![]() |
Photo by Franklin Peña Gutierrez |
Pulang ke kampung halaman, akhirnya membawaku bertemu dengan teman-teman lama. Obrolan pun mengalir, mulai dari nostalgia masa lalu, aktivitas yang sedang dijalani, hingga rencana-rencana hidup selanjutnya. Tak ketinggalan juga, membahas pertanyaan-pertanyaan "klasik" dari masyarakat yang membuat kita mengumpat sekaligus tertawa karena saking udah seringya ditanya hal yang sama.
Obrolan malam itu berakhir di pukul 11. Banyak hal disampaikan yang pada akhirnya membuat aku diam-diam merenung. Aku kembali diingatkan bahwa setiap pekerjaan yang kita pilih dan yang kita tekuni pasti akan selalu ada tantangannya tersendiri. Kita gak bisa membandingkan satu dengan yang lainnya. Kita hanya bisa memilih, lalu menerima segala kosekuensinya dengan sadar. Karena kita gak bisa hanya mengambil enaknya doang. Gak bisa. Kalau memilih, ya harus siap dengan semua isi paketnya: baik dan buruknya.
Keesokan harinya, aku bertemu dengan sahabat kecilku. Sahabat dari pas zaman SD yang sekarang memilih untuk berkarier sendiri. Hal yang ingin aku highlight dari pertemuan kita kemarin adalah ketika ia sedang menyetir dan tiba-tiba bagian bawah mobilnya menyentuh aspal cukup keras. Entah bempernya atau bagian yang lain, yang jelas dia kesal dan mengumpat. Karena ia tahu akan ada biaya lagi yang harus dikeluarkan untuk untuk perbaikan.
Aku jadi teringat satu obrolan dulu, saat aku masih bekerja di Bandung. Seorang drivernya bilang bahwa kalau kita memilih untuk punya mobil, siap-siap saja dengan biaya perawatannya yang gak murah. Mana di jalanan kamu harus siap antara "nabrak" dan "ditabrak." Ia bahkan mengaku harusnya mobilnya itu sudah diservis, tapi karena biayanya besar dan mobilnya juga masih bisa berjalan, jadi ya ditunda dulu.
Obrolan dengan sahabatku itu menyadarkan aku bahwa barang-barang mewah sekalipun tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Di awal, mungkin ada rasa bangga, puas dan bahagia karena pada akhirnya kita mampu membeli barang tersebut. Tapi setelahnya, ada tanggung jawab untuk merawat. Dan kalau kita bicara soal mobil, jelas biaya perwatannya tidak sedikit.
Dari situ aku belajar bahwa penting untuk membeli barang sesuai dengan kemampuan kita. Jangan sampai kita memaksakan diri hanya demi gengsi atau rasa ingin dianggap "mampu." Contohnya, kalau masih bisa naik transportasi umum, dan itu cukup memenuhi kebutuhan kita, kenapa tidak? Bukankah akan jauh lebih tenang kalau hidup kita sesuai dengan kapasitas finansial kita?
Hal ini juga mengingatkan aku pada obrolan dengan temanku dua minggu yang lalu. Saat temannya memutuskan untuk tidak memiliki rumah karena pekerjaannya yang membuat dia harus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Temannya itu sampai bilang bahwa kalau beli rumah itu gampang, tapi setelahnya itu yang bikin ruwet. Biaya perawatan, pajak, dekorasinya, dan lain-lain.
Dari semua pertemuan dan obrolan ini, aku makin sadar, bahwa hidup adalah tentang pilihan. Setiap orang punya prioritas dan alasannya masing-masing. Ada yang lebih memilih punya A dibandingkan B, dan sebaliknya. Tapi satu hal yang menjadi bahan refleksi aku adalah jangan sampai kita memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang berada di luar kemampuan kita, hanya demi memuaskan ego sesaat.
Bukan berarti temanku itu tidak mampu. Tapi kejadian-kejadian ini membuat aku sadar bahwa semua yang kita miliki, seberapa mahal dan mewah pun itu, akan datang juga dengan konsekuensinya, dengan biaya tambahan-tambahan lain yang mungkin enggak nampak di awal.
Instant gratification. Kalau kata Philip Mulyana di bukunya Personal Finance 101.
Kita sering terjebak dalam instant gratification - keinginan untuk merasakan kebahagiaan secara instan. FOMO, takut tertinggal, membuat kita membeli barang-barang yang hanya menyenangkan sesaat. Bahkan, sering kali kita gak benar-benar menghitung kebutuhan jangka panjangnya. Kita pun jadi bingung untuk membedakan mana needs and wants.
Pada akhirnya semua kembali pada kesadaran: bahwa kedewasaan finansial itu ternyata bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita beli, tapi seberapa bijak kita bisa memilah, memilih dan menerima konsekuensinya.
Love,
Ihat
0 Comments