum udah nangis apalagi kalau udah lihat foto semasa kecil. Tapi ya aku harus terus menyapanya biar dia tidak merasa kesepian. 

Jangan kalian harap aku selesai dengan ujian ini. Belum. Tahun 2025 juga aku masih berjuang dengan ujian perasaan ini. Setelah coba cari tahu dari buku, internet, podcast apa yang aku alami saat ini adalah aku sedang memasuki fase life quarter crisis. Jujur aku demotivasi, bingung dengan tujuan hidupku, sering mempertanyakan kembali apa makna hidup ini. Fase tidak nyaman ini justru menuntunku untuk lebih melihat diriku sendiri secara utuh, mendengarkan apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup ini, serta luka-luka pengasuhan dan pengabaian dulu yang kini lebih sering minta untuk dipeluk. 

Aku tahu ini tak mudah, tapi aku yakin aku mampu untuk melewatinya. Aku yakin aku akan baik-baik saja dengan bantuan dari Nya, dengan cinta dan kasih sayang-Nya. 

Menulis pada akhirnya menuntunku kembali untuk berdialog dengan diriku sendiri dan juga membuat fikiranku sedikit lebih ringan. Karena pada akhirnya yang bisa memahami dirimu adalah dirimu sendiri.


Ihat 



Photo by Alex Fu


Aku kembali gelisah

Waktu terus berputar tak bisa kuhentikan

Malam semakin larut, tetapi mata sulit untuk bisa dipejamkan

Kebisingan dunia sudah berhenti tinggal semilir angin yang terdengar, namun bisik di kepala rupanya masih salih bersahutan sulit untuk bisa dihentikan. 

Menatap jam yang kini jarumnya sudah berpindah ke hari baru 

Tiba-tiba perasaan sedih, rindu, kesal, bercampur marah kembali hadir

Air mata tak bisa lagi ku bendung

Aku kembali menangis sendirian, bayangan-bayangan yang menyebalkan itu kembali lagi datang

Ingin sekali aku menghubungimu saat itu

Menangis kembali dipelukanmu, sembari mendengar nasihatmu yang selalu menenangkanku

Tapi malam itu aku tak bisa 

Aku tak bisa melakukannya lagi

Teringat bahwa tujuan kita berbeda

Arah yang kita tuju ternyata tak sama

Aku memutuskan untuk segera pergi meninggalkanmu sebelum aku jatuh terlalu dalam

Dan kamu membiarkan aku pergi dengan keputusanku


Tak ada yang salah dengan pertemuan ini

Kesempatan yang kita lalui bersama

Kamu yang selalu ada untukku

Begitupun aku


Meski aku tahu jalanan yang harus ku tempuh ini masih jauh untuk menemukan cahaya

Tapi aku tak mau, saat aku sudah terlalu terbiasa denganmu dan perjalanan yang kita lalui sudah sangat jauh, sementara tujuan kita berbeda

Pada akhirnya kita akan tetap berpisah bukan?


Sungguh, jika harus ku katakan

Aku sangat merindukanmu

Namun keputusan yang aku buat

Aku tak bisa mengatakan itu kembali

Dan aku tak ingin kehilangan diriku lebih jauh lagi

Biarkan sepi malam dan segala riuh dalam isi kepala menemaniku

Meski harus tetap terjaga sampai fajar tiba


Ihat



 


Photo by alexandre saraiva carniato

Minggu ini rasanya masih menjadi minggu yang berat bagiku. Perasaanku kembali naik.  Aku malas beraktiftas, sering melamun bahkan terkadang lupa dengan apa yang akan aku kerjakan atau yang sudah aku kerjakan detik itu juga. Diam sedikit sudah bengong. Tidur tidak nyenyak. Sudah beberapa hari aku terbangun di tengah malam dan sulit kembali untuk memejamkan mata. Atau aku akan kesulitan untuk tidur sampai tengah malam dengan kondisi mata yang masih terjaga. Meski mataku terpejam, fikiranku tetap riuh berisik dan tidak berhenti mondar-mandir ke sana kemari. 

Selain itu, tak jarang aku menangis tanpa sebab setiap malam selama seminggu kebelakang ini. Lucunya lagi, saat minggu lalu aku mengajak diriku sendiri untuk jalan-jalan sebentar dengan naik bandros yang ada malah aku banyak bengong sepanjang jalan. Aku benar-benar tidak menikmati perjalananku di minggu lalu. Dan anehnya lagi justru aku sangat menikmati waktu liburku untuk tidak bertemu banyak orang, mengurung diri di kamar, mematikan ponsel, dan tidur seharian. 

Sungguh, saat tak mengetahui perasaan ini kenapa dan mengapa rasanya capek ya. Perasaan bingung dan sering berubah-rubah inilah yang mendominasiku kembali selama kurang lebih dua minggu kebelakang ini. Aku tahu menjadi dewasa tidak bisa seperti saat kamu kecil bisa berhenti sejenak bermain atau sekolah. Sudah dewasa ya mau seberantakan apapun diri kamu di dalam, kerja ya tetep harus kerja. Pasang muka baik-baik aja, walau jauh dalam hati kamu sudah ingin menyerah. 

Aku tahu, aku faham. Fase ini sangat sulit sekali untuk bisa aku lalui. Tapi di tengah-tengah kesulitan ini, aku hanya yakin bahwa Allah tetap ada di sampingku, tetap menemaniku, tetap menjagaku, membimbingku agar aku tetap berjalan melewati semua ujian perasaan ini. Aku bersyukur karena aku sudah bisa melawan perasaan untuk menyakiti diri sendiri. Bersyukur karena orang tuaku sangat memahami kondisiku di saat aku sering menghubungi mereka. 

Aku cuma mau bilang sama diri aku sendiri.

Hai,

Makasih ya udah mau bertahan sejauh ini. Tahu, ini berat banget dan kamu benar-benar sedang merasakan masa kegelapan dalam hidupmu. Gak apa-apa. Semuanya gak akan lama, semuanya akan berakhir. Percaya aja ya kamu akan baik-baik aja kok dan kamu akan menjadi semakin kuat juga tangguh setelah melewati perjalanan ini. 

Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan. Sampaikan dan terima perasaan yang kamu rasakan saat ini. Kamu hebat. Kamu kuat. 

Tetep berjalan ya, jangan pernah berhenti. Titip. Jangan menyakiti diri sendiri, karena siapa lagi yang mau menemani kalau bukan diri sendiri. 


Love,

Ihat

Photo by Vlad Bagacian

Minggu lalu seperti biasa pulang pergi ke rumah itu aku pasti menggunakan kereta. Ketika berangkat aku bersyukur karena kereta yang aku pilih ternyata kereta yang sudah menggunakan rangkaian kereta api baru alias kereta new generation. Mana naik kelas eksekutif dan tentunya nyaman sekali. 

Pulangnya aku memilih perjalanan sore dengan menggunakan kereta api ekonomi. Seperti biasa, tidak ada yang berbeda dengan pilihanku. 

Sore itu ketika akan pulang ke tempat perantuan rasanya hati aku campur aduk lantaran kembali meninggalkan rumah dan harus menabung rindu untuk bertemu lagi di minggu-minggu selanjutnya. Diantar Bapak sampai stasiun dan begitu sampai stasiun, aku memesan iced cappucino; berharap diperjalanan aku bisa terjaga seraya memandang pemandangan lewat jendela. Karena tiket yang aku pesan itu dekat jendela. 

Begitu sampai di gerbong, aku cukup menarik nafas panjang lantaran banyak sekali penumpang yang naik sampai-sampai bagasi atas pun habis. Terpaksa aku hanya bisa menyimpan koperku di dekat pintu gerbong. Begitu aku sampai di kursiku rupanya kursiku sudah ditempati oleh seorang anak seusia SD. Kursi itu muat untuk tiga orang. Bapak-bapak yang ada di sana pergi karena dia sadar itu bukan kursinya.

"Maaf saya di kursi 9A." Kataku. 

"Oh iya, silahkan Teh." 

Begitu Bapak itu pergi, sekali lagi aku bilang bahwa aku duduk di kursi A. Namun si Ibu tidak mengindahkan ucapanku. Mungkin ucapanku pelan. Akhirnya dengan berat hati aku duduk di kursi C. Si Ibu yang berada di tengah hanya duduk santai tidak peduli bahwa kursi yang ditempati anaknya itu adalah kursiku. 

Berkali-kali pengumuman di kereta menyampaikan bahwa semua orang harus duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Sampai pada akhirnya kereta itu berhenti di Stasiun Cipeundeuy dan si Ibu beserta anak itu turun. Aku bergeser dan duduk di kursiku. Begitu mereka kembali lagi aku bilang dengan sopan,

"Maaf Bu, ini kursi saya."

"Oh gimana ya, anak saya pengen duduk di dekat jendela." Ucapnya tanpa merasa bersalah sementara si anak entah mendengarkan Ibunya berbicara atau tidak nampaknya biasa-biasa saja berdiri di belakang Ibunya. 

Aku menarik nafas panjang mendengar jawaban si Ibu tersebut. 

"Oh gitu ya." Jawabku pendek, malas berdebat dan aku kembali mundur ke kursi C lagi. 

Lalu mereka kembali duduk seolah tak terjadi apa-apa. 

Oh gini doang? Gak ada minta maaf atau bagaimana?

Uuh.. Perasaan aku kesal bukan main. Ingin berdebat, marah tapi sungguh aku tak berani. Mana di bawah kursi si anak banyak banget barang. 

Fikiranku kacau selama perjalanan itu. Aku ingin protes, tapi masa harus berdebat hanya karena anak kecil? Gimana kata orang nanti? 

Aku hanya memikirkan bagaimana reaksi orang-orang tanpa mempedulikan hakku untuk duduk di sana.

Aku terus menenangkan diri. Mencari hal positif lainnya.

Koper kamu kan ada di ujung sana. Mungkin duduk di dekat gang biar mempermudah kamu pas nanti kamu turun. Atau ya udahlah orang udik, gak tahu aturan. Ngapain mesti didebat. 

Alangkah baiknya si Ibu itu tidak egois dan belajar untuk mendisiplinkan anak sedini mungkin. Jangan mentang-mentang status "anak" kemudian bisa seenak jidat ngambil alih hak orang lain di fasilitas umum. Emang sampai tua dia bakal terus berada di bawah perlindungan orang tua? Enggak! Anak juga harus belajar untuk menghargai dan menghormati hak orang lain. Kalau mau duduk di dekat jendela, tolonglah pas beli tiket pilih yang bener!

Dari hal ini aku belajar, bahwa aku pun sebagai orang dewasa berhak untuk menyampaikan dan memperjuangkan yang memang hakku. Dan juga sebagai reminder kalau aku punya anak nanti jangan sampai seenak jidat kayak ibu-ibu itu. Yang dengan entengnya bilang anaknya pengen duduk di sana tanpa diajari untuk izin dulu kepada yang berhak yang punya tempat duduk tersebut dan meminta maaf karena sudah mengambil tempat duduknya. Karena gak semua hal di dunia ini bisa kamu dapatkan sesuai dengan apa yang kamu mau. Itu poinnya. Apalagi udah jelas-jelas hak orang lain malah kamu ambil. 

Selain itu, aku tidak perlu takut atas cibiran orang-orang. Yang penting sampaikan dengan baik dan santun. Karena omongan orang kan gak bisa kita kendalikan. Lagi pula pada saat itu aku takut atas fikiran aku sendiri. 

Jika bertemu lagi dengan situasi itu, aku akan tegas bilang,

"Mohon maaf kursi saya di dekat jendela, silahkan bisa duduk sesuai kursi yang tertera pada tiket ya."

"Tapi anak saya duduknya ingin dekat dengan jendela."

"Mohon maaf Bu, saya jauh-jauh sudah pesan tiketnya yang memang duduk dengan jendela. Di kereta sendiri sudah ada aturannya untuk duduk sesuai dengan nomor yang tertera dengan tiket."

Kalau masig ngeyel?

Panggil Kondektur nya aja. Hahahahaaa.

Sampai pada akhirnya aku menemukan kata-kata di bukunya Haemin Sunim "Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection",


Be good to yourself first, then to other. 

Why am I such an idiot, that I can't express my feelings properly, can't even speak up honestly? 

 

Cukup sekian cerita yang membuat hati jengkel sepanjang jalan. 

Semoga teman-teman bisa tegas pada diri sendiri dan juga orang lain ya :)


Cheers,

Ihat

Newer Posts Older Posts Home

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (15)
    • ▼  May (2)
      • Refleksi Catatan 14: Gak Harus Tahu Aku Siapa
      • Refleksi Catatan 13: Ketika Aku Memilih Untuk Mera...
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Friends

Community

Community

Subscribe Us

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia Logo Komunitas BRT Network

Featured post

Don't Worry. Don't Think Too Much.

Photo by Cup of Couple Dear you, I wanted to take a moment to express that I'm filled with gratitude for you and the incredible influen...

Translate

Copyright © 2016 Hi Solihat. Created by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates