Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me

Photo by Anna Tarazevich

Akhir-akhir ini, gak tahu kenapa banyak banget hal yang mengajarkan aku tentang rezeki.

Pertama, minggu-minggu kemarin aku lagi baca buku Do It Today karya Darius Foroux. Ada satu bagian di bab-bab awal yang menampar aku:

Apakah saya mencintai pekerjaan saya?

Kemudian disusul dengan kalimat yang bikin aku mikir keras:

Kebiasaan menunda bisa jadi merupakan suatu pertanda bahwa Anda melakukan hal yang tidak berarti. Jangan biarkan menunda-nunda kebiasaan. Apalagi, penundaan yang paling buruk adalah menunda mimpi dan target Anda.

Dari situ, aku mulai sadar. Jangan-jangan rasa malas, jenuh dan penundaan yang sering aku alami akhir-akhir ini bukan hanya soal manajemen waktu, tapi juga karena aku gak sepenuh hati dengan apa yang sedang aku jalani. 

Kedua, waktu aku pulang dari kelas English Volunteers, seperti biasa aku naik ojek online. Di perjalanan, drivernya cerita kalau dia habis kena tipu sama customer. Beliau habis mengantar makanan ke sebuah hotel, udah nunggu lama - sekitar satu jam, tapi si customer gak muncul dan gak bisa dihubungi. Akhirnya, makanan itu beliau titipkan di lobi dan beliau juga ambil foto dulu. Beliau lanjut ambil orderan lain karena gak bisa lama-lama. Pas balik lagi, makanannya udah diambil, tapi malah dilaporkan kalau si makanannya itu gak nyampe. Dan pada saat itu, memang aplikasi juga lagi error. Parahnya lagi, si customer ini bayarnya pake cash. Bapak itu rugi 250 ribu. Beliau bilang:

Sudahlah saya kena tipu, istri saya sedang sakit. Jam segini saya masih di jalan nyari orderan supaya bisa bawa uang 50 ribu. Soalnya masih kurang buat hari ini. Tapi gimana ya, namanya  juga hidup. Penuh dengan ujian. Saya juga gak bisa cerita ke istri saya tentang susahnya saya di jalan. Kasihan nanti malah nambah fikiran.

Sempat ingin bilang,

Kenapa Bapak gak berbagi cerita aja? Kan suami-istri harusnya saling berbagi suka dan duka?

Namun pertanyaan itu aku tahan dan hanya terucap dalam hati saja. Mungkin karena aku belum merasakan kehidupan berumah tangga, masih sebatas menerka-nerka dari luar.  Sampai akhirnya aku memilih untuk menceritakan semua ini kepada temanku. Mencari ruang untuk memproses apa yang baru saja aku dengar dan rasakan.

Some things should be hidden and never revealed. This man did not want to pass on his suffering to his children and wife and let things go well on their part while he fought and struggled on his own.

Dari hal itu, aku dapat satu pelajaran besar: semua orang punya ujiannya masing-masing. Gak bisa saling mendang-mending. Allah ngasih ujian sesuai kapasitas hamba-Nya. Kadarnya sudah ditakar dan masing-masing punya beban yang gak selalu kelihatan. 

Ketiga, minggu-minggu ini juga aku banyak ngeluh sama orang tuaku. Tentang hidup yang rasanya semakin berat. Biaya hidup naik, gaji pas-pasan, kerja dari pagi banget sampe sore. Sampai aku mikir, kerja apalagi biar bisa kaya? Semua orang kan punya waktu yang sama: 24 jam. Tapi kenapa ada yang bisa saving, ada juga yang cuma bisa buat bertahan hidup?

Pengen nangis? Iya

Capek? Iya banget.

Pengen berkarya sepulang kerja? Energinya udah habis.

Kadang ngerasa stuck. Tapi di tengah-tengah kelelahan itu, tiba-tiba Allah bicara lewat firman-Nya...

Keempat,  ayat-ayat Qur'an ini yang gak sengaja aku baca dan emang ini adalah hanca aku baca serasa kayak lagi meluk aku dengan hangat di tengah dinginnya realita:

"Katakanlah: Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasi bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan apa yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya. Dan Dia-lah Pemberi Rezeki yang terbaik." (QS. Saba: 39)

"Wahai manusia! Ingatlah akan nikmat Allah kepadaku. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?" (QS. Fatir: 3)

Aku beristighfar, selama ini aku selalu merasa bahwa rezeki itu hadir karena usahaku sendiri. Tapi aku lupa, usaha itu hanya sebab. Hasil tetap karena izin Allah. 

Kelima, beberapa hari lalu. Dapet drivernya yang cerita lagi. Dia kerja sebagai driver dari selepas subuh sampai jam 8 pagi, lalu lanjut kerja kantoran. Pulang kantor jam 5 sore, beliau lanjut lagi ngegojek. Aku tanya, "Emang gak capek, Pak?"

Beliau jawab:

Capek banget, Teh. Tapi ya gimana, kebutuhan banyak. Anak saya dua, ada kontrakan, listrik, popok. Habis semua buat kebutuhan.

Dan di situ aku sadar, bukan cuma aku yang merasa hidupnya cuma buat bertahan. Di luar sana, banyak orang kerja juga siang malam bukan untuk gaya hidup, tapi untuk bisa hidup.

Aku teringat obrolan aku waktu di kelas English Volunteers, aku sempat bilang,

In Indonesia, if you wanna be rich, be an early bird and also night owl.

Seketika tertawa getir. Tapi ya itulah kenyataannya.

Semua ini benar-benar bikin aku sadar satu hal: aku harus putar otak.

Gak bisa cuma ngeluh, harus cari celah. Usaha lebih giat, doa lebih sungguh, salat lima waktu dijaga, tahajud, duha, sedekah. 

Karena kalau memang rezeki itu urusan Allah, maka mendekatlah kepada-Nya adalah usaha yang tak pernah sia-sia. 


Cheers,

Solihat

Photo by Towfiqu barbhuiya


Sebenarnya kalau harus mengikuti timeline pada umumnya saya terbilang telat. Harusnya di usia 23 tahun ini saya sudah dapat yang lain dibandingkan apa yang telah saya raih saat ini. Tapi hidup bukan soal membandingkan bukan? Karena setiap kita terlahir dengan taqdir yang berbeda. I'm so grateful for everything I've achieved. Alhamdulillah!

Pencapaian tertinggi saya di usia 23 tahun ini adalah alhamdulillah saya bisa menyelesaikan pendidikan S1. Although, molor satu semester karena kerjaan ditambah pandemi yang membuat saya tidak bisa ke mana-mana saat itu. Data yang saya kumpulkan salah tidak nyambung. Argh pokoknya banyak sekali penghambatnya saat saya menyelesaikan tugas akhir saya itu. Saya sempat putus asa dan memilih untuk tidak melanjutkannya, tapi setelah melihat lagi keuangan yang sudah dibayarkan sejak semester satu rasanya tidak sebanding. Sangat disayangkan kalau saya berhenti di detik-detik terakhir. Selama ini saya kerja buat apa? Buat kuliah juga kan? Itu motivasi saya sehingga alhamdulillah meski harus nambah satu semester skripsi saya kelar meski nilainya enggak cumlaude.

Bisa merasakan bangku kuliah bagi saya adalah sesuatu hal yang mewah. Meski di PTS, mengambil kelas karyawan, ke kampus hanya untuk belajar saja tidak mengikuti organisasi kampus atau UKM kampus, banyak izinnya lantaran bentrok dengan jadwal kerja. Ya mau gimana lagi. Saya lakoni keduanya selama 4,5 tahun. Sungguh rasanya seperti naik rooler coaster. Besoknya bagian presentasi eh ternyata malah dapat tugas buat dampingi anak-anak kegiatan. Atau pernah harus cuti satu bulan alhasil satu matkul dapat nilai D. Dengan berat hati mau tidak mau saya harus mengambil semester pendek. Belum lagi soal biaya. Lantaran punya jadwal kuliah, konsekuensinya gaji dipotong. Mau tidak mau saya harus pintar-pintar mengatur keuangan, untuk ongkos, bekal ke kampus, belum nabung untuk bayar uang kuliah (saya suka dikumpulin dulu gitu, nanti per tiga bulan sekali dibayarkan ke kampus). Ya saya ambil semua resiko itu demi mewujudkan impian saya untuk bisa kuliah. Pernah suatu hari karena ada kegiatan di tempat kerja sampai malam dan saya bertugas bagian malam mau tidak mau saya begadang. Tidur cuma dua jam habis sholat shubuh langsung pergi ke kampus. Sampai-sampai ke kampus karena ternyata dosennya berhalangan masuk saya sempatkan untuk tidur. Karena masih ada kelas lagi full sampai sore bahkan pernah sampai maghrib.

Makanya saya suka sedih kalau ada Mahasiswa kuliahnya asal-asalan, jarang masuk, ikut kegiatan atau magang enggak, apalagi kerja. Duit udah ada dari orang tua. Coba direnungkan lagi ya. Masih banyak orang diluaran sana yang terpaksa mengubur mimpinya untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi karena keterbatasan biaya.

Where there is a will there is a way. Kata-kata ini yang akhirnya menjadi motivasi saya selama saya kuliah.


Photo by Leeloo The First

Tanya sekali lagi pada hatimu

Atas mimpi-mimpi yang selama ini didamba
Sudah jelaskah arahnya?
Sudah jelaskah niatnya?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Atas pilihan-pilihan yang telah kau buat
Sudah sesuaikah dengan keinginanmu selama ini?
Atau hanya karena mulut-mulut tetangga yang membuatmu ingin membungkamnnya?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Atas kisah-kisah mereka yang masih saja kau pelihara
Haruskah tetap dinyalakan bara apinya?
Atau dipadamkan saja dan biarkan semuanya berlalu?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Jika kamu masih ragu
Jika niatmu hanya sekedar sebagai ajang pembuktian
Bagaimanapun juga hidup ini adalah milikmu
Bukan milik orang lain


by: Ihat Azmi

Photo by Jess Bailey Designs


Saya termasuk yang masih awam ya untuk dunia blogging apalagi self-hosted. Satu tahun kemarin saya memutuskan untuk menggunakan nama domain sendiri dan waktu itu saya pilih providernya yang sedang memberikan promo free domain. Ya udah akhirnya saya beli karena harganya gak mahal-mahal amat kok dan waktu itu dapet e-mail kalau perpanjangannya nanti kena biaya sebesar Rp. 308.000,-. Ah masih lama, setahun ini kok. Batin saya.

Setahun ternyata berlalu begitu cepat dan saya selama ini tidak menyisihkan uang untuk pembayaran perpanjangan sewa hosting tersebut. Barulah mendekati bulan-bulan terakhir beberapa e-mail mengenai masa aktif hosting dan domain saya masuk dari provider. Tapi saya abaikan toh saya cuma harus bayar Rp. 308.000,-. Nah memasuki bulan terakhir masa aktif saya baru cek akun saya. Pas dilihat dinotifikasinya teryata ada yang harus bayar yaitu perpanjangan domain dengan harganya itu setengah dari harga sewa hosting. Kaget lah ya, kok bisa jadi murah ya? Kan asalnya tiga ratus delapan ribu? Saya kontak aja CS nya dan alhamdulillah respon CS nya cepet banget.  Ya sudah saya langsung transfer aja dong gak mikir panjang lagi. Lumayan sisa duitnya buat beli skincare. Batin saya. Hanya saya pas saya cek lagi di akun saya ternyata yang Rp. 308.000,- itu masih ada dan akan jatuh tempo pada akhir bulan ini. Bingung lah saya. Terus tadi bayar apa dong?

Iya Kak, yang tadi itu bayar perpanjangan domainnya. Untuk hostingnya belum.

Alamak! Lemes saya mendapat balasan dari si CS nya begitu. Panik lha saya. Uang yang sudah dijatah buat pembayaran blog ternyata minus! Kemudian saya tanya ke grup komunitas blog, 1m1c dari sanalah saya baru faham kalau bikin blog dengan self-hosted bayarnya ya begitu. Ya bayar domainnya bayar juga hostingnya. Kecuali yang pas diawal beli domainnya gratis seumur hidup. Pas saya hitung-hitung ternyata pengeluaran saya untuk bayar perpanjangan domain dan hosting mencapai Rp. 507.000,- hikss :’(.

Tak lama saya mendapatkan info untuk dicoba pindah paket hostingnya saja, jadi di downgrade gitu namanya. Sebelum saya melakukan downgrade itu saya kembali melihat paket-paketan yang telah tersedia dan saya menemukan yang paling murah. Untungnya lagi saya gak buru-buru nge-downgrade. Saya kembali lagi bertanya-tanya ke CS nya dan alhasil ribet juga ternyata. Lantaran disk space hostingnya kecil dan disk space hostingan saya sebelumnya sudah mencapai dari yang paket lebih murah itu. Habis itu saya tanya lagi untuk harganya berapa dan ternyata harganya tidak jauh berbeda. Baiklah¸ actually dengan berat hati akhirnya saya bayar aja sesuai dengan tagihan awal.

From my experience, I highlighted some points:

  • Jika kamu memutuskan untuk membuat blog dengan self-hosted  berarti mau tidak mau kamu harus belajar tentang dunia per-bloggan. Soalnya sayang banget kalau bikin terus dianggurin secara percuma. Secara kita punya tagihan biaya setiap tahunnya. Kecuali kamu punya banyak duit dan gak ambil pusing soal biayanya.
  • Sering-sering ngecek akun providernya. Biar kamu tahu dan faham. Jangan seperti saya ngecek pas udah mau jatuh tempo.
  • Kumpulin uang perbulan lah ya jadi gak memberatkan pas diakhir. Saya salahnya begitu terlalu menyepelekan bayarannya. Jadi yang tertera Rp. 308.000 itu hanya untuk bayar sewa hostingnya dan belum termasuk bayar perpanjangan domainnya.
  • Mau gak mau blog saya harus bisa menghasilkan sesuatu. Jujur sih, kalau cuma buat numpang biar dikata orang keren punya blog pribadi itu gak ada di kamus saya. Inget biaya pertahunnya berat cuy! Jadi kalau cuma buat gengsi doang saya mending pindah lagi ke blog gratisan.
  • Baiklah karena sudah terlanjur mau tidak mau saya harus belajar banyak lagi soal blog atau pilihan terakhir kalau misal nanti belum dapet tawaran iklan aja ya udah mau migrasi aja ke blogspot hihii. Di blogspot kan cuma bayar domainnya aja gak perlu sewa hosting.


Photo by Ann H

Sebagai seorang pembina asrama, tentu berat rasanya. Mengurusi anak dengan berbagai karakter menuntut saya untuk lebih bersabar lagi dalam menghadapi mereka. Terlebih diusia yang labil, terkadang nasehatpun selalu salah dipandangan mereka.

Manusiawi, jangan mentang-mentang saya sebagai seorang pembina asrama memiliki hati bak malaikat, tidak. Saya bisa marah, kesal, bahagia, sama seperti lainnya. Toh saya juga manusia biasa. Apalagi jika tugas diasrama menumpuk dititik waktu tertentu, masalah datang secara bersamaan rasanya kepala saya ingin pecah. Setelah beres ngurusin yang ini, yang lainnya datang. Terkadang saya ingin lari jauh dari dunia saya saat itu juga. Namun sebuah pesan selalu membuat hati saya terenyuh, senang sekaligus terharu.

Jazakallohu khoiran ukhti..

Ukhti, jazakumullohu khoiran katsiira. Semoga ukhti lebih sabar lagi dalam mengurus anak-anak.

Jazakallohu khoiran, artinya semoga Allah membalas atas kebaikanmu. Sebuah kalimat sederhana namun bagi saya maknanya sangat dalam. Bukan hanya sebatas ucapan melainkan sebuah doa. Kebaikan yang kita lakukan, lalu orang lain membalasnya dengan doa seperti itu, bagaimana? Luar biasa bukan? Mereka membalasnya dengan mendoakan agar kebaikan yang kita perbuat dibalas oleh Allah SWT. Balasan mana yang lebih indah selain dari balasan Allah SWT? Maka dari itu saya aamiin kan dalam hati sambil tersenyum. Walau terkadang dengan kebaikan yang telah ditebar selalu mengundang rezeki dalam bentuk lainnya.

Saya ingat bagaimana orangtua saya mengajarkan saya agar melaksanakan segala sesuatu janganlah pamrih, biar Allah SWT yang balas. Percuma jika melakukan kebaikan karena ingin dipuji orang, apalagi ingin diberi hadiah, sudahlah capek melakukan amal perbuatan eh amalannya hangus lagi tak bernilai disisi Allah. Adapun untuk hadiah yang sering saya terima, ya saya anggap itu adalah bonus yang Allah beri untuk saya.

Ukhti terima kasih banyak atas bantuannya. Jakallohu khoiran katsiira. Semoga ukhti kuliahnya lancar, mendapatkan jodoh yang sholeh, mapan, ganteng, baik, sayang sama ukhti.

Saya tersenyum saja, saya aamiinkan dalam hati.

Jazakallohu khoiran ukhti,

Doa juga penyemangat bagi saya 🙂

Ditengah hawa dingin yang menyerang,
06/07/18

IhatAzmi

Photo by The Vegan Monster

Beberapa hari lalu, saat pulang ke rumah naik kereta seperti biasa, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang membuatku merenung: tentang obrolan di perjalanan, orang asing, dan batas-batas personal yang selama ini selalu ingin aku jaga dan aku juga masih belajar untuk enggak oversharing sama orang lain.

Aku jadi ingat obrolan aku dengan saudaraku setahun lalu. Dia pernah bilang kalau aku ini terlalu jutek ketika ketemu sama orang asing. Long story short, waktu itu kami pergi ke luar kota bersama. Berbeda sama aku yang lebih memilih menikmati perjalanan dari balik kaca jendela sambil mendengarkan lagu, saudaraku justru menikmati obrolan dengan siapa pun, termasuk orang asing yang baru saja dia temui.

Satu hal yang tidak pernah aku sukai dari sebuah perjalanan adalah ketika orang asing mulai bertanya hal-hal yang terlalu personal. Tentang status, pekerjaan, tempat tinggal—seolah-olah setiap pertemuan singkat wajib dibumbui dengan informasi pribadi.

“Pantesan susah dapet jodoh,” komentar saudaraku waktu itu, setelah melihat aku menjawab singkat  pertanyaan dari seorang ibu-ibu yang mulai menyinggung hal-hal pribadi. Jujur sih, aku lebih memilih diam atau menjawab singkat daripada harus membuka ruang untuk diskusi yang tidak aku sukai. Buat aku, berbagi cerita  itu punya waktunya sendiri. Ada konteks dan ruang yang pas untuk itu, misalnya dalam sebuah workshop, seminar, atau diskusi bertema tertentu. Aku akan menjadi orang yang talk-active karena tahu obrolan itu ada tujuannya.

Namun di hari itu, pelajaran kecil kembali datang. Di dalam kereta, seorang bapak paruh baya menyapaku:

“Neng, kuliah?” 

“Kerja,” jawabku singkat.

“Kerja di mana?”

Aku menarik napas dalam. Naluriku langsung tahu, obrolan ini bisa jadi panjang dan menyentuh banyak area yang tidak ingin aku bagi. Maka aku menjawab seadanya, “Di sekolah,” lalu segera membuka buku yang kubawa.

Tebakanku ternyata benar. Beberapa menit kemudian, si Bapak dengan semangat mengobrol panjang lebar dengan pemuda di sebelahnya, bertanya tentang hidupnya; kerja di mana, tinggal di mana, gaji berapa, sekolah di mana dulu. Obrolan itu terasa seperti audit kehidupan.

Aku pun memejamkan mata. Bersyukur telah menjaga jarak dari awal. Tapi begitu aku bangun, si Bapak mulai lagi bertanya kepadaku, bahkan mengenalkanku pada pemuda tadi. Di titik itu aku hanya bisa tersenyum. Malas menanggapi. Hingga akhirnya pemuda itu menebak-nebak statusku, berkomentar bahwa aku pasti sudah punya pasangan, lalu menyarankan agar aku lanjut S2 dan baru dilamar setelah lulus.

Aku mengangguk kecil, tersenyum samar, lalu mengaminkan. Namun dalam hati, aku benar-benar gak nyaman.

Pengalaman ini menyadarkanku akan satu hal penting: bahwa menjaga batas bukanlah sebuah kesalahan. Bahwa tidak semua orang harus tahu tentang aku dan tidak semua obrolan harus aku respons panjang lebar hanya demi sopan santun. Ada perbedaan antara menjadi ramah dan membiarkan batas-batas pribadi dilanggar.

Dulu aku sempat bertanya-tanya, apakah ini yang membua aku terlihat "jutek"? Tapi kini aku merasa: justru ini bentuk dari self-respect. Aku bukan tidak suka berinteraksi. Aku hanya ingin merasa aman dalam obrolan; dilihat sebagai pribadi utuh, bukan sekadar status sosial yang harus diulik, apalagi pada saat pertama kali kenal.

Aku pun belajar satu hal lagi: bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam menjalani perjalanan dan berinteraksi. Tidak perlu memaksakan diri menjadi seperti saudaraku yang hangat dengan siapa saja. Aku bisa tetap menjadi diriku sendiri; hangat dalam konteks yang aku rasa aman dan nyaman.

Ke depannya, aku ingin:

1. Lebih percaya diri untuk menetapkan batas ketika obrolan mulai menyentuh ranah pribadi.

2. Tidak merasa bersalah karena menjaga privasi.

3. Menerima bahwa tidak semua orang akan memahami batas yang aku buat, dan itu tidak apa-apa.

4. Mengenali momen yang tepat untuk membuka diri dan kapan harus cukup dengan senyum dan anggukan.

Perjalanan itu bukan hanya soal jarak yang ditempuh, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga ruang dalam diri sendiri. Tentang bagaimana kita tetap menjadi versi terbaik dari diri kita, tanpa harus mengorbankan kenyamanan hanya demi dinilai "ramah" oleh orang yang tidak kita kenal. 

Kalau kata temanku, dia bilang gini. 

"Coba belajar untuk merasa bahwa kamu itu gak penting buat orang lain. Dari sana kamu akan belajar bahwa kamu gak harus open terhadap siapapun agar kamu bisa diapresiasi. Selain itu, orang akan lebih menghargai kamu karena kamu sulit untuk diakses."

Aku sempat bertanya, "Maksudnya?"

"Coba gak aktifin ponsel kamu, seharian aja."

Aku jawab, "Gak bisa. Nanti pasti ada orang yang menghubungi."

"Nah itu dia, kamu masih merasa penting buat orang lain. Jadi orang lain akhirnya menganggap mereka bisa akses kamu kapan pun, karena kamu sendiri yang mengizinkan itu."

Kalimat itu sempat membuatku diam. Tapi setelah kejadian di kereta, aku mulai mengerti. 

So, menurut kamu gimana?


Cheers,

Solihat

Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

You are looking for...

  • ▼  2025 (21)
    • ▼  June (1)
      • Refleksi Catatan 16: Bukan Gagal, tapi Belum Diizi...
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Thank You!

Friends

Get new posts by email:
Powered by follow.it

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Follow Me On Instagram

Translate

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template