![]() |
Photo by Markus Winkler |
How was your week?
Sebuah kalimat sederhana yang sering banget jadi pembuka keran cerita. Kalimat yang pada akhirnya membuat aku flashback ke satu minggu kebelakang. Kalimat yang bikin aku akhirnya cerita ngaler ngidul, dari mulai hal yang bikin bahagia sampe ke hal yang bikin aku kesel setengah mati, nangis, habis itu refleksi sambil ngusapin diri sendiri dan bilang,
"It's ok. You handled it well. You got through it."
Kalimat yang selalu aku nantikan kalau lagi telfonan sama dia hehee. Sesederhana itu, tapi hangatnya luar biasa.
So, talking about this week...
Anxiety and overthinking aku kambuh lagi. Tiba-tiba datang, kayak tamu gak diundang. Semuanya berawal pada saat aku harus menghadapi kelas baru dengan materi yang belum pernah aku ajarkan sebelumnya. Stress? Oo tentu saja. Seperti biasa, instead of doing, aku malah mikir panjang. Buku udah ada di tangan, raga udah duduk rapi di kursi dan siap mengeksekusi ide-ide yang ada, eh si jiwa yang malah melayang-layang entah ke mana.
Mamah di rumah sampe pusing sendiri sama keadaan aku. Bukan aku gak bersyukur sih, aku cuma mikir kayak busyet di Indonesia buat dapet lima puluh rebu sehari kudu jungkir balik ke sana ke mari. Susah bener cari duit. Aku bukannya pesimis ya, tapi memang itu kenyataannya. Bagi kita rakyat biasa, biar bisa punya duit sehari lima puluh rebu tuh luar biasa pengorbanannya. Makannya kalau ada yang bilang angka kemiskinan di Indonesia menurun, hmm hmm. Tolong cek. Biaya hidup aja makin melejit, nyekik banget rasanya.
Satu hal yang akhirnya kembali menyadarkan aku: semua itu butuh proses, butuh waktu, dan gak ada yang instan. Apalagi saat kamu dilahirkan sebagai seorang perintis bukan pewaris. Gak apa-apa kalau saat ini kamu belum punya pencapaian seperti yang dianggap "sukses" oleh masyarakat sekitar. Gak apa-apa banget kalau kamu masih pengen eksplorasi banyak hal, bahkan saat harus mengulang lagi dari nol. Gak ada yang salah kok. Setiap orang yang punya jalannya masing-masing. Dan semua pilihan, pada akhirnya kembali kepada diri kita sendiri.
Aku juga belajar bahwa kita gak usah nunggu momen sempurna untuk memulai. Nanti yang ada malah gak mulai-mulai. It's ok to make mistakes. Justru dari sana kita belajar untuk terus memperbaiki. Karena sampai kapanpun gak akan ada yang sempurna. Pasti selalu ada kurangnya. Nah jangan sampai, kamu nunggu terus kesiapan tanpa mau mencoba langkah pertama. Tahu kok, langkah pertama selalu berat, iya. Wajar banget. Tapi nanti setelahnya kamu akan terbiasa dan sudah bisa membaca pola sekitar.
Minggu ini juga, aku sempat mengalami situasi yang bikin aku kembali ingin menyalahkan diri sendiri. Aku sempat bilang apa aku gak cukup bener kerja ya, pada saat rekan kerjaku bilang aku gak ngecek pr muridnya waktu aku harus gantiin kelas dia. Padahal jelas banget aku ngecek pr muridnya dia minggu lalu itu. Tapi sayangnya di buku murid-muridnya dia gak ada sign aku. Ya memang aku gak kasih sign, lagian udah gede gitu. Udah anak SMP kelas 3 sama anak SMA juga.
Perdebatan sore itu cukup sengit, sampai beberapa rekan kerja yang lain memilih diam. Aku dengan keteguhan diri sendiri, terus bilang bahwa aku mengecek. Tapi karena tidak ada bukti fisik, aku tahu aku sadar posisiku aku lemah. Sampai kemudian tak aku lanjutkan kembali. Udahlah aku teacher baru, ya kalau difikir siapa juga yang mau percaya sama aku. Beberapa rekan juga justru banyak berpihak kepada dia. Rasanya gak adil, tapi ya sudah, aku memilih diam. Bukan berarti aku kalah, aku cuma milih untuk menunggu kebenaran yang nantinya akan membuktikan sendiri.
Sampai akhirnya, ketika aku kembali menggatikan dia di kelas, aku menyelipkan sindiran halus soal PR. Mereka semua diam dan saling menoleh satu sama lain. Aku berusaha tetap tenang, mencoba mengatur emosi aku biar gak meledak saat itu juga. Mengajar seperti biasa dengan senyuman, dan dalam hati aku terus memohon,
"Yallah, please help me. Prove it! That I didn't a mistake. I did it. I checked it last week."
Gak usah nunggu lama, satu orang murid tiba-tiba nyeletuk, "Nanti kalau ditanyain prnya dicek apa enggak, kita bilang aja gak dicek ya."
Aku langsung menegur dengan tenang. Mereka semua terdiam. Lalu ada satu murid yang membela diri, katanya aku salah karena aku gak ngasih sign. Aku jawab, aku emang gak pernah ngasih sign di kelas yang sudah besar. Mereka akhirnya terdiam, malu.
Aku kabarin itu ke yang lain. Mereka pun akhirnya kaget dengan hal itu. Bahkan ada yang mengaku, pada saat perdebatan itu mereka ngira aku ini denial. Dan betul dugaanku. Hahahaa. Aku luruskan aja, aku kalau salah ya ngaku salah, kalau bener ya terus aku akan suarakan itu.
Dari setelahnya, aku cuma pengen meluk diri sendiri. Aku ingat betul, setelah kejadian itu disampaikan di hadapan orang lain, aku sempat menyalahkan diri sendiri. Ada ketakutan dan keraguan pada saat itu. Tapi aku terus menepis suara-suara buruk itu dan terus menguatkan diri sendiri,
"Iya, aku udah ngerjain itu kok. Tapi nanti lagi, harus lebih teliti. Harus ada bukti."
When I told him about what happened, he smiled and said I had done the right thing. "As long as you're doing the right thing and others still doubt you, keep going. Keep fighting for it. Don't be afraid."
He knows me so well. So instead of giving long advice, he just listened quietly, occasionally chuckling as I told the story with fire in my voice.
"Teenagers are annoying, sometimes," he added with a laugh.
Dan aku lega bisa menyampaikan itu semua. Hehee.
Proses menanamkan mindset ini dan juga menguatkan diri memang bukan hal yang mudah. Aku juga terkadang kalau udah kambuh si overthinking dan anxiety ya suka jadi hilang fokus dan fikiran ke mana-mana. Tapi aku tahu ini bagian dari proses penyembuhan. Proses mencintai diri sendiri.
Aku benar-benar sedang berada di fase yang aku gak tahu arah hidup ini akan membawa aku kemana. Aku kadang gak faham, apa maksud dari semua ini. Tapi ya semakin difikirkan justru malah semakin membuat kita gila gak sih? Hahahaa. Karena memang ada beberapa hal yang gak harus selalu kita tanyakan terus soal hidup ini.
Kenapa ini terjadi?
Kenapa aku?
Kenapa harus aku?
Instead of asking "why me?" saat ini aku sedang mencoba untuk mengubahnya menjadi,
"Allah lagi mau ngajarin aku apalagi ya?"
Belajar untuk menerima, hadapi, dan stop asking.
Meski pada praktinya itu gak mudah, tapi aku sedang belajar untuk percaya dan menerima atas takdir yang telah ditetapkan-Nya untuk aku.
Di sinilah iman itu benar-benar menyelamatkan kita. Kalau aku gak punya iman, kayaknya ide-ide gila untuk mengakhiri hidup atau menyakiti diri sendiri bisa jadi datang kembali. Dan aku gak mau itu kembali lagi.
Ternyata iman itulah yang pada akhirnya menguatkan diri saat hati mulai ragu akan kenyataan yang harus dihadapi. Saat hati mulai ragu dengan kemampuan diri, padahal semua yang terjadi tidak lepas dari izin dan ridho-Nya.
Allah gak minta kita untuk suskes di dunia. Allah gak minta kita untuk jadi kaya raya. Yang Allah lihat adalah prosesnya dan bagaimana kita tetap memilih kembali kepada-Nya dalam kondisi apapun.
Karena kita benar-benar lemah tanpa pertolongan Dia.
Ya Allah, maafkan aku.
Ternyata selama ini aku masih saja khawatir atas hal-hal yang belum terjadi. Maafkan hamba-Mu ini yang ceroboh, yang terkadang meremehkan potensi yang Engkau titipkan pada diri ini. Kuatkan iman ini, agar mampu merobohkan suara-suara jahat yang ingin menghancurkan rasa percayaku pada diri sendiri dan juga keyakinanku atas takdir-Mu.
Love,
Solihat
0 Comments