Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me
Photo by Ann H

Sebagai seorang pembina asrama, tentu berat rasanya. Mengurusi anak dengan berbagai karakter menuntut saya untuk lebih bersabar lagi dalam menghadapi mereka. Terlebih diusia yang labil, terkadang nasehatpun selalu salah dipandangan mereka.

Manusiawi, jangan mentang-mentang saya sebagai seorang pembina asrama memiliki hati bak malaikat, tidak. Saya bisa marah, kesal, bahagia, sama seperti lainnya. Toh saya juga manusia biasa. Apalagi jika tugas diasrama menumpuk dititik waktu tertentu, masalah datang secara bersamaan rasanya kepala saya ingin pecah. Setelah beres ngurusin yang ini, yang lainnya datang. Terkadang saya ingin lari jauh dari dunia saya saat itu juga. Namun sebuah pesan selalu membuat hati saya terenyuh, senang sekaligus terharu.

Jazakallohu khoiran ukhti..

Ukhti, jazakumullohu khoiran katsiira. Semoga ukhti lebih sabar lagi dalam mengurus anak-anak.

Jazakallohu khoiran, artinya semoga Allah membalas atas kebaikanmu. Sebuah kalimat sederhana namun bagi saya maknanya sangat dalam. Bukan hanya sebatas ucapan melainkan sebuah doa. Kebaikan yang kita lakukan, lalu orang lain membalasnya dengan doa seperti itu, bagaimana? Luar biasa bukan? Mereka membalasnya dengan mendoakan agar kebaikan yang kita perbuat dibalas oleh Allah SWT. Balasan mana yang lebih indah selain dari balasan Allah SWT? Maka dari itu saya aamiin kan dalam hati sambil tersenyum. Walau terkadang dengan kebaikan yang telah ditebar selalu mengundang rezeki dalam bentuk lainnya.

Saya ingat bagaimana orangtua saya mengajarkan saya agar melaksanakan segala sesuatu janganlah pamrih, biar Allah SWT yang balas. Percuma jika melakukan kebaikan karena ingin dipuji orang, apalagi ingin diberi hadiah, sudahlah capek melakukan amal perbuatan eh amalannya hangus lagi tak bernilai disisi Allah. Adapun untuk hadiah yang sering saya terima, ya saya anggap itu adalah bonus yang Allah beri untuk saya.

Ukhti terima kasih banyak atas bantuannya. Jakallohu khoiran katsiira. Semoga ukhti kuliahnya lancar, mendapatkan jodoh yang sholeh, mapan, ganteng, baik, sayang sama ukhti.

Saya tersenyum saja, saya aamiinkan dalam hati.

Jazakallohu khoiran ukhti,

Doa juga penyemangat bagi saya 🙂

Ditengah hawa dingin yang menyerang,
06/07/18

IhatAzmi

Photo by The Vegan Monster

Beberapa hari lalu, saat pulang ke rumah naik kereta seperti biasa, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang membuatku merenung: tentang obrolan di perjalanan, orang asing, dan batas-batas personal yang selama ini selalu ingin aku jaga dan aku juga masih belajar untuk enggak oversharing sama orang lain.

Aku jadi ingat obrolan aku dengan saudaraku setahun lalu. Dia pernah bilang kalau aku ini terlalu jutek ketika ketemu sama orang asing. Long story short, waktu itu kami pergi ke luar kota bersama. Berbeda sama aku yang lebih memilih menikmati perjalanan dari balik kaca jendela sambil mendengarkan lagu, saudaraku justru menikmati obrolan dengan siapa pun, termasuk orang asing yang baru saja dia temui.

Satu hal yang tidak pernah aku sukai dari sebuah perjalanan adalah ketika orang asing mulai bertanya hal-hal yang terlalu personal. Tentang status, pekerjaan, tempat tinggal—seolah-olah setiap pertemuan singkat wajib dibumbui dengan informasi pribadi.

“Pantesan susah dapet jodoh,” komentar saudaraku waktu itu, setelah melihat aku menjawab singkat  pertanyaan dari seorang ibu-ibu yang mulai menyinggung hal-hal pribadi. Jujur sih, aku lebih memilih diam atau menjawab singkat daripada harus membuka ruang untuk diskusi yang tidak aku sukai. Buat aku, berbagi cerita  itu punya waktunya sendiri. Ada konteks dan ruang yang pas untuk itu, misalnya dalam sebuah workshop, seminar, atau diskusi bertema tertentu. Aku akan menjadi orang yang talk-active karena tahu obrolan itu ada tujuannya.

Namun di hari itu, pelajaran kecil kembali datang. Di dalam kereta, seorang bapak paruh baya menyapaku:

“Neng, kuliah?” 

“Kerja,” jawabku singkat.

“Kerja di mana?”

Aku menarik napas dalam. Naluriku langsung tahu, obrolan ini bisa jadi panjang dan menyentuh banyak area yang tidak ingin aku bagi. Maka aku menjawab seadanya, “Di sekolah,” lalu segera membuka buku yang kubawa.

Tebakanku ternyata benar. Beberapa menit kemudian, si Bapak dengan semangat mengobrol panjang lebar dengan pemuda di sebelahnya, bertanya tentang hidupnya; kerja di mana, tinggal di mana, gaji berapa, sekolah di mana dulu. Obrolan itu terasa seperti audit kehidupan.

Aku pun memejamkan mata. Bersyukur telah menjaga jarak dari awal. Tapi begitu aku bangun, si Bapak mulai lagi bertanya kepadaku, bahkan mengenalkanku pada pemuda tadi. Di titik itu aku hanya bisa tersenyum. Malas menanggapi. Hingga akhirnya pemuda itu menebak-nebak statusku, berkomentar bahwa aku pasti sudah punya pasangan, lalu menyarankan agar aku lanjut S2 dan baru dilamar setelah lulus.

Aku mengangguk kecil, tersenyum samar, lalu mengaminkan. Namun dalam hati, aku benar-benar gak nyaman.

Pengalaman ini menyadarkanku akan satu hal penting: bahwa menjaga batas bukanlah sebuah kesalahan. Bahwa tidak semua orang harus tahu tentang aku dan tidak semua obrolan harus aku respons panjang lebar hanya demi sopan santun. Ada perbedaan antara menjadi ramah dan membiarkan batas-batas pribadi dilanggar.

Dulu aku sempat bertanya-tanya, apakah ini yang membua aku terlihat "jutek"? Tapi kini aku merasa: justru ini bentuk dari self-respect. Aku bukan tidak suka berinteraksi. Aku hanya ingin merasa aman dalam obrolan; dilihat sebagai pribadi utuh, bukan sekadar status sosial yang harus diulik, apalagi pada saat pertama kali kenal.

Aku pun belajar satu hal lagi: bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam menjalani perjalanan dan berinteraksi. Tidak perlu memaksakan diri menjadi seperti saudaraku yang hangat dengan siapa saja. Aku bisa tetap menjadi diriku sendiri; hangat dalam konteks yang aku rasa aman dan nyaman.

Ke depannya, aku ingin:

1. Lebih percaya diri untuk menetapkan batas ketika obrolan mulai menyentuh ranah pribadi.

2. Tidak merasa bersalah karena menjaga privasi.

3. Menerima bahwa tidak semua orang akan memahami batas yang aku buat, dan itu tidak apa-apa.

4. Mengenali momen yang tepat untuk membuka diri dan kapan harus cukup dengan senyum dan anggukan.

Perjalanan itu bukan hanya soal jarak yang ditempuh, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga ruang dalam diri sendiri. Tentang bagaimana kita tetap menjadi versi terbaik dari diri kita, tanpa harus mengorbankan kenyamanan hanya demi dinilai "ramah" oleh orang yang tidak kita kenal. 

Kalau kata temanku, dia bilang gini. 

"Coba belajar untuk merasa bahwa kamu itu gak penting buat orang lain. Dari sana kamu akan belajar bahwa kamu gak harus open terhadap siapapun agar kamu bisa diapresiasi. Selain itu, orang akan lebih menghargai kamu karena kamu sulit untuk diakses."

Aku sempat bertanya, "Maksudnya?"

"Coba gak aktifin ponsel kamu, seharian aja."

Aku jawab, "Gak bisa. Nanti pasti ada orang yang menghubungi."

"Nah itu dia, kamu masih merasa penting buat orang lain. Jadi orang lain akhirnya menganggap mereka bisa akses kamu kapan pun, karena kamu sendiri yang mengizinkan itu."

Kalimat itu sempat membuatku diam. Tapi setelah kejadian di kereta, aku mulai mengerti. 

So, menurut kamu gimana?


Cheers,

Solihat

Photo by cottonbro studio



Ternyata konsep hidup begitu ya. Ketika Allah bilang bahwa semuanya ini berpasangan dalam QS  Az-Zariyat ayat 49, maka apapun yang hadir dalam hidupmu pun begitu. Sepaket. Tak pernah setengah-setengah.

 

Sama seperti saat hadirnya kesulitan, maka kemudahan lain tentu hadir juga beriringan. Saat seseorang hadir dalam hidupmu, dia yang membuatmu bahagia, bisa jadi dia juga yang akan membuatmu menangis. Semua yang hadir dengan kadar dan takaran yang telah ditentukan oleh-Nya. Tak ada yang "paling” di dunia ini. Tak ada yang tertukar, karena semua sudah dalam ketetapan-Nya. 


Belajar untuk Bijak dalam Menyikapi

 

Dari sini aku belajar bahwa saat apa pun datang ke dalam hidup, hadapilah dengan bijak. Tak perlu terlalu bahagia, tak perlu terlalu sedih. Walau aku tahu, itu gak mudah sih. 


Makannya ya, dalam Islam kita mengenal kata “Alhamdulillah” dan juga “Innalillahi.” Dua ungkapan yang mengingatkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, bukan semata-mata karena usaha kita. Usaha tetap perlu, tapi hasil akhir tetap milik-Nya.


Saat Standar Dunia Membuat Letih


Aku pernah mengeluh karena di usiaku kini aku belum punya tabungan yang besar (jika melihat standar masyarakat), belum punya pasangan, karir yang mentok gitu-gitu aja. Sampai akhirnya, dititik saat aku sudah lelah dengan segala achievements standar orang lain, aku memilih untuk “menerima” hidupku, jalanku, takdirku, seraya terus berjuang, berusaha, dan berdoa. Tak hanya menerima, aku pun belajar untuk selalu merasa “cukup” atas apa yang sudah Allah kasih. Alih-alih menyalahkan diri dan keadaan karena merasa diri tidak cukup kompeten, atau menyalahkan diri karena keputusan-keputusan yang pernah diambil, aku memilih untuk bersyukur setiap kali hari usai dan terus memupuk diri untuk berkata,

 

“Ya Allah, alhamdulillah, terima kasih untuk hari ini aku bisa makan…. Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan seizinmu, diberi lingkungan kerja yang baik, teman-teman yang support dan selalu mengingatkan untuk tetap berada dalam jalan yang Allah ridhoi.”

 

Bentuk Lain dari Rezeki


Hingga akhirnya, satu persatu semua itu terjawab. Saat yang kufikir masa depanku akan hancur dan berantakan, rupanya Allah dengan baik memberiku teman-teman yang sangat baik, yang mau mendukung dan juga membantu untuk urusan hal-hal yang bersifat administrative saat aku akan melamar pengalaman lain di luar sana. 

 

Kini aku sadar, rezeki bukan hanya tentang uang, gaji yang kamu dapatkan. Bukan.

Rezeki juga adalah teman yang baik, lingkungan yang mendukung dalam hal kebaikan, hati yang tenang, dan keimanan yang terus tumbuh. Rezeki adalah ketika ada orang yang dengan tulis mengingatkanmu pada akhirat bahkan ketika kamu sendiri hampir lupa.


Kalau boleh memilih tentu, inginnya ya gaji berlipat dengan lingkungan yang selalu mengingatkan akhirat juga. Tapi lagi-lagi, hidup adalah pilihan.  Pilihan mana yang kekurangannya bisa kamu terima?

 

Husnudzan dan Ikhlas Menerima Takdir


Banyak hal baik yang datang saat kamu memilih untuk husnudzan kepada Allah, ikhlas menerima takdirmu, dan memilih untuk tidak menyerah. Mungkin jalannya tidak mudah, tapi bukanlah semua itu bagian dari cara-Nya menguatkan kita?

 

Ya Allah, aku tahu imanku lemah. Maka kuatkan imanku untuk terus percaya dan yakin kepada-Mu di kala susah maupun senang. Menerima dan terus yakin bahwa ketetapan-Mu atas apa yang telah aku usahakan adalah bentuk perlindungan-Mu dan juga kasih saying-Mu padauk agar aku tetap dekat dengan-Mu bukan malah menjauh dari-Mu. Bimbing aku untuk terus menebari kebermanfaat pada sekitar dan terus ajari untuk terus memilihku dan menempatkanmu diurutan pertama setiap kali akan memilih suatu urusan.


Ajari aku untuk terus bersemangat dan bahagia berbicara dengan-Mu di sepertiga malam.  Karena sungguh, tanpa-Mu, aku lemah dan tak berdaya. 

 

Terima kasih ya Allah.    


Love,

Solihat                  




x


 

https://www.youtube.com/

Berawal dari nonton video YouTube Kak Wego Mustika yang berjudul "Anak Indonesia Udah Paham Cara Main ORANG DALAM", uneg-uneg yang sudah lama kupendam dalam hati akhirnya muncul juga kepermukaan. Rasanya relate sekali, karena aku pernah menjadi salah satu korban dari sistem yang tidak adil - sistem yang menilai bukan dari kemampuan, tapi dari "siapa orang tuamu."  

Masih teringat jelas, saat itu usiaku baru 6 tahun. Aku mendaftar ke SD negeri favorit pada zaman itu. Ketika tes masuk, aku menjawab dengan baik dan lancar, tapi tidak ada apresiasi sedikit pun dari guru penguji. Sebaliknya, anak lain yang jawabannya keliru malah mendapatkan pujian. 

Setelah test itu selesai, tak lama pengumuman hasil tes keluar - dan namaku tidak ada di daftar siswa yang diterima. Padahal selama TK aku selalu mendapati peringkat satu. Banyak yang mempertanyakan keputusan itu, sampai akhirnya beredar isu bahwa aku kalah karena pekerjaan Bapak hanya serabutan, sementara ayahnya itu adalah seorang pengacara.

Bapak tentu kecewa. Aku masih ingat sampai saat ini bagaimana raut wajahnya saat namaku tak ada di dalam daftar siswa yang diterima. Apalagi dengan isu tersebut, aku tidak tahu bagaimana isi hatinya. Sambil marah, Bapak langsung menarik tanganku dan mengajakku pulang menggunakan sepeda. Aku hanya diam sepanjang jalan, tak berani bertanya apapun kepada Bapak. Bapak cukup emosi begitu menyampaikan hal ini kepada Ua (Kakaknya Bapak). Sementara itu, Ua memberikan rekomendasi agar aku didaftarkan ke sekolah favorit lain yang letaknya di tengah kota. Sayang seribu sayang, pendaftaran di sekolah tersebut sudah berakhir. 

Mau tidak mau, aku harus mendaftar ke sekolah rekomendasi yang diberikan oleh sekolah yang aku daftar sebelumnya. Rekomendasinya adalah aku harus pindah ke SD tetangganya, yang zaman dulu masih lekat dengan kata sekolah buangan. Bapak sebenarnya tak terima dengan keputusan itu, tapi kami tidak punya pilihan lain. Selama enam tahun di sana, aku menjadi siswa berprestasi. Bahkan kepala sekolah kami (almarhum) pernah berkata di depan para orang tua siswa:

“Di sekolah kita ini ada satu siswa yang dulu tidak keterima di sekolah tertentu, tapi di sini dia berprestasi. Bagaimana bisa tidak sampai keterima? Mungkin rezekinya di sini bukan di sana.”

Kini aku berdiri di sisi yang berbeda - sebagai seorang guru. Dan apa yang dulu aku alami sebagai anak kecil, sekarang aku melihat terjadi lagi, bahkan dengan bentuk yang lebih kompleks. Dan ini bukan hanya terjadi padaku saja, aku yakin ini banyak terjadi pada guru-guru di Indonesia. 

Seperti yang disampaikan oleh Kak Wego dalam videonya tersebut. Let's say, praktik "dongkrak nilai" seolah menjadi hal yang lumrah. Ketika masa pengisian rapor tiba, sering kali muncul tekanan untuk menaikkan nilai siswa yang sebetulnya belum layak.  Perasaan tidak rela, stress, dan dilema moral menjadi teman setia saat mengisi angka-angka itu. 

Sebagai sesama guru, aku yakin siswa-siswa sudah faham dengan praktik ini. Mungkin inilah yang membuat daya juang siswa berkurang. Mereka merasa bahwa, "Ah nanti juga nilainya akan dinaikkan oleh guru." Belum lagi perkara mengubah alamat rumah. Ada beberapa orang tua yang rela mengubah alamat rumah mereka di dokumen demi anaknya bisa diterima di sekolah incarannya. Setelah disidak, ternyata itu adalah pemalsuan dokumen. Kita sering mengeluh soal korupsi di negeri ini, tapi benih-benihnya justru ditanam sejak kecil - dengan cara membenarkan kebohongan kecil dan menghalalkan jalan pintas. 


https://www.tempo.co/

https://news.detik.com/


Belum lagi hal yang ku alami sendiri. Perkara "kendaraan bermotor", ada orang tua yang sudah mengizinkan anaknya mengendari motor meskipun SIM saja belum punya. Jangankan SIM, usia saja belum mencukupi. Bilangnya hanya diizinkan sekitaran komplek rumah, tahu-tahunya sudah dibawa ke jalan raya besar.


Selain itu, ada juga masalah di mana pendidikan sering kali diserahkan sepenuhnya ke sekolah.  Ketika sekolah mencoba mengingatkan dan bekerja sama dengan orang tua, justru pihak sekolah yang disalahkan:


"Saya kan udah bayar mahal-mahal."

"Masa perkara rambut, bolos masuk kelas dibilang masalah besar?"  

 

Lalu bagaimana dengan etika? Budi pekerti? Sikap menghormati kepada guru?

Rasanya, pendidikan karakter seperti bisa dibeli. Anak dimasukkan ke sekolah atau pesantren dengan harapan patuh aturan, bisa menutup aurat dengan rapi, dan sopan santun. Tapi di rumah? Tidak ada keteladanan. Dulu pernah punya santri di pondok yang sering sekali kena teguran bidang bahasa lantaran bahasanya yang kasar. Saat pemanggilan, ternyata di rumahnya orang tuanya juga ngobrolnya sudah biasa menggunakan bahasa kasar. 

Menurut Hairuddin (2014), keluarga merupakan lingkungan yang pertama sekali ditemui oleh anak dalam kehidupannya, dengan demikian lingungan keluarga mempunyai peranan penting dalam rangka memberikan dasar-dasar pendidikan kepada anak yang nantinya akan menentukan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa yang akan datang.  Oleh karena itu, pendidikan seharusnya tidak hanya diserahkan kepada sekolah, tetapi harus dimulai dan diperkuat dari rumah. Orang tua adalah pendidik pertama yang memberikan nilai-nilai dasar, seperti kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab yang akan membentuk karakter anak untuk masa depan yang lebih baik. 

Aku selalu ingat nasihat orang tua lewat lagu sunda "Jang - Oon B," yang liriknya mengajarkan kejujuran, kesabaran, dan pentingnya menjadi manusia baik yang taat pada agama. Nilai-nilai itu yang terus aku pegang sampai sekarang.


Sing pinter tur bener  

Sing jujur tong bohong 

Ulah nganyerikeun batur

Ngarah hirup loba dulur


Tulisan ini aku buat juga sebagai reminder untuk diriku sendiri-untuk masa ketika aku menjadi orang tua nanti.

Bahwa aku tak perlu menghalalkan segala cara hanya demi mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang-orang. Aku tak perlu menempuh jalan pintas hanya agar anakku kelak terlihat hebat di mata orang lain. Jangan sampai, demi ambisi pribadi, aku malah menzalimi anak orang lain yang lebih layak. 

"Celakalah orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Namun apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)

Bapak, aku tidak pernah marah atau kesal lantaran karena pekerjaanmu dulu membuatku tidak bisa lolos masuk ke sekolah favorit. Aku justru bersyukur dan berterima kasih, karena melalui hal tersebut Allah telah mengajarkan aku untuk hidup jujur. Terima kasih telah memilih jujur pada saat pendaftaran sekolah-sekolah selanjutnya. Terima kasih karena selalu mengajarkan aku untuk hidup jujur dan berjuang keras. Kalaupun gagal, yakinlah bahwa Allah sudah menetapkan rencana yang lebih baik daripada memaksakan diri dengan cara-cara yang tak diridhai Allah. Karena sejatinya hidup bukan hanya tentang "pencapaian," tetapi juga keberkahan, agar dalam menjalaninya Allah berikan ketenangan dan kemudahan dalam setiap menghadapi tantangan. 

Menjadi guru adalah perjalanan penuh suka dan duka. Tapi yang lebih penting dari segalanya adalah ketulusan dan integritas. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat untuk kita semua -  guru, orang tua, bahkan siswa - bahwa masa depan bangsa tidak hanya dibangun lewat kurikulum, tetapi lewat contoh nyata dari rumah, sekolah, dan lingkungan. 

Sebelum tulisan ini ditutup, aku mau mengucapkan terima kasih kepada Kak Wegi yang sudah menyampaikan keresahan-keresahan ini dalam videonya. Ditunggu video-video selanjutnya Kak! Selain itu, terima kasih juga untuk Bu Nita, guru Bahasa Sunda di sekolah yang minggu lalu sudah mengajarkan lagu ini kepada para siswa. Tiba-tiba jadi teringat serial Manifest: everything is connected. 

Apakah teman-teman semua pernah mengalami atau melihat hal serupa?

Boleh banget share ceritanya di kolom komentar ya. Kita saling belajar dan tumbuh bersama.  

 Sumber: 

Hairuddin. (2014). Pendidikan Itu Berawal Dari Rumah. Jurnal Irfani.10(1). http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ir


Photo by Beyzaa Yurtkuran

Sebenarnya banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu. Terutama perkara mengapa kamu sering kali mengakhiri pembicaraan secara sepihak, atau dengan tegas menyatakan bahwa kamu hanya ingin berteman saja denganku. Padahal, beberapa kali, apa yang kamu lakukan padaku jelas tidak mencermikan hubungan pertemanan semata. 

Berkali-kali aku meminta waktu untuk menyendiri, namun itu tak pernah berhasil. Selalu saja ada momen di mana kita kembali terhubung. Walau aku tahu, semua ini hanya akan kembali menyakitiku karena sedari awal sudah jelas kamu tak pernah menginginkan hubungan ini lebih dari hanya sekedar teman. Namun lagi-lagi, aku mengabaikan. Aku abaikan semuanya  hanya demi sebuah ketenangan sesaat. Di sisi lain, aku tahu hatiku selalu berharap - semoga perasaanmu bisa berubah. 

Itu bisikku.

Nyatanya? Perlahan, kamu sepertinya sadar  bahwa perasaanku tak pernah berubah dan justru kamu kini yang mulai berubah. Dimulai dari tak seantusias seperti biasanya setiap kali kita berkomunikasi. Dan untuk terakhir kalinya, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk bertanya sekali lagi padamu; padahal yang aku ajukan hanya sebatas teman. Namun seperi biasa,  kamu dengan tegas menyatakan bahwa kamu hanya menginginkan pertemanan dan langsung menutup diri. Setelah aku menjelaskan bahwa maksudku memang sebagai teman, kamu  membuka diri seperti biasa. Tapi saat itu, aku sudah muak. Aku tahu,  bahkan teman-temanku saja yang sibuk sekalipun tak pernah mengabaikanku begitu saja. 

Dari sana aku merasa kamu selalu menutup diri dan takut akan sebuah hubungan. Maka dengan keyakinan dan keberanian, malam itu aku mengakhiri percakapan kita. Dan aku lebih berani lagi agar tak terjatuh ke lubang yang sama yaitu dengan memutuskan hal-hal yang bisa menghubungkan aku denganmu lagi. 

Aku tahu rasanya sangat tidak nyaman. Aku ingin menangis, namun di sisi lain, bagian dari diriku berkata, "Untuk apa kamu menangis? Bukankah hal ini lebih baik bagimu agar kamu bisa mencintai dirimu sendiri seutuhnya? Tanpa bergantung pada validasi orang lain?" Sudah saatnya aku mandiri. Aku tak perlu lagi bergantung pada orang yang bahkan menghargai keberadaanku saja tak pernah. 

Kadang, aku kembali bertanya kepada diriku sendiri. Apakah aku benar-benar mencintaimu? Ataukah karena bayangan dirimu yang aku bentuk sendiri dalam pikiranku? Atau karena selama ini,  kehadiranmu dalam hidupku, caramu memperlakukan - mirip dengan apa yang aku harapkan selama ini. Entahlah.

Aku ingin menangisimu, tapi aku tak bisa. Aku tahu aku sangat merindukanmu, tapi hati kecilku menolak. Mungkin dari perkenalan denganmu ini, aku jadi banyak belajar. Aku tak bisa memperjuangkan seseorang yang dia sendiri tidak ingin diperjuangkan - apalagi memperjuangkanku. Ternyata, untuk bisa sampai ke jenjang yang lebih serius, tak semudah itu. Dibutuhkan dua orang yang sama-sama memperjuangkan, sama-sama belajar, dan sama-sama menerima. 

Belum lagi soal bagaimana sebaiknya tidak terlalu jauh terlibat dalam percakapan dengan lawan jenis, apalagi dari awal tidak ada niat seirus. Karena dari kebiasaan itulah, perasaan justru tumbuh tanpa rencana.

Jika aku diberi kesempatan untuk bisa berbicara lagi denganmu, aku cuma mau bilang: Jika suatu hari nanti ada seseorang yang menyampaikan niat tulusnya padamu, tolaklah dengan halus sebagaimana yang sudah kamu lakukan padaku. Namun setelah itu, konsistenlah untuk benar-benar pergi menjauh. Jangan kembali menyapa, menunjukkan perhatian, atau seolah peduli. Beri waktu agar orang itu bisa pulih sendiri. 

Terima kasih karena sudah pernah hadir dalam hidupku. Terima kasih telah membantu dan menemani masa-masa sulit dalam hidupku. Terima kasih atas waktu yang pernah kamu luangkan, walau kini aku memilih untuk mengakhirinya karena aku tak ingin jatuh terlalu dalam.

Tak perlu disesali. Aku benar-benar bersyukur atas kehadiranmu. Dan kepada diri sendiri, aku hanya ingin menyampaikan: Terima kasih telah memilih dirimu sendiri, ketimbang bertahan dalam ketenangan sesaat. Terima kasih telah bearni mengakhiri dan memilih untuk  menjadi mandiri. 

Setelah ini, aku yakin aku akan lebih kuat dan tak mudah goyah jika diberi perlakuan yang sama seperti yang pernah kamu lakukan padaku. 

Fokuslah kembali pada mimpi-mimpimu. Jika kelak datang seseorang yang sejak awal saja sudah tidak menunjukkan niat baik, katakan dengan tegas bahwa hidupmu terlalu berharga untuk dihabiskan pada hal-hal yang tidak serius. 

Prioritaskan dirimu sendiri. Masih banyak hal luar biasa di luar sana yang sedang menantimu. 

Peluk diri erat. Terima kasih sudah lebih dewasa dalam menghadapi hal-hal yang penuh dengan ketidakpastian ini :')


Cheers,

Ihat

Photo by RDNE Stock project


Selamat berlebaran untuk teman-teman semua yang merayakan! Tak ada yang lebih membahagiakan dari lebaran tahun ini selain diberi kesempatan berkumpul dengan keluarga tercinta. Alhamdulillah, Allah masih memberikan nikmat ini dengan kondisi anggota keluarga yang masih utuh. 

Seperti biasa, selepas salat Ied, kami akan berkumpul di ruang tengah lalu saling memohon maaf. Mungkin karena merantau, aku merasa dosaku sangat sedikit kepada orang tua, hehee. Berbeda saat aku masih tinggal di rumah, rasanya dosaku menggunung setiap kali Idulfitri datang. Sayangnya, selama liburan menjelang lebaran ini aku harus jatuh sakit. Tapi ada satu kalimat yang menghangatkan hatiku - saat Mamah memelukku dan berkata;

"Jangan sakit aja ya. Yang kuat, harus semangat!" 

Aku hanya mengangguk pelan. 

Setelah selesai bermaaf-maafan di rumah, kami pun pergi ke rumah saudara. Duduk melingkar di ruang tamu dengan kue yang berjajar rapi di meja. Setelah saling memaafkan, seperti biasa, obrolan pun mengalir. Dan kali ini, topik hangatnya adalah soal menjadi ASN. Berhubung adikku lolos CPNS, seluruh keluarga langsung antusias bertanya ini-itu, seolah dengan menjadi CPNS, kamu tidak perlu lagi merisaukan soal rezeki.

Lucu sih, ternyata status pekerjaan tertentu masih dianggap puncak keberhasilan dalam pertemuan keluarga. Seolah pencapaian hidup hanya valid jika ada embel-embel gelar, status, atau jabatan. 

Di tengah keramaian itu, diam-diam aku memperhatikan wajah kedua orang tuaku. Mereka tak pernah menuntutku untuk menjadi ini-itu. Tak pernah memaksa ataupun membandingkan. Mereka bahkan selalu mendukung apapun pilihanku, asalkan aku bertanggungjawab. Begitupun dengan adikku. Dia tidak merasa lebih tinggi dariku. Dia masih menghormatiku, bahkan tak pernah sedikit pun memintaku untuk mengikuti jejak keberhasilannya. 

Lalu giliran aku yang ditanya. Semua hanya terdiam, tak banyak lagi bertanya saat aku bilang bahwa aku akan resign dari pekerjaanku saat ini. Aku tahu, ada beberapa mata yang  menyayangkan keputusanku. Tapi aku tak membutuhkan validasi itu. Aku hanya ingin mendengar diriku sendiri. Karena hanya aku yang merasakan, hanya aku yang memperjuangkan, bukan mereka. 

Malam pun tiba. Aku, Mamah dan adikku yang bungsu pergi keluar rumah, sekedar mencari angin. Aku berkata kepada Mamah bahwa obrolan di rumah saudara tadi terasa sekali: kamu akan lebih dihargai jika kamu memiliki pencapaian. Lalu Mamah bilang begini,

"Jangan iri dengan pencapaian adikmu."

"Aku gak iri, Mah. Cuma... beda saja perlakuannya. Aku justru bersyukur dia bisa lolos CPNS di usia muda. Dia punya tanggungjawab yang lebih besar dari aku. Dia akan jadi suami yang harus menafkahi istri dan anak-anaknya kelak."

"Iya. Adikmu juga pernah bilang, katanya kasian kalau lihat Teteh. Hidup dan pekerjaannya harus terus berjuang keras. Makannya, adikmu nggak sampai hati bilang dia lulus CPNS ke kamu."

Aku terdiam. Rasanya menyesak di dada. Aku berpikir, jika aku yang mendapatkan kesempatan itu, mungkin aku akan bilang kepada adikku dan memintanya untuk mengikuti jejakku. Biasanya seperti itu, bukan? Jika anak pertama berhasil, maka orang tua akan berharap adik-adiknya mengikuti jejak kakaknya. Tapi aku bersyukur, itu bukan aku. Aku bersyukur itu adikku yang mendapatkannya. Sehingga, orang tuaku pun sadar bahwa meskipun satu keturunan, perkara rezeki tidak bisa dipukul sama rata. 

"Inshallah, nanti juga kamu akan bertemu dengan kesuksesanmu sendiri. Mamah titip, jangan menyerah. Dan juga jangan terlalu banyak dipikirkan. Jalanin saja."

Aku hanya mengangguk sambil menahan air mata. Kini aku benar-benar merasa bahwa, ya, ini adalah rumah - tempat di mana kamu bisa kembali tanpa harus memiliki pencapaian apapun; tempat di mana kamu merasa bahwa cinta tak bersyarat itu nyata adanya.

Aku tak bisa memejamkan mata malam itu. Pikiranku kembali berisik. Lebaran kali ini  mengajariku banyak hal. Entah bagaimana awalnya, aku malah menuliskan kalimat panjang kali lebar kepada temanku. Walau aku tahu, dia pasti sibuk dan akan lama membalasnya. Namun ternyata tak butuh waktu lama begitu pesan itu terkirim, dia langsung membalasnya.

Do you feel uncomfortable with your life now?

Aku berfikir sejenak walau dalam hati aku sudah berteriak; Yessss!

YESS!

What makes you happy? Experience or money?

Aku berpikir lebih lama lagi. Tentu uang, uang! Kenapa? Karena uang bisa membeli apa pun yang aku mau dan bisa memperlihatkan kepada mereka bahwa aku mampu dan berhasil! Dalam hati aku berteriak seperti itu.  

Resah lebih tepatnya. Tapi aku gak mau menuhin ekspektasi orang karena itu bukan mau aku.

That's the answer. Kamu masih malu dengan pilihan yang kamu jalani. It is normal. I felt that too for long time. Makanya tadi aku nanya money atau experiences. Money itu buat bungkam mereka. Experiences itu buat bikin mereka gak nyaman juga dengan yang mereka pilih. Sejatinya mereka make sure aja kalau posisi mereka tuh aman dalam tatanan keluarga.

Aku hanya terdiam sembari menunggu dia menyelesaikan kalimat berikutnya. 

See. Dunia tuh beputar. Gak ada satupun hal yang menjadi jaminan hidup enak. Mereka yang haha hihii hari ini bisa saja seminggu ke depan kena musibah. Bagi Allah mah ya membolak-balikan keuangan atau posisi seorang itu semudah menjatuhkan daun dari ranting pohonnya. Dan mudah juga bagi Allah menerbangkan daun ke langit-langit dengan tiupan angin dalam sekejap. 

Aku kembali hanya menatap layar handphone, tak mampu membalas. 

Dari kata warzukni aja harusnya yakin kalau rezeki kita udah tertakar sih.

Aku hanya mengirim emoticon menangis, membiarkan dia mengirimiku dengan pesan-pesannya.

Nah proses dalam hidup inilah yang kita lalui akan menentukan kita akan menjadi seperti apa. Makannya aku tadi mention experiences. Karena dipertemukan dengan orang-orang baik itu sebuah privilege yang nyata. 

Kalau kata profesorku: kebaikan-kebaikan yang kita lakukan akan kembali di saat yang tepat. 

Dua profesorku selalu bilang, "you deserve it." Dan yap, kita butuh waktu sampai kita "pantas" mendapatkannya. 

Semoga ceramah ini bisa sedikit menenangkan :D 

Air mataku tumpah tak tertahankan. Aku membiarkan pesan itu terbuka, sampai akhirnya aku menepuk-nepuk pundakku sendiri. Sambil berbisik pelan:

Tak ada yang perlu disesali. Kamu saat ini adalah bentuk dari pengalaman-penglaman yang sudah kamu lalui. Tak perlu merasa kecil. Ingat keluargamu bahkan adikmu sendiri tak pernah membandingkanmu, kan? Jangan terusik oleh obrolan orang lain yang bisa merusak tenangnya air dalam lautan. 

Rupanya, pertanyaan lebaran tak berhenti sampai di sana. Pertanyaan lain pun datang. 

"Sama orang mana sekarang?"

"Wah sudah punya calon ya?"

Aku hanya bisa tersenyum seraya berkata, "Doakan saja."

Aku masih sendiri. Belum ada pasangan yang bisa aku ajak pulang dan dikenalkan kepada keluarga. Tapi anehnya, aku tak merasa kosong. Masih ada hal yang bisa aku syukuri. Aku masih memiliki Bapak dan Mamah yang sehat, adik-adik yang kadang menyebalkan tapi  selalu membantu, keluarga yang utuh dan tawa hangat yang mengisi ruang-ruang rumah kecil ini. 

Meski begitu, jujur sih. Ada sedikit ruang di hati yang merindukan sosok untuk aku bisa berbagi. Bukan karena tekanan lingkungan ataupun usia yang sudah semakin dewasa, tapi karena aku tahu betapa indahnya memiliki seseorang yang bisa diajak tumbuh dan pulang bersama. 

Namun untuk saat ini, aku memilih untuk menikmati kebersamaan bersama Bapak dan Mamah dulu. Merekam sebanyak mungkin tawa dan cerita, sebelum waktu memisahkan kami semua. Karena siapa tahu, tahun depan, susunannya bisa berbeda. 

Dan aku... Aku tetap berdoa. Semoga ketika waktunya tiba, aku bisa memperkenalkan seseorang yang juga tahu rasanya pulang. Bukan hanya ke rumah.. tetapi pulang kepada hati yang tak pernah menuntut untuk menjadi siapa-siapa, atau meraih apa-apa; cukup menjadi dirinya sendiri.  


Love,

Ihat

Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

You are looking for...

  • ▼  2025 (25)
    • ▼  July (2)
      • Refleksi Catatan 20: Lingkungan Baru dan Perasaan ...
      • Refleksi Catatan 19: I'm Still His Little Girl
    • ►  June (3)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Thank You!

Friends

Get new posts by email:
Powered by follow.it

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Follow Me On Instagram

Translate

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template