![]() |
Photo by may day.ua: |
Beberapa hari tidak menulis justru membuat fikiran berisik tak karuan. Maka dari itu, menulis buat aku adalah healing terbaik dan juga mudah. Kamu hanya perlu menuangkan seluruh isi kepalamu ke dalam kata-kata yang dirangkai hingga menjadi kalimat tanpa perlu merasa ini benar atau salah. Karena semua perasaan yang kamu rasakan itu valid, and that's normal.
Kalau ditanya, how was your week?
I'm so grateful for this week.
Meski hidup memang gak bisa ditebak arahnya ke mana. Waktu itu aku mintanya buat istirahat dulu, tapi ini malah dikasih wahana roller coaster. Aku masih ingat, waktu aku bilang aku gak mau dulu jadi guru, eh yang terjadi malah sebaliknya. Aku masih saja diterima di pekerjaan yang sama. Padahal dalam hati udah yakin, kayaknya gak bakalan keterima deh. Tapi qadarullah, ya tetap keterima. Allah masih tuntun aku di jalan ini.
Lucunya ketika aku merasa tidak mampu dan aku sampaikan semua itu kepada atasanku, justru atasan aku hanya tersenyum dan bilang bahwa aku itu memiliki potensi dan kemampuan yang selama ini akupun tak mampu membacanya sendiri.
Belum lagi, serangkaian kegiatan PPG yang mengharuskan aku mau tidak mau harus punya sekolah. Kesibukan akupun bertambah. Tidak hanya menjadi guru di kursusan, akupun kini menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar negeri. Dan aku merasakan sendiri bagaimana rasanya digaji kecil. Pagi sampai siang aku di sekolah, lanjut sore sampai malam itu di kursusan. Capek? Jangan ditanya. Gaji nyampe sebulan 10 juta? Hahahaaa. Enggak juga. Kadang pengen ngeluh, tapi ya mau gimana lagi. Harus dijalani. Sempat mikir, apa karena aku gak layak jadi di gaji kecil gitu ya? Biar bisa sebulan dapet 2 juta aja ampun kerjanya harus banting tulang dari pagi ampe malem. Tapi setelah obervasi dan cari info sana-sini, emang sistemnya udah dibuat kayak gini di Indonesia. Ya buktinya aja yang ada di atas, gajinya aja selangit, sementara kami? Kamu jawab sendiri aja deh.
Ya sudahlah, tak ada habisnya mengeluh soal negeri ini. Meski dicurangi oleh pemerintah sendiri, satu keyakinan aku. Apa yang menjadi milik aku tidak akan pernah tertukar. Dan hanya Allah yang menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Kalau para pejabat itu bisa berkelimpahan harta dari cara yang haram, ya mereka juga akan menanggung semua itu kok. Kalau gak di dunia, di akhirat udah pasti gak akan bisa berkelit dan mengelak.
Meski capek, ada rasa haru dan bahagia saat melihat anak-anak sekolah, belajar. Ada siswa yang bela-belain salam sama aku sebelum dia masuk kelas. Dia berjalan ke lapangan untuk bisa bersalaman dengan aku, kemudian menyapa aku dengan bahasa Inggris.
"Good morning, Bu." Katanya sambil tersenyum malu-malu.
Ada juga yang menulis bahwa dia ingin pintar seperti aku. Padahal aku juga gak pintar-pintar amat kok. Aku cuma senang belajar aja. Atau anak TK di kursusan yang menegur aku,
"Ms, matanya jangan dikucek. Nanti perih, sakit."
Aku terdiam. Lalu tersenyum. Ada perasaan hangat yang menyusup dalam hati.
Ah, entahlah. Aku juga aneh. Di saat aku ingin berhenti, tapi Allah tidak menginginkan itu. Justru dengan semua kesibukan yang Allah beri, perlahan Allah sembuhkan aku.
Selain itu juga, kembali mengajar di sekolah lamaku dulu mempertemukan aku dengan teman lamaku yang juga dulunya adalah saingan langganan di kelas. Dia sudah lebih dulu mengabdi di sekolah ini. Satu minggu kemarin jika ada kesempatan untuk mengobrol, tentu kami akan bernostalgia dan sesekali update mengenai kehidupan kami masing-masing.
"Kalau harus beradu nasib, ya semua orang juga sama. Punya masalahnya masing-masing. Gak ada yang mendang-mending, semua sama. Hanya persoalannya saja yang berbeda. Kalau saya harus cerita, sama. Kehidupan saya juga susah."
"Btw, kamu lagi deket sama siapa?"
Aku jawab aku lagi gak deket sama siapa-siapa. Tapi temanku itu gak percaya. Sampai akhirnya aku bilang bahwa aku lagi berteman dekat dengan seseorang.
"Ini sih saran saya sebagai laki-laki. Kalau dari awal dia gak ada niatan serius, mending tinggalkan. Karena tanpa sadar kamu sama dia udah bikin ikatan yang kuat. Saya takutnya kamu jadi buta sama kemungkinan lain."
Akupun terdiam.
Aku tahu, aku nyaman sama orang ini. Aku merasa nyaman, aman, dan juga bisa menjadi diri sendiri. Tapi untuk apa semua itu kalau dia memang tak ingin menjadikan aku sebagai bagian hidupnya? Kalaupun memang rintangan ini terlalu besar dan dia enggak sanggup, harusnya dia juga gak egois dong untuk tetap minta aku menjadi teman dia?
Obrolan dengan teman aku ini membuatku berfikir. Apalagi saat dia bilang dia tak bisa menelfon aku karena ada kakaknya yang sedang datang ke rumahnya. Besoknya sama, dan aku sampaikan aja pembicaraan aku dengan teman aku itu ke dia.
Dan ya. Dia tetap dengan pendirian dia bahwa dia hanya ingin berteman saja denganku. Meski aku sudah tahu itu yang akan menajadi jawaban dia, tapi dengan melihat perubahan dia selama ini aku memiliki setitik harapan. Harapan bahwa bisa jadi perasaannya saat ini mulai berubah. Tapi kenyataannya? Tidak. Perubahan yang dia kasih buat aku ternyata gak menjamin bahwa perasaan dia berubah juga untuk aku. Maka dari itu, daripada aku harus drama lagi dengan dia seperti dulu dengan cara aku memblokir dia, perlahan saja aku mundur. Seperti mengurangi intensitas komunikasi dengan dia, tidak terlalu excited lagi dengan kehidupan dia, walau jauh dari lubuk hati terbesar aku, aku masih ingin tahu banyak hal. Hanya saja... Semakin aku tahu, semakin aku tersesat dan sulit untuk pulang.
Aku tahu ini gak mudah. Tapi aku pun harus tegas dengan diriku sendiri. Buat apa tetap sama orang yang dia sendiri gak mau kamu ada dihidup dia? Buat apa saling support, saling berbagai soal kehidupan kalau nyatanya sampai akhir dia tetap bersikukuh bahwa kamu hanya jadi second lead? Bukan jadi main lead?
Usiaku 28 tahun.
Karir aku berantakan.
Tabungan aku habis gak karuan.
Gaji juga alhamdulillah pas-pasan.
Kisah cinta yang menyedihkan.
Hahahaaa.
Ya, sudahlah. Mari tertawakan saja.
Aku jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat ada yang memanggil namaku secara lengkap, dua kali lagi.
Aku terdiam cukup lama untuk mengingat nama orang yang memanggilku. Ternyata dia adalah teman satu kelas aku dulu, dan rupanya dia sedang menunggu jam kepulangan anaknya.
"Udah nikah belum?" Lagi dan lagi, pertanyaan ini. Batinku.
"Belum," jawabku sambil senyum.
"Ih kenapa? Oh, ini ya fokus karir dulu ya. Soalnya kan kamu dari dulu emang pinter."
Aku tersenyum walau dalam hati aku meringis. Gak gitu juga. Hei!
Pada hakikatnya kita semua ternyata saling sangka ya soal kehidupan kita masing-masing.
Yang dilihatnya enak, ternyata enggak kok.
The grass is always greener on the other side.
Kira-kira begitulah.
Ya sudah, aku tak mau berlama-lama galau. Aku masih butuh duit buat hidup ini. Hahahaa.
Mari kita tertawakan semua hal-hal yang mungkin terasa menyedihkan ini.
Oh iya, minggu kemarin juga ada satu hal yang bikin perasaan aku campur aduk. Pada saat Mamah bela-belain nganter aku buat beli beberapa keperluan untuk mengajar. Baru kali itu, aku lihat Mamah se-excited pas memilih barang-barang. Tapi di saat yang sama aku juga sedih, karena aku belum punya cukup uang untuk bisa bikin mamah beli barang yang dia suka. Walau aku tahu, mamah gak pernah minta itu dari aku. Sampai akhirnya mamah tanpa sadar bilang,
"Mamah itu seneng kalau belanja sama kamu. Soalnya bisa lihat barang-barang dan milihnya lama, jadi punya banyak pilihan."
Aku terdiam. Kata-kata sederhana itu menyusup ke dalam hati.
Tarik nafas. Hempaskan perlahan.
Aku cuma mau bilang sama diri aku,
Thank you for choosing to keep moving forward and keep learning. Because, as long as you live, challenges will always come and go. Remember, never stop learning, because life never stop teaching. I know, it is hard for you. But remember. You have Allah who always guides and accompanies you in every situation. Allah trusts you to go through this life. So please, don't underestimate yourself. Just seek for His sake, not human validation or appreciation.
Cheeers,
Solihat