Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me

Photo by Photo By: Kaboompics.com

On July 26th, I turned 28. It was a beautiful day – for the first time in my life, my friends celebrated and prayed for me. As you may know, I’ve never been someone who makes a big deal out of birthdays; I’ve always chosen to keep it simple and personal.

It’s not about the celebration itself. I’ve always preferred to spend my birthday reflecting on what I’ve learned over the past 365 days.

A lot has changed in my life this year. I unexpectedly left a job I loved and decided to move back to my hometown to live with my parents. I focused on getting to know myself better, deepened my connection with family, and made many new friends. During this time, I experienced a lot of contradictions – moments of light and moments of darkness and doubt.

As I grow older, it feels like the years go by faster. It’s a little depressing, but it’s true. I often ask myself: What is my purpose in life? Am I truly living the life I want? What really matters to me? Am I giving enough to others and to the world?

These are heavy questions, and I don’t have all the answers yet. But as I look back on the past year, I’m deeply grateful for all the growth and learning that came with it.

I know this past year has been one of the hardest I've ever faced. But it has taught me a lot — especially about embracing change and uncertainty. Life is unpredictable, and that’s okay. I’ve had to deal with many changes — in my career, my personal relationships, and my mindset. I’ve learned to sit with the discomfort and grow through it.

I moved from Bandung to Tasikmalaya. It took me almost a year to fully convince myself to take that step. The decision to relocate was both exciting and intimidating. I was happy to live with my parents again, but I was afraid of the limited job opportunities in a smaller town. Eventually, I realized that embracing change opens the door to growth. Now, I’m eager to see what this new chapter holds.

This year, I also learned to say no. In the past, saying no was one of the hardest things for me. As a result, I often felt overwhelmed. But I’ve come to understand that saying no is not selfish — it’s necessary. It helps me set healthy boundaries, prioritize what truly matters, and focus on what brings me joy.

This year also taught me the art of letting go — letting go of expectations, past hurts, and the need to control everything. I used to strive for perfection and tried to control every outcome. It was exhausting. Slowly, I’m learning to release that pressure and find peace in letting go.

Instead of complaining, I’ve learned to find joy in the little things: riding my bicycle in the morning, enjoying a warm cup of tea, or sharing stories and laughter with my family. I’ve realized that happiness isn’t something to chase — it’s something to notice and appreciate in the present moment.

And with that awareness comes gratitude. Even in small ways, I try to reflect on what I’m thankful for. Practicing gratitude helps me find contentment and recognize the abundance already present in my life.

I remember how, in the past year, I often felt like I wasn’t enough. I blamed myself for my failures, called myself stupid, and doubted my worth. But this year, I’ve made an effort to understand myself more deeply. I’ve spent time reflecting on who I am, what I truly want, and what really matters to me. It hasn’t been an easy journey — but I want to love myself better, and I’m committed to learning how.

As I begin my 28th year, I tell myself this: I don’t know what challenges, opportunities, or lessons lie ahead, but I’m ready. I have Allah, and He is always with me — guiding me and helping me through every moment.

Life is a beautiful, messy, and unpredictable adventure. As I step into this new year, I’m ready to embrace it all — the highs and the lows, the joys and the challenges, the knowns and the unknowns.

What you have right now does not define you; your job, your money, your status, or your circumstances. These are only parts of your life, not the whole of it.

Thank you for reading my birthday reflection. This year hasn’t been perfect, but it has brought me closer to discovering who I truly am, and for that, I am deeply grateful.


With Love,

Solihat

Photo by Franklin Peña Gutierrez

Pulang ke kampung halaman, akhirnya membawaku bertemu dengan teman-teman lama. Obrolan pun mengalir, mulai dari nostalgia masa lalu, aktivitas yang sedang dijalani, hingga rencana-rencana hidup selanjutnya. Tak ketinggalan juga, membahas pertanyaan-pertanyaan "klasik" dari masyarakat yang membuat kita mengumpat sekaligus tertawa karena saking udah seringya ditanya hal yang sama.

Obrolan malam itu berakhir di pukul 11. Banyak hal disampaikan yang pada akhirnya membuat aku diam-diam merenung. Aku kembali diingatkan bahwa setiap pekerjaan yang kita pilih dan yang kita tekuni pasti akan selalu ada tantangannya tersendiri. Kita gak bisa membandingkan satu dengan yang lainnya. Kita hanya bisa memilih, lalu menerima segala kosekuensinya dengan sadar. Karena kita gak bisa hanya  mengambil enaknya doang. Gak bisa. Kalau memilih, ya harus siap dengan semua isi paketnya: baik dan buruknya.

Keesokan harinya, aku bertemu dengan sahabat kecilku. Sahabat dari pas zaman SD yang sekarang memilih untuk berkarier sendiri. Hal yang ingin aku highlight dari pertemuan kita kemarin adalah ketika ia sedang menyetir dan tiba-tiba bagian bawah mobilnya menyentuh aspal cukup keras. Entah bempernya atau bagian yang lain, yang jelas dia kesal dan mengumpat. Karena ia tahu akan ada biaya lagi yang harus dikeluarkan untuk untuk perbaikan.

Aku jadi teringat satu obrolan dulu, saat aku masih bekerja di Bandung. Seorang drivernya bilang bahwa kalau kita memilih untuk punya mobil, siap-siap saja dengan biaya perawatannya yang gak murah. Mana di jalanan kamu harus siap antara "nabrak" dan "ditabrak." Ia bahkan mengaku harusnya mobilnya itu sudah diservis, tapi karena biayanya besar dan mobilnya juga masih bisa berjalan, jadi ya ditunda dulu.

Obrolan dengan sahabatku itu menyadarkan aku bahwa barang-barang mewah sekalipun tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Di awal, mungkin ada rasa bangga, puas dan bahagia karena pada akhirnya kita mampu membeli barang tersebut. Tapi setelahnya, ada tanggung jawab untuk merawat. Dan kalau kita bicara soal mobil, jelas biaya perwatannya tidak sedikit. 

Dari situ aku belajar bahwa penting untuk membeli barang sesuai dengan kemampuan kita. Jangan sampai kita memaksakan diri hanya demi gengsi atau rasa ingin dianggap "mampu."  Contohnya, kalau masih bisa naik transportasi umum, dan itu cukup memenuhi kebutuhan kita, kenapa tidak? Bukankah akan jauh lebih tenang kalau hidup kita sesuai dengan kapasitas finansial kita?

Hal ini juga mengingatkan aku pada obrolan dengan temanku dua minggu yang lalu. Saat temannya memutuskan untuk tidak memiliki rumah karena pekerjaannya yang membuat dia harus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Temannya itu sampai bilang bahwa kalau beli rumah itu gampang, tapi setelahnya itu yang bikin ruwet. Biaya perawatan, pajak, dekorasinya, dan lain-lain.

Dari semua pertemuan dan obrolan ini, aku makin sadar, bahwa hidup adalah tentang pilihan. Setiap orang punya prioritas dan alasannya masing-masing. Ada yang lebih memilih punya A dibandingkan B, dan sebaliknya. Tapi satu hal yang menjadi bahan refleksi aku adalah jangan sampai kita memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang berada di luar kemampuan kita, hanya demi memuaskan ego sesaat. 

Bukan berarti temanku itu tidak mampu. Tapi kejadian-kejadian ini membuat aku sadar bahwa semua yang kita miliki, seberapa mahal dan mewah pun itu, akan datang juga dengan konsekuensinya, dengan biaya tambahan-tambahan lain yang mungkin enggak nampak di awal.

Instant gratification. Kalau kata Philip Mulyana di bukunya Personal Finance 101. 

Kita sering terjebak dalam instant gratification - keinginan untuk merasakan kebahagiaan secara instan. FOMO, takut tertinggal,  membuat kita membeli barang-barang yang hanya menyenangkan sesaat. Bahkan, sering kali kita gak benar-benar menghitung kebutuhan jangka panjangnya. Kita pun jadi bingung untuk membedakan mana needs and wants. 

Pada akhirnya semua kembali pada kesadaran: bahwa kedewasaan finansial itu ternyata bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita beli, tapi seberapa bijak kita bisa memilah, memilih dan menerima konsekuensinya. 


Love,

Ihat

Photo by Kinga Longa

Siang ini entah kenapa aku merasa sangat mengantuk. Tubuhku seolah meminta waktu istiriahat yang lebih panjang dari biasanya. Aku pun memutuskan untuk tidur siang. Awalnya aku terbangun di 30 menit pertama, namun karena rasa kantuk yang masih menyelimuti, aku kembali memejamkam mata.  Tapi, tidur keduaku malah membawaku ke sebuah mimpi yang aneh, penuh kecemasan, dan membuatku terbangun dengan jantung berdebar keras.

Dalam mimpi itu, aku tertinggal kereta. Rasanya seperti menggambarkan bahwa aku terlambat dari sesuatu hal yang menjadi standar masyarakat pada umumnya. Lalu entah bagaimana, aku malah terdampar di sebuah rumah sakit yang mengharuskan aku menjalani pemeriksaan di sana. Ketika pulang, aku lupa membawa barang yang diberikan oleh pihak rumah sakit yang mengharuskan aku untuk kembali ke ruang tersebut. 

Di sinilah mimpi mulai terasa aneh. Aku mencoba mengingat lift mana yang aku pakai dan juga lantai berapa tempat aku berobat tadi. Setelah aku yakin, aku menaiki lift tersebut dan ketika keluar dari lift tersebut ternyata aku salah lantai. Aku kembali lagi memasuki lift dan begitu masuk aku salah memencet tombol. Malah ke lantai yang paling atas. Aku panik, aku kembali memencet tombol 1. Lift melesat begitu cepat, karena tidak ada yang naik di lantai atas tersebut, lift turun begitu cepat membawa aku ke lantai 1. Begitu aku sampai di lantai satu, aku terus mencari tempat aku berobat sebelumnya untuk mengambil barang yang tertinggal. Tidak ada di lantai tersebut, aku kembali mengingat-ngingat sepertinya di lantai 3. Aku menaiki lift tersebut lagi menuju lantai 3, lalu aku mencari dengan susah payah dan akhirnya aku menemukan barang yang aku tinggalkan. Tapi kemudian muncul kecemasan yang lain, bagaimana cara aku keluar dari rumah sakit ini?

Aku memilih sebuah lift. Tapi begitu pintu lift tersebut terbuka,  di dalamnya ada telfon genggam yang berasap, seperti akan meledak. Selain itu, ada juga seorang perempuan dengan pakaian urakan yang sedang makan sambil menatap ku sinis. Aku langsung panik dan menutup pintu lift secepat mungkin. 

Aku memilih lift lain yang ada di sebarangnya. Aku langsung masuk ke dalam lift itu sembari ketakutan. Lalu memenceti tombol 1. Tapi lift ini malah turun dengan kecepatan tinggi dan ternyata lift itu rusak. Bukannya sampai di lantai 1, aku justru sampai di lantai dasar. Dengan jantung berdebar dan tubuh yang lelah, aku langsung keluar dan berjalan ngesot di atas lantai. Lalu saat melihat sekitar, di sekelilingku  dipenuhi oleh jeruji besi berwarna hijau. Aku merasa terjebak kembali

Dan setelah terbangun, aku mencoba untuk menenangkan diri sekaligus merenung. 

Iya. Aku merasakan ketertinggalan itu. Perasaan tertinggal dari teman-teman seusiaku. Meski aku sering meyakinkan diri bahwa hidup bukan perlombaan,  tetap saja rasa iri dan rendah diri kadang muncul tanpa diundang.

Hi, Ihat

Tolong, jangan bandingkan hidupmu dengan kehidupan orang lain ya. Setiap orang punya timeline nya masing-masing. Kamu masih baru. Adaptasi di tempat baru itu gak mudah. Kamu pasti akan mengalami banyak error, dan itu wajar. Tulis saja kekuranganmu dan jadikan sebagai bahan perbaikan untuk esok hari. Jangan menyerah ya, semangat!

Aku sedang berada dalam proses  penyembuhan. Bisa berada di titik ini - mulai menerima diri, mulai memaafkan masa lalu - adalah sebuah pencapaian yang tidak kecil.  Setahun ke belakang sangat berat untukku.  Aku harus melewati malam yang panjang, penuh suara dalam kepala yang mengkritik, menakuti, bahkan membuatku ingin melukai diri sendiri. Aku lelah sekali waktu itu. 

Sekarang frekuensi kesedihannya memang tidak sesering dulu. Tapi prosesnya masih panjang. Aku sadar, aku tidak bisa memaksa diriku untuk pulig dalam semalam. 

Kadang aku masih mempertanyakan pilihan hidupku. Apakah keputusan untuk langsung bekerja adalah langkah yang tepat? Padahal orang tuaku sendiri meminta aku untuk istirahat dulu. Tapi aku tidak mau membebani mereka. Setelah dewasa, aku menyadari bahwa dalam kondisi apapun, aku tidak bisa terus-menerus menjadikan rasa lelah sebagai alasan untuk lari dari tanggung jawab.

Aku juga masih bergulat dengan diriku sendiri. Takut tampil di depan umum, takut salah, takut tidak cukup baik. Padahal ketika akhirnya aku memberanikan diri, semuanya berjalan lebih baik dari yang aku bayangkan. 

Dan kini, aku sedang mencari arah hidupku sendiri. Aku tahu, semua butuh proses. Tidak ada yang langsung jadi. Gak apa-apa kalau aku belum tahu semuanya sekarang. Yang penting, aku terus berjalan, gak apa-apa pelan-pelan juga. Karena aku percaya, setiap langkah kecil yang aku pilih hari ini akan membawaku menuju versi terbaik dari diriku di masa depan.

Kalau kamu juga pernah merasa tersesat seperti dalam mimpiku, mungkin kita sama-sama sedang dalam proses berjuang untuk keluar dari jeruji yang tak terlihat. Semoga kita bisa sampau di lantai yang kita tuju, dengan selamat. 


Love,
Ihat


Photo by Tim Mossholder


Hi, bagaimana kabarnya?

 

Capek ya? Kamu masih harus mengejar banyak ketertinggalan kamu akhir-akhir ini. Tapi rasanya kenapa bisa lumayan lebih legowo ya? Kadang aku berpikir, apakah mengajar itu ingin aku? Apakah mengajar itu hal yang aku suka? Tapi aku ingat satu hal, manajerku pernah bilang bahwa satu tahun pertama pasti akan terasa berat dan itu wajar. Aku saat ini harus banyak mengulang materi-materi yang dulu pernah aku pelajari. Hanya saja perasaan aku entah mengapa ya tetap aja semangat. Aku mau melalui ini semua. 

 

Aku hanya ingin berbagi apa yang aku fahami. Bukan untuk menjadi guru yang sempurna. Gak apa-apa banget. Soalnya kalau di otaknya kamu harus jadi sempurna, gak ada yang sempurna mau bagaimanapun juga. 

 

Ihat.

Belajar memaafkan diri sendiri ya. Kamu udah terlalu keras sama diri kamu sendiri. Kamu lupa kalau kamu gak ngasih jeda dan juga nafas untuk diri kamu sendiri. Apa yang mau dikejar, Hat? Capek. Sekemampuan kamu aja, gak usah tengok kiri kanan.

 

Ingat, apa yang Allah tunda saat ini adalah itu yang terbaik. Bisa jadi kalau kamu paham banget, kamu udah di luar negeri, kamu gak bisa sedekat itu sama Allah. Kamu gak bisa ngobrol, minta apapun sama Dia Yang Maha Segalanya. Tapi bukan berarti kamu malas ya, yuk lebih banyak praktiknya lagi, sabarnya diperluas, doanya dikencengin lagi. Fokus satu-satu dulu aja, asal konsisten. 

 

Titip jangan nyerah, ya.

Kalau capek, berhenti sejenak. Gak usah memaksakan. 

 

Jangan kasar, keras sama diri kamu sendiri. 

Udah cukup dulu waktu kamu kecil kamu harus merasakan itu semua.

Saat ini udah ya. Jangan lagi. 

 

Gak apa-apa banget kalau kamu hari ini belum sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Masih ada esok lagi yang bisa kamu perbaiki. 

 

Semangat. 

Semangat, ya.

Jangan menyerah. 

 

Apalagi sekarang kamu udah tinggal sama orang tua lagi. Allah kasih mereka yang sayang sama kamu. Yang gak pernah menuntut apapun dari kamu. 

 

Kalau kamu bisa memaafkan mereka, kenapa kamu gak bisa memaafkan dan juga memeluk diri kamu sendiri?

 

Udah cukup dia diberi tekanan dari luar, dari kamu jangan dong. 

 

Percaya sama diri kamu sendiri, yakin ada Allah yang selalu bantu kamu. 

 

Hai, Ihat.

Maafin aku ya, yang jahat sama kamu. Yang selalu menuntut kamu sempurna. Yang selalu membanding-dingkan diri kamu dengan orang lain. 

 

Udah saatnya menghilang dulu di sosmed. Banyakin nulis dan ngobrol sama diri sendiri. Biar bisa makin akrab dan sayang sama diri sendiri. 

 

Love you, Ihat. 

Photo by Anurag Jamwal


Memulai kembali di tempat baru tentu tidak mudah. Meski gak switch career, tetap aja pindah ke tempat baru menuntut kamu mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru.

Ada perasaan yang berbeda saat ini. Tidak seperti dulu, aku merasa tidak se-excited biasanya saat mendapatkan pekerjaan baru.  Saat ini, entah mengapa aku tidak mau show off. Aku hanya ingin diam dulu. Mengamati, banyak belajar, dan juga lebih banyak mendengarkan. Bukan karena enggak semangat sih, tapi seperti ada sesuatu hal yang berubah dalam diriku, entah itu karena kelelahan, kehati-hatian atau mungkin keraguan yang belum selesai. 

Di satu sisi, aku memang sedang memilih untuk low profile. Tapi di sisi lain, aku juga menyadari bahwa saat ini aku semakin sering merendahkan diri sendiri. Bukan karena sekadar ingin menahan diri untuk tidak menonjol, tapi entah mengapa perasaan I'm not good enough, I'm not enough, and I care too much about what others think, sering kali mendominasi.

Sikap ini jelas sangat bertolak belakang dengan harapan dan juga advice yang disampaikan oleh rekan kerjaku begitu KPI sedang berlangsung. Beliau bilang, "Tetap tunjukkan versi terbaikmu seperti saat kamu di sini." Tapi untuk saat ini, versi terbaikku mungkin sedang tersembunyi di balik proses berdamainya aku dengan diriku sendiri. Aku sedang belajar mengatur energi, menjaga niat, dan berjalan perlahan tanpa harus selalu on fire setiap saat. 

Ada satu momen yang membuat akupun aneh dengan diriku sendiri. Pada saat sesi perkenalan dengan seluruh karyawan, aku benar-benar kewalahan untuk bisa mengingatnya dengan baik. Menghafal nama-nama baru bukan perkara mudah bagi aku. Entah mengapa, rasanya energi aku kekuras habis. Pulang-pulang kepala aku terasa berat. 

Aku pun menceritakan cerita soal ini ke teman aku. Seperti biasa, kita sebut saja dia Kak Anwar.

“Biasanya awalnya terlalu excited atau overthinking. Gak apa-apa itu normal kok," katanya menenangkan.

Aku mengangguk sendirian, merasa aneh aja dengan mode aku yang biasanya selalu excited tapi ini malah jadi slow motion. 

“Bisa jadi kamu lagi fase nothing to lose. Maksudnya lebih ke ya udah jalanin aja dengan maksimal.”

“Gak harus selalu on fire.” 

Perkataan dia membuat aku merasa divalidasi. Aku yang pada awalnya bingung dengan diriku sendiri, perlahan mulai bisa menerima dan memahami apa yang sedang aku rasakan ini. 

“Kalau kata HR aku, jangan pernah takut kehilangan pekerjaan. Dari sana kita tahu sebenarnynya bekerja kita tuh kayak gimana. Tanpa mengeluarkan energi terlau banyak. Lebih ke energi sesuai porsi. Jadi ada posri di mana kita tuh mengeluarkan energi segimana. Dan ibadah segimana.”

Aku hanya menyimak sambil mencerna setiap ucapan yang dia sampaikan.

“Katanya pembagian energi itu bikin kita lebih tenang dan nothing to lose. HR aku kalau mau salat dia selalu mengganti dengan pakaian yang terbaik. Katanya, energinya buat Allah.”

“Katanya semua yang dia dapat adalah fasilitas dari Allah. Jadi beli apapun boleh selama tujuannya Allah.”

“Semua yang kita punya itu, termasuk IQ, EQ adalah fasilitas yang Allah kasih dan bentuk kasih sayang-Nya selain nyawa yang diberikan. Termasuk pekerjaan dan semua yang ada di dalamnya. Jangan sampai takut kehilangan apapun.”

“Karena semua itu hanya fasilitas. Makannya dia sangat concern dengan apa yang dia punya dan dia lakukan. Katanya semua yang terjadi itu atas kehendak Allah. Kita kecewa dan marah juga menjadi salah satu fasilitas yang Allah kasih."

“Dari sana, dia gak pernah merasa kehilangan atas apapun. Hasilnya? Beliau ini udah kayak air mengalir aja. Santai gitu dalam menghadapi apapun. So, apa yang kamu rasakan juga atas izin Allah.”

“Sampai pada akhirnya, kata dia tuh ya semua itu harus karena Allah.”

Aku terdiam. Rasanya semua ucapan dia ini menampar aku secara lembut, seolah mengingatkan aku kembali untuk bertawakal sepenuhnya kepada Allah.

“Aku tuh sering denger dia ngomong gini kayak, 'Ya Allah, ini aku harus gimana ya? Izinkan keputusan aku ini menjadi berkah atau pelajaran.' Kayak bener-bener apapun itu melibatkan Allah. Overthinkingnya dia olah menjadi dialog dengan Tuhannya.”

“Dia juga bilang, 'Aku selalu penasaran sama Nabi ketika berdoa sama Allah. Jadi aku ingin berdialog sama Allah langsung karena kan Allah Maha Dekat.'”

Aku hanya bisa diam, sekaligus malu. Karena aku tahu, aku memang sedang tidak baik-baik saja. Aku sering merendahkan  diriku sendiri, terlalu banyak berfikir, meragukan kemampuan yang sebenarnya sudah Allah titipkan.

Lalu aku berpikir, apakah semua ujian perasaan ini adalah jalan untuk aku agar kembali menyerahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allah?

Allah seperti mendengar lirihanku. Lalu saat aku scroll di Instagram, aku membaca sebuah postingan dari Ustadz Nouman Ali Khan @noumanalikhan.bayyinah yang mengambil pelajaran dari Perang Khandaq yang diabadikan dalam QS. Al-Ahzab ayat 10:

"Ketika mereka datang kepadamu dari arah atas dan bawahmu, ketika penglihatanmu terpana, hatimu menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu berprsangka yang bukan-bukan terhadap Allah." (QS. Al-Ahzab: 10).

Pada saat itu, kaum Muslimin dikepung dari segala arah. Rasa takut dan kecemasan tentu menyelimuti mereka. Bahkan sampai menyangka hal-hal buruk kepada Allah, menyangka bahwa kaum muslimin akan kalah. Tapi justru dalam kondisi seperti itu, Allah tetap menyebut mereka sebagai orang-orang yang beriman. 

Ustadz Nouman menulis,

You don't lose your faith because you feel fear. You lose it when you give up hope in Allah. 

Perasaan takut, lelah, bingung, atau cemas bukanlah tanda lemahnya iman. Itu adalah bagian dari sifat manusia. Iman justru diuji ketika kita tetap menggenggam harapan, meski dalam ketakutan dan perasaan bahwa kita tidak mampu. 

Belum lagi ditambah dari love letternya Aida Azlin, aku membaca:

As a servant of Allah SWT, your efforts are seen, valued and will be rewarded! By Who? Not by flawed humans, but by the Lord of the Worlds Himself.

Tulisan dia kali ini merujuk pada QS Al-Ankabut ayat 58-59. Bahwa siapa pun yang bersabar dan beramal saleh, akan diberi tempat terbaik oleh Allah. Dari tulisannya aku belajar bahwa Allah hanya meminta kita untuk bekerja sebaik mungkin, sabar dalam menghadapi kesulitan, serta menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kita kepada Allah tanpa keraguan sedikitpun. 

Lalu, sebuah pesan dari temanku juga:

There are no tips because this is not a tangible experience. This is not a car engine. You can’t just replace one part with another. This is about self-confidence.

You must believe in yourself and your abilities. You must know that you are qualified for any position—and that you are much better than you think. It’s all about self-confidence and not being afraid. 

There is no person in the world who has not failed. All major company owners started with a failed idea. But they corrected their mistakes and learned from them in order to reach where they have reached now.  

Bahwa tak ada proses instan dan kegagalan bukan akhir dari segalanya. Justru dari sana kita dilatih untuk kuat, berani dan mengenal diri lebih dalam.

Aku pun merasa seperti diingatkan kembali...

Perasaan yang sedang aku rasakan saat ini, rasa takut, ragu, cemas, bukan tanda aku lemah. Tapi ini adalah jalan untuk aku belajar tawakal. Belajar untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah. Karena ternyata Allah tidak menilai seberapa on fire nya kita dalam melakukan sesuatu, tetapi seberapa tulus kita menyerahkan proses itu kepada Allah. 

Ya Allah, bantu aku dalam menghadapi semua ini. Hilangkan keraguan atas kemampuan yang telah Engkau titipkan padaku agar aku bisa memaksimalkan semua titipan-Mu menjadi amal saleh. 

Love,

Solihat


 

Photo by Anna Shvets

If someone asked me, "What are your favourite childhood memories? Why do they stand out to you?" (sageandbloom.co), I'd say it's the time when my father used to ride me on his bicycle. 

I truly love this moment and it has always stayed with me. 

As the first daughter, I'm the only one who has this memory. Only me. My father used to take me to school on his bicycle. I remember one night, my father took me for a ride around the city on his bicycle. I wore a jacket because the weather was so cold, and I held the bike seat tightly because I was afraid of falling.

Now, after resigning from my job in Bandung and returning to my hometown, I got to feel that again. Today was my first day at a new company and my father was so excited to take me there on his motorcycle (now my father uses a motorcycle, after selling the bicycle when I was in fifth grade), I felt like his little girl all over again. 

What made me want to cry was realizing that he's getting older. Sometimes, I feel guilty, maybe I haven't made him proud enough. Maybe I should have a higher-paying job by now. But deep down, I know he never expects that from me. He is happy that I'm home. 

Now, I'm back in his house and working nearby, my father is trully happy and at peace. He said he can pick me up anytime, as long as he is not too busy. And you know what? My inner child feels really happy.

I know, I've had my share of painful memories with father too. He was very strict when I was a kid and during my teenage years. But now that I'm an adult, he's changed. He's realized that some of the ways he raised me weren't right and he made a lot of mistakes.

It's so hard for me how to explain it, but once I started to forgive everything my parents did in the past, everything slowly began to change. Now, they treat me like I'm a little girl again, even though I've grown up. Hahahaaa. 

While some people get to ride with their partners, I'm still riding with my father and that's ok. In fact, I feel so lucky. I get to create more beautiful memories with him, this time on his  motorcycle.

Before I arrived at the company, my father asked me what time I’d be coming home. I told him I could go back by myself, but he kept asking and in the end, he insisted on picking me up. When the training ended today, I looked out the window and saw him waiting there for me. I felt so blessed.

It's like... the thing I've been longing for since I was a child, finally came to me, when I chose to forgive, accept my past, embrace my wounds, and start healing my inner child. 

Hi, Ihat.

Enjoy your new journey here. The salary may not as high as before, but Allah replaced it with something more valuable, healing, peace, and pride in who you are becoming. 

And for you Bapak, I love you just the way you are. 


Love,

Solihat

Photo by el jusuf

Seharian lelah karena banyak menangis di hari terakhir bekerja. Belum lagi ada jadwal photo studio dan makan-makan bareng bersama anak-anak di sore hari. Malamnya aku sudah menjadwalkan untuk langsung pulang ke kampung halaman, mengingat sebelum aku masuk ke tempat kerja baru, barang-barang yang masih berantakan di rumah harus dibereskan terlebih dahulu. Selain ingin menata ulang hidupku lagi, tak lupa aku pun ingin menata kamarku di rumah agar aku bisa nyaman belajar, menulis, dan berkarya. 

Kadang, kepindahan fisik hanyalah simbol dari keinginan untuk menata ulang diri. Seperti kamar yang ingin aku rapikan, aku pun ingin menata ulang isi kepala dan hati yang selama ini penuh sesak. Hehee.

Di hari itu juga handphone ku mati, tak bisa digunakan dan harus diservis. Maka yang bisa aku andalkan adalah dengan menggunakan Ipad, itupun harus menggunakan WiFi. Alhamdulillahnya, sebelum aku pulang, adikku ke kosan dulu untuk mengambil makanan. Keretaku dijadwalkan akan berangkat pukul 20.11 WIB. Dari pukul 19.00, dengan menggunakan handphone adikku, aku sudah memesan taxi online. Sayangnya, drivernya sangat menyebalkan. Dia gak mau masuk ke gang, lebih tepatnya menjemput aku di depan kosan, dan malah meminta aku untuk menunggu di pinggir jalan raya besar. Oke, aku turuti keinginannya. Begitu aku sampai di jalan raya sambil menyeret satu koper besar, dia tetap tidak mau maju dan minta untuk aku menghampiri dia. Gila! Jalanan ramai dan aku hanya punya waktu sekitar 40 menit lagi sebelum kereta aku tiba. 

Malam itu terasa seperti ujian terakhir sebelum lembaran baru dibuka. Aku diuji sabar, diuji tenang, dan diuji untuk tidak meledak karena segala hal terasa salah dan menyebalkan. 

Adikku juga turut ikut membantuku membawa koper kecil dan tentengan barang lainnya dengan motornya. Sudahlah capek, kesal, aku gusar, dan aku menangis di pinggir jalan. Sementara itu, adikku kembali memesan taksi online lain dan akhirnya tiba juga. Adikku bahkan harus terlambat ke tempat kumpulannya karena harus menungguku untuk mendapatkan taksi online. 

Alhamdulillah, aku bisa sampai di stasiun 15 menit sebelum kereta datang. Begitu aku turun dari mobil, aku langsung masuk ke kerumunan orang-orang untuk mencari porter. Sayang seribu sayang, aku tidak menemukan porter dan aku harus menyeret dua koper dan tas tentengan lain sendiri ke dalam stasiun. Aku sudah gusar lagi saat melihat antrean pencetak tiket itu cukup panjang. Karena aku tidak membawa hp dan tiketku di pesan oleh adik, otomatis aku hanya punya kode tiket dan aku harus mencetak tiket secara manual.

Aku langsung meminta izin kepada orang-orang yang sedang mengantre itu karena keretaku akan tiba 10 menit lagi. Begitu sampai di depan mesin pencetak tiket, aku langsung mengetikkan kode tiketku dan lagi-lagi, entah drama apalagi, mesin pencetak tiketnya error! Aku langsung celingak-celinguk mencari petugas.  Setelah tiket dapat, aku langsung mencari porter dan begitu melihatnya aku langsung memanggil si bapak porter tersebut. Aku sudah ngos-ngosan menghadapi ini semua. Alhamdulillahnya, si bapak porter ini baik banget dan meminta aku untuk cut the line orang-orang yang ada di depanku, mengingat kereta akan segera datang. Alhamdulillahnya lagi, orang-orang yang sedang mengantri pun memahamiku dan langsung memberikan jalan.

Malam itu aku belajar bahwa dalam keadaan kacau dan gusar, selalu ada orang-orang baik yang membantu. Mungkin, itu bentuk cinta dan kasih sayang Allah yang dikirim dalam wujud orang-orang yang tidak aku kenal. 

Lima menit tersisa dan aku bisa membuang nafas lega begitu sudah sampai peron. Tak lama, kereta datang. Aku kedapatan kursi di dekat jendela dan di sampingku ternyata sudah terisi oleh seorang laki-laki. Begitu aku duduk, aku langsung menghadap ke jendela dan aku sudah tak bisa lagi membendung air mataku.

Aku menangis di kereta. Rasanya hari itu sangat menguras emosi. Sedih karena harus meninggalkan Bandung, meninggalkan semua kenangan, ditambah proses perjalanan pulang ini rasanya penuh drama. Aku tak peduli dengan laki-laki di sampingku, begitu juga dengan dia yang nampaknya sama tidak peduli denganku. 

Belum puas agar tangisku bisa lebih pecah lagi, aku memilih untuk membaca surat yang ditulis oleh salah satu muridku. Begitu membacanya aku menangis lebih hebat lagi. Setelah puas menangis, rasa kantuk pun menyerang. Aku membuka plastik yang menyelimuti selimut, mengenakkannya dan akhirnya tertidur. 

Begitu terbangun, aku sadar 40 menit lagi aku akan sampai di kampung halamanku. Aku sadar, iPadku tidak bisa tersambung ke WiFi kereta. Berkali-kali aku latihan dalam hati untuk meminta tethering data dari laki-kali di sampingku. Aku tahu aku malu, tapi kalau malu, aku tidak bisa mengabari orang tuaku. Setelah berkali-kali meyakinkan diri, akhirnya aku memberanikan diri. 

“Kang, boleh ikut tethering data? Saya gak bawa hp soalnya.” 

“Coba aja pakai wifi kereta.” Jawab dia. 

Aku hanya menuruti ucapan dia walau aku tahu itu sudah aku lakukan tadi dan tidak berhasil. 

“Sudah Kang, tapi gak berhasil.” Jawabku sembari memperlihatkan iPadku kepada dia.

Dia diam sejenak, lalu mengambil handphonenya. 

“Saya mau menghubungi orang rumah kalau saya pulang malam ini.” 

“Coba pakai yang saya,” katanya sambil menunjukkan nama hotspot-nya.  “Passwordnya….”

Aku hanya mengangguk. Lalu aku langsung menelfon Mamah.

“Terima kasih, Kang.” Kataku lalu mematikan WiFi.

“Iya sama-sama.”

Entah dari mana awalnya, akhirnya kami bisa akrab mengobrol. Ternyata beliau ini asli orang Surabaya. Karena tahu dia orang Surabaya, aku megganti panggilanku menjadi “Mas.” Obrolan pun mengalir.

Topik berganti-ganti, dari mana ke mana, ngapain aja,  tentang kursi  dekat jendela yang kata dia sudah terisi sebelumnya di aplikasi dan dia tidak bisa booking itu. Padahal dia pesannya jauh-jauh hari sedangkan aku pesan dua jam sebelum pemberangkatan dan malah aku yang dapat. 

"Oh, mungkin ada yang cancel di akhir-akhir ya."

Sampai akhirnya, obrolan mengarah ke pekerjaan.

“Baru kerja berapa tahun berarti di Bandung?”

“Tiga tahun.” 

“Tiga tahun? Wah kalau saya lebih sebentar lagi.”

“Berapa, Mas?"

“Sepuluh tahun.”

“Hah? Sepuluh tahun?”

“Iya, sepuluh tahun. Ya, saya juga bosan dengan rutinitas yang sama. Tapi mau gimana lagi.”

“Apa yang membuat Mas bertahan lama di pekerjaan Mas saat ini?”

“Saya kerja cuma buat survive, Mbak. Saya sudah berkeluarga. Kalau belum sih bisa buat loncat-loncat kerjaan.”

Aku terdiam. 

Kerja cuma buat survive, bertahan. Kalimat itu membekas. Ada banyak orang di luar sana yang tidak memiliki kemewahan untuk memilih pekerjaan sesuai passion. Yang penting bisa makan. Bisa hidup. Bisa bayar listrik dan bayar sekolah anak.

Sementara itu aku masih sendiri. Belum punya tanggungan besar dan justru sedang dalam proses mengejar mimpi. Kadang kita terlalu sibuk dengan bising di kepala kita, sampai lupa untuk menghargai dan mensyukuri ruang yang Allah masih beri untuk belajar, mencoba, dan tumbuh. 

Lalu dia kembali bercerita panjang dan aku hanya mengangguk-angguk, menyimak. Meski isi kepalaku sangat berisik.

Bekerja hanya untuk bertahan. 

“Mbak, waktu sampean datang tadi kemudian duduk kelihatan sekali wajahnya murung. Kemudian ya sampean nangis, saya kira wah ini kayaknya habis putus cinta. Ternyata bukan.” Ungkap dia sebelum aku bersiap-siap untuk turun.

Aku tersenyum.

“Ini bentar lagi ya turun?”

“Iya,” jawabku sembari izin untuk menurunkan barang dari bagasi atas.

“Mau dibantuin, Mbak?” 

“Boleh.” Jawabku sembari tersenyum kegirangan.

“Hati-hati, Mbak,”

Lalu aku berjalan menuju pintu keluar. 

Bekerja hanya untuk bertahan.

Aku masih single, masih dikasih kesempatan oleh Allah untuk bisa explore lebih banyak lagi soal pekerjaan dan kehidupan. Ditambah punya orang tua yang support. Kira-kira nikmat mana lagi yang aku dustakan? 

Aku tahu pindah kerja itu gak mudah dan harus adaptasi lagi. Tapi, kapan lagi bisa belajar hal yang baru, jika bukan sekarang? Saat satu-satunya tanggung jawabku adalah pada diriku sendiri?

Hari itu bukan hanya tentang perjalanan dengan kereta. Tapi, juga perjalanan diri yang mengantarkanku untuk lebih bersyukur, lebih kuat, dan lebih siap membuka halaman baru dalam hidupku.

Dan satu hal yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.

Saat dia mengatakan,

"Waktu sampean datang tadi kemudian duduk kelihatan sekali wajahnya murung. Kemudian ya sampean nangis, saya kira wah ini kayaknya habis putus cinta..."

Kalimat itu membuatku berpikir, berarti dari awal dia sudah memperhatikanku?

Selama ini aku selalu merasa tidak mudah didekati. Bahkan oleh orang-orang yang duduk di sebelahku sekalipun. Apakah aku memang telihat jutek? Menurut orang-orang sih iya, aku jutek kalau belum kenal. Atau mungkin aku sendiri yang terlalu cepat membatasi ruang bagi orang asing untuk masuk?

Aku jadi bertanya-tanya sendiri.

Apa ini juga alasan kenapa aku belum juga menemukan jodoh?

Bisa jadi bukan karena belum dipertemukan. Tapi, karena aku belum membuka pintu. Atau bahkan aku belum menyadari kalau sebenarnya ada seseorang yang pernah berdiri di depan pintu itu, mengetuk dengan pelan tapi akunya udah terlalu takut untuk mendekat?

Dari kereta malam itu, aku jadi belajar bahwa hidup selalu membawa hal-hal yang tak terduga. Dari mulai drama yang menguras emosi, aku yang pada akhirnya mencoba untuk memberanikan diri meminta tolong pada orang asing, sampai pada akhirnya obrolan dan ucapannya membuat aku banyak berpikir. 

Aku masih belajar untuk lebih terbuka. Jujur sih, ini masih jadi hal yang sulit untuk aku. Aku sulit untuk mengawali, kecuali kalau sudah kepepet baru memaksakan diri. Apa mungkin karena sudah terbiasa melakukan apapun sendiri apa gimana ya? 

Yuk belajar untuk tak buru-buru menutup diri. Siapa tahu, hal-hal baik datang saat aku berani membuka ruang, meski hanya sedikit. Hehee. 

Cheers,

Solihat





 

Photo by cottonbro studio


Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Meski ingin sekali aku memperlambat waktu, hanya saja keputusan sudah dibuat dan aku tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. 

Keputusan untuk resign dari tempat kerjaku saat ini bukanlah perkara mudah. Butuh waktu hampir satu tahun untuk bener-benar memantapkan hati bahwa aku harus mengambil langkah besar ini. Perasaan dan suara-suara itu tumbuh perlahan, dari rasa lelah yang aku pendam, dari keyakinan yang mulai goyah, dan dari hati yang pada akhirnya jujur bahwa aku butuh ruang baru untuk tumbuh. Bukan karena aku membenci tempat itu, tapi karena aku mulai belajar mencintai diriku sendiri.  

Ada begitu banyak hal yang membuat aku bersyukur pernah bekerja di sana. Teman-teman yang suportif dan senantiasa selalu mengingatkan aku tentang kebaikan.  Anak-anak yang mewarnai hari-hariku dengan canda dan tawa. Serta pelajaran-pelajaran hidup yang tidak bisa aku beli di tempat lain. Ada momen-momen di mana membuat aku bangga pernah menjadi bagian dari mereka. Aku belajar banyak tentang tanggung jawab, keikhlasan, kepasrahan, dan tetap bersabar serta tersenyum kala hati remuk serta fikiran yang awut-awutan. 

Satu tahun yang kulewati kemarin sungguh sangat berat. Aku pernah berada di fase aku cemas akan masa depanku, sulit tidur, menangis setiap malam tanpa tahu alasan yang pasti, menyalahkan diri sendiri karena merasa belum cukup, dan terus membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Aku tak layak, payah. Bahkan, pernah di suatu malam, di tengah tangis yang tak henti dan aku bingung ini karena apa, aku terpaku menatap benda tajam dan sempat terbersit pikiran untuk menyakiti diri sendiri.

Berkali-kali saat aku berbicara dengan rekan kerjaku, yang ada justru air mata yang berbicara. Aku pun sendiri bingung dengan kehidupanku saat itu. Mungkin karena beban pekerjaan yang menumpuk, tuntutan sana-sini, dan ekspektasiku yang selalu tinggi. Saat semuanya berjalan tak sesuai harapan, aku kerap menyalahkan diriku sendiri. 

Lelah? Sangat lelah. Selain itu, ada kecewa yang menggumpal. Tentang perlakuan yang tidak adil, yang terpaksa aku pendam karena aku belum cukup berani untuk menyuarakannya. Aku tahu, sekalipun disampaikan, mungkin akan tetap diabaikan. Aku marah pada diri sendiri dan juga keadaan. Kekecewaan itu cukup membekas di hatiku. 

Tapi ya sudahlah. Ternyata kekecewaan itu menjadi alasan awal yang membukakan gerbang untuk aku untuk memutuskan resign. Lalu, alasan demi alasan pun bermunculan. Aku ingin mengejar impianku yang tertunda, dan semua itu tak mungkin bisa aku raih jika aku masih bertahan. Belum lagi, orang tua yang berada di kota lain, membuatku merasa bersalah setiap kali mereka meminta bantuan, sedangkan aku tak berada di samping mereka. 

Bulan Desember itulah menjadi titk balik. Dengan penuh keyakinan, aku memantapkan diri untuk resign. 

Dan anehnya, setelah aku mencoba memaafkan semuanya yang pernah aku lalui, entah mengapa perjalanan resign ini begitu melegakkan. Tak ada lagi dendam, tak ada lagi rasa kecewa.  Justru yang ada, aku malah bersyukur pernah dikecewakan hingga akhirnya aku bisa menemukan kembali mimpiku yang sempat tertunda. Di akhir masa kerjaku, aku menyelesaikan seluruh tanggung jawabku. Tidak ingin ada yang tersisa. Meski saat itu hatiku tengah hancur dan hidupku kacau balau tak tahu arahnya ke mana, aku tetap memilih untuk menuntaskan semuanya. Dengan senyum dan juga tawa yang kuperlihatkan kepada orang-orang, walau sejujurnya dalam hati aku sudah lelah setengah mati. Aku menyadari satu hal pada saat itu. Aku resign bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi aku resign karena memang sudah waktunya dan urusanku di sini sudah selesai.

Dan saat hari itu tiba, entah mengapa beban di pundakku terasa ringan. Tak ada lagi ekspektasi yang membebani. Meski ada kesedihan karena beberapa hal dalam hidup akan berubah, tak lagi sama seperti sebelumnya. Tapi, hidup harus terus berjalan dan aku masih punya impian yang harus aku perjuangkan. 

Aku belajar untuk tidak menggenggam terlalu erat untuk apapun yang Allah titipkan, termasuk perkara pekerjaan yang dulu aku banggakan. Karena hidup akan terus mengajarkan kita, membuat kita sebagai manusia tentu akan berubah cara pandangnya. Jalani sewajarnya saja. Tak perlu berlebihan apalagi digenggam erat. Karena yang kamu miliki saat ini suatu saat akan meninggalkanmu atau justru kamu yang akan meninggalkannya.

Untuk diri aku sendiri, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku sayang sama kamu. 

Dan untuk orang-orang terdekat yang sangat berarti dalam perjalananku:

Sahabatku, Bu Risma. 

Terima kasih banyak sudah menjadi teman, sahabat sekaligus keluarga selama aku tinggal di Bandung. Teman suka dan duka, yang selalu mengingatkan aku untuk sabar dalam kondisi apapun. Di manapun kamu berada, may Allah always protect you ya, Ceu.

Rekan kerja, sekaligus guru bagiku, Pak Mus.

Pak, terima kasih banyak untuk semua ilmu dan bimbingannya. Aku yang awalnya awam banget mengenai leadership, sangat tertolong dengan kata-kata Bapak: “Gak apa-apa” dan “Itu wajar, Bu. Itu normal.” Kalimat yang akhirnya menyadarkan aku bahwa dalam setiap proses yang kita perbuat akan selalu ada ketidaksempurnaan yang justru menjadi ruang belajar terbaik. Mengajarkan aku bahwa gak apa-apa mulai dulu seadanya, gak usah nunggu dulu sempurna. Terima kasih karena tidak menuntut, justru malah menuntun. Terima kasih banyak, Bapak.

Saatnya melangkahkan kaki untuk pergi dan memulai yang baru. Meski kerap dihantui perasaan ragu, perkara masa depan adalah pekerjaan Allah dan kamu tak perlu mengambil alih sesuatu hal yang bukan menjadi ranah kamu. Serahkan semuanya pada Allah, karena Allah adalah sebaik-baiknya perencana. 

Love,

Solihat

 

Photo by Abdulmeilk Aldawsari

Berawal dari insta story yang lewat.

doc. pribadi


Seketika mulutku beristighfar. 

Kadang kita suka lupa kalau segala sesuatu sudah Allah atur, sudah Allah tetapkan sejak awal. Itulah mengapa dalam Islam kita diajarkan konsep tawakal. Tawakal itu sendiri berarti  menyerahkan segala urusan pada Allah setelah kita melakukan ikhtiar.  Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin, tawakkal adalah menyandarkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa dan hati yang tenang (Setiawan & Mufahirah, 2021). Aku sendiri mengartikan bahwa kita tidak lagi mengandalkan, menghamba atau menggantungkan hasil pada usaha yang sudah kita perbuat, tapi kita menerima dengan lapang dada atas apapun keputusan Allah nantinya. Dengan catatan, kita sudah berusaha serta berdoa  semaksimal mungkin.

Kini aku mulai faham, mengapa dulu Bapak sering bilang, "Tidak ada namanya gagal, yang ada hanyalah kemenangan yang tertunda." Dulu aku mengira itu hanya sekedar kata-kata penghibur. Ternyata, sekarang aku menyadari bahwa itu benar adanya.

Gagal itu sejatinya baru bisa disebut gagal, jika kita menyerah dan enggan memperbaiki diri. Bukankah begitu? 

Menurut KBBI sendiri gagal adalah tidak berhasil, tidak tercapai. Sedangkan dalam Cambridge Dictionary,  failed itu artinya unsucceful. 

Tapi, jika kita renungkan lebih dalam, apakah benar sesutau itu layak disebut "gagal" hanya karena belum mencapai hasil seperti yang kita harapkan? Bagaimana jika "gagal" itu sebenanarnya adalah cara Allah untuk membelokkan kita menuju jalan yang lebih baik? Atau mungkin, itu adalah bentuk latihan dari Allah agar hati  kita tidak mudah bergantung pada hasil, melainkan pada proses dan izin-Nya?

Sebab, ukuran keberhasilan dalam padangan manusia sering kali berbeda dengan ukuran keberhasilan menurut Allah. Apa yang tampak "tidak berhasil" hari ini, bisa jadi adalah langkah kecil menuju kemenangan besar di masa depan. Dan aku pernah melewati itu semua. Mungkin di kesempatan lain aku bahas itu.

Kembali ke story instagram yang aku lihat tadi, aku jadi teringat  dua kejadian besar dalam hidupku.

Saat Aku Yakin Allah yang Membiayai Kuliahku

Usia 18 tahun, harus membiayai kuliahnya sendiri dengan total hampir 30 juta? Bagi sebagian orang itu terdengar mustahil. Tapi saat itu, aku yakin bahwa Allah yang akan membiayai kuliahku, meskipun pada saat itu aku hanya memiliki uang pas-pasan. Keyakinan bukan hanya sekedar duduk manis mengharapkan uang dari langit berjatuhan begitu saja tanpa usaha. Tentu aku bekerja keras agar bisa membiayai kuliahku sendiri. Aku kerja sambil kuliah. Dua hal yang sungguh sangat melelahkan, dan hampir menyerah. Tapi, Alhamdulillah, Allah memampukan itu semua.

Di tengah kondisi ekonomi keluarga yang sulit, ditambah cibiran orang sekitar yang meremehkan pekerjaan orang tuaku, yang menurut mereka itu mustahil untuk bisa membiayai kuliahku.  Saat itu, yang ada di benakku adalah selama aku berbuat baik tapi kamu kekurangan secara materi - dalam hal ini kuliah ya mencari ilmu, aku yakin Allah pasti akan memudahkan itu semua. Allah tidak akan ingkar kepada hamba-Nya yang ingin berbuat kebaikan. 

Dengan keyakinan itu semua, ditambah ikhtiar dan do'a juga, alhamulillah aku bisa menyelesaikan kuliah meskipun harus menambah satu semester. Tapi justru itu adalah kado terbaik dari Allah, di saat aku tidak menaruh ekspektasi apapun, aku hanya terus meyakinkan diri bahwa Allah pasti memampukan aku. Dan yaaa. There is no impossible for Allah. Kun fa yaakun. 

Terlalu Percaya Diri, Lupa Bertawakal

Kejadian ini hal yang berbanding terbalik. 

Saat aku pindah ke tempat baru, aku merasa ilmu dan pengalamanku dari tempat sebelumnya bisa membawaku terus berada di urutan top, lupa bahwa di tempat baru akan selalu ada hal baru yang membuat kita harus belajar lagi dari awal. 

Tak lama setelah itu, aku diuji dengan berbagai kegagalan (kata orang gak apa-apa, tapi aku tetap berfikir bahwa semua itu gagal menurut pandanganku, belum ideal, semuanya tak sesuai dengan harapan) dan aku terlalu mengandalkan usahaku ketimbang meyakini bahwa sesuatu sudah Allah atur. Yang terjadi apa? Aku capek, merasa terus-terusan menjadi manusia gagal, dan pada akhirnya aku terus-menerus menyalahkan diri sendiri dan keadaan. Bahkan, sempat terbersit untuk melukai diri sendiri. 

Seiring berjalannya waktu aku sadar. Bahwa perkara izin dan tidak diizikannya sesuatu itu bukan serta merta karena usaha kita. Tapi ada andil Allah yang Maha Bijaksana di sana. Jika kita bertumpu pada usaha yang kita kerahkan, saat kegagalan datang menjumpai tentu kita cenderung menyalahkan diri sendiri dan keadaan. Berbeda pada saat kita sudah benar-benar tawakal kita akan dengan bijak take a step back, mengevaluasi dan jauh lebih mudah untuk maju kembali. Kenapa? Karena mindset dan keyakinan yang tertanam adalah Allah sudah atur semuanya. Allah sedang mendidik aku. Allah ingin aku belajar lagi. Allah sedang mempersiapkan hal lain yang lebih baik lagi.  

Pelajaran dari Perang Badar dan Hunain

Begitupun dengan kisah kedua perang tersebut. As we know, Perang Badar sendiri jumlah pasukan muslim sangat sedikit dibandingkan sengan pasukan kafir. Belum lagi, perlengkapan perang yang jauh lebih siap dibanding pasukan muslim. Namun dengan keyakinan dan tawakal yang kuat, Allah menurunkan pertolongan-Nya hingga kemenangan berpihak kepada kaum Muslimin. 

Berbeda dengan Perang Hunain. Dalam perang ini, jumlah pasukan Muslim sangat banyak bahkan lebih dari musuh. Namun justru karena merasa kuat dan terlalu percaya diri, pasukan Muslim sempat terdesak di awal peperangan. Allah mengabadikan kisah ini dalam QS. At-Taubah: 25-27)

Dari semua yang sudah aku tulis, aku terus mengingatkan diri sendiri bahwa hasil itu berada di tangan Allah. Setelah usaha dibarengi dengan do'a lalu diakhiri dengan tawakal: menyerahkan segala urusan kepada Allah, inshallah kamu akan lebih siap dalam menerima apapun hasilnya nanti. Tidak kecewa ketika kamu belum bisa meraihnya dan tidak menyombongkan diri ketika kamu bisa mendapatkannya. 

Kamu bukan gagal, tapi belum diizinkan.


Love,

Ihat


Daftar Pustaka

Setiawan, D & S. Mufarihah. (2021). Tawakal dalam Al-Qur'an Serta Implikasinya dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Studi Al-Qur'an,17(1).

Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

POPULAR POSTS

  • Reflection Journal 26: Living in the Present
    Photo by Anna Tarazevich I really didn't know myself at that time. When I got the invitation, my first thought was, I can't do bot...
  • Reflection Journal 25: I know
    Photo by Wendelin Jacober I know. I know what I feel.  I was angry when reality slapped me again. When he said that we would never meet in r...
  • Refleksi Catatan 24: How Was Your Week?
    Photo by Markus Winkler How was your week? Sebuah kalimat sederhana yang sering banget jadi pembuka keran cerita. Kalimat yang pada akhirnya...

Categories

  • BPNRamadan2021 1
  • Books 6
  • Catatan Harian 42
  • Dari Masa Lalu 2
  • Jalan-jalan 3
  • Puisi 1
  • Refleksi Diri 75
  • Satnight Story 3
  • Self Talk 1
  • Tentang si Kecil 2
  • Thanks for Leaving Me 1

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (33)
    • ▼  August (4)
      • Reflection Journal 27: Redefining Success
      • Reflection Journal 26: Living in the Present
      • Reflection Journal 25: I know
      • Refleksi Catatan 24: How Was Your Week?
    • ►  July (6)
    • ►  June (3)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

BloggerHub Indonesia

Friends

Translate

Copyright © Hi Solihat. Designed & Developed by OddThemes