Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me
doc. pribadi


Identitas Buku

Judul: A Guide Book to Trust Yourself

Penulis: Ares Ulia

Tahun Terbit: 2022

Penerbit: Penerbit Briliant

Jumlah Halaman: 142 

Blurb

Mental breakdown, introvert hangover, burnout, overthinking, dan masih banyak lainnya berhubungan dengan diri sendiri, interaksi sosial, dan rasa lelah akibat perpaduan hal-hal tersebut. Baik fisik, pikiran, ataupun mental harus selalu dirawat karena kesehatan dari ketiga hal tersebut semuanya sama-sama penting. Tidak ada yang lebih penting dibanding lainnya. Bahkan, beberapa sakit fisik bisa timbul karena banyaknya beban fikiran. 

3 Insight Utama

1. Saat overthinking kambuh, kita bisa lakukan langkah nyata dengan menulis apa pun yang mengganggu pikiran kita. Anggap menulis sebagai ajang curhat dan wadah untuk mencurahkan semua kegelisahan yang ada dalam diri. Selain itu, kegiatan ini juga melatih kita untuk lebih jujur pada diri sendiri.

2. Kita selalu meremehkan kemampuan diri kita sendiri. Padahal kemampuan individu itu selalu bisa ditingkatkan. Tidak bisa pada percobaan pertama bukan berarti akan selamanya tidak bisa.

3. Kalau punya rencana, keep it secret. Berhenti banyak bicara dan langsung lakukan saja.

Refleksi Pribadi

Aku mau mengucapkan terima kasih banyak, jazakillah khoiran katsiira buat Bu Sabin yang sudah menghadiahkan buku ini. Dari buku ini aku jadi sadar, ternyata dunia tidak semenyeramkan bayangan di kepala. Sekarang, kalau overthinkingnya mulai kambuh, aku biasanya langsung ambil buku atau kertas untuk menuliskan semua ketakutan yang ada di pikiran. Hasilnya? Aku bisa lebih lega, karena ternyata semua itu hanya imajinasi di dalam kepala. 

Selain itu, overthinking sering merambat ke konsep diri. Jujur, aku sering jadi merendahkan kemampuan diri sendiri. Gagal dipercobaan pertama sering membuat aku menyimpulkan kalau aku itu gak capable dan ingin pindah ke bidang lain. Padahal konsepnya gak gitu. Lingkungan kerja aku juga alhamdulillah sangat suportif. Jadi sekarang, aku belajar untuk lebih banyak mengapresiasi diri sendiri sekecil apa pun atas usaha yang sudah dilakukan, sambil terus evaluasi dan belajar lagi. Bukankah orang-orang yang expert di bidang tertentu awalnya juga seorang beginner kan? Dengan banyak trial and errornya? 

Terakhir, bagian yang paling menampar aku adalah soal keep your plan secret. Karena kalau banyak diumbar sana-sini, seringnya malah muncul banyak komentar atau masukan, yang pada akhirnya bikin kita malas memulai. Apalagi kalau sudah dapat pujian, rasanya kayak cukup sampai sebatas rencana saja tanpa benar-benar terealisasi.

Rekomendasi

Menurutku, buku ini cocok untuk siapa saja yang sedang merasa gagal, tak berdaya, sering overthinking atau merasa bahwa dirinya sendiri tidak layak. Buku ini juga pas dibaca saat kamu lagi butuh teman refleksi, supaya sadar kalau ternyata banyak hal yang bisa diselesaikan dengan langkah sederhana. Selain itu, buku ini ringan dibaca, jadi cocok buat kamu yang baru mulai tertarik dengan tema self-healing dan pengembangan diri. 


Cheers,

Solihat

Photo by Pavel Danilyuk

One thing that I have to be grateful for is my parents' support. They are the reason I can keep going when everything feels heavy.

Saat aku udah sering banget complain soal hidup ini, baliknya aku ke kampung halaman lantas tak membuat aku rehat sejenak. Aku kembali diberi pekerjaan dari pagi sampai malam yang benar-benar menguras seluruh tenagaku. Itu membuat aku bertanya-tanya. Kenapa harus begini? 

Jika ditanya mengapa demikian, ya honestly I need money. Selain itu juga kesempatan datang pada saat aku hampir menyerah, namun ternyata Allah kasih aku jalan lain. Seolah Allah gak mau aku cuma diam aja, Allah mau aku terus berjuang. Jadi antara kebutuhan dan kesempatan, aku dipaksa untuk memilih tetap berjuang.

Dan kamu tahu? How my parents' responses?

Mereka benar-benar mendukung keputusan aku, mendukung kegiatan aku walau jika harus dilihat secara materi ya kurang lah. Kami sadar, secara ekonomi kami pun masih kekurangan. Keuda orang tuaku mendukung aku bukan karena secara materi, tapi karena mereka percaya pada usaha aku. 

Padahal jadi guru di negeri ini banyak risikonya, bukan cuma soal gaji aja ya. Tapi kenapa mereka setulus itu buat dukung aku menjadi seorang guru? Yang di negeri ini sendiri, kesejahteraannya pun tidak diperhatikan. Bahkan saat ini, profesi guru jadi mengancam jiwa. (Lihat kasus MBG, guru yang keracunan makanannya), atau mungkin menjadi sasaran amukan orang tua kalau dapat laporan yang enggak-enggak dari anaknya.

Something that makes me sad is when my father always companies me to work. Rasanya gimana gitu.  Atau mamah yang kini lebih khawatir apalagi dengan pekerjaan aku dari pagi sampai malam. Cucian aku aja dicuciin huhuuu meski udah disimpan di kamar, tetep aja malah diambil. Yallah. Sikap mereka bikin aku terharu sekaligus merasa bersalah. Aku pengen banget bisa balas kebaikan mereka.

I know this life is heavy, tapi keberadaan mereka sungguh membuatku selalu terus mencari cara ataupun jalan untuk bertahan atau berjuang. Aku mungkin belum punya pasangan, tapi dengan kehadiran mereka yang tidak pernah menuntut, mendukung setiap keputusan anaknya selama itu di jalan yang benar, bagi aku itu adalah suatu bentuk rezeki yang sangat mahal harganya. 

Setiap kali diantar jemput oleh Bapak, rasanya hati aku kayak teriris perih. Kayak, kapan ya aku bisa ngasih mereka lebih biar mereka gak perlu bangun malam buat persiapan jualan? Tapi di balik rasa sayang itu, ada juga rasa tidak mampu yang terus mengantui aku. 

Lagi dan lagi.

Aku pun belum bisa. Aku saja masih berjuang untuk hidup aku.

Sejatinya, mereka gak pernah minta tapi ya tetep namanya anak, apalagi anak pertama pasti pengen banget bisa ngasih banyak buat mereka. 

Ya Allah, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Sungguh, saat ini aku benar-benar sedang kehilangan arah. Apa yang aku cita-citakan sedari dulu kini rasanya hambar, tak terasa berwarna dan aku bahkan sering mengeluh ingin minggat dan banting setir dari pekerjaan aku sekarang.

Tapi, lagi dan lagi.

Naluri selalu berkata lain. 

Aku gak tahu harus berjalan ke arah mana lagi. 

Aku lelah, aku ingin menyerah.

Namun di saat demikian, semangat dan dukungan mereka yang sering kali menjadi api pemantik untuk semangat aku yang hampir padam.

Bapak pernah bilang, sama seperti saat kamu sedang mengayuh sepeda, kamu hanya butuh untuk terus mengayuh sepeda seterjal apapun perjalanannya supaya kamu bisa sampai. Tapi kalau kamu memilih untuk berhenti dan turun, lantas apa bisa kamu bisa sampai ke tempat tujuan kamu?

I know, that is not easy as what my father said.

Tapi kenyatannya begitu. 

Kalaupun saat ini aku tidak tahu ini arahnya ke mana, rencana-rencanaku gagal dari apa yang sudah aku rencanakan. Aku lupa, bahwa dalam hidup ini sudah ada yang mengaturnya. Sudah ada yang lebih hebat dalam membuat rencana. Aku lupa bahwa selama ini ternyata ibadahku, salatku belum sepenuhnya karena Allah. Masih hanya berupa ritual untuk menggugurkan kewajiban. 

Buktinya? Aku masih meragukan hal-hal yang terjadi padaku. Aku terus merasa gagal padahal aku tak punya kuasa untuk menjadikan apa yang aku inginkan itu bisa terwujud. Padahal saat kita salat, doa-doa yang kita untaikan dalam bacaan salat itu maknanya adalah menyerahkan segala urusan kita kepada Allah. 


Ø¥ِÙ†َّ صَÙ„َاتِÙ‰ ÙˆَÙ†ُسُÙƒِÙ‰ ÙˆَÙ…َØ­ْÙŠَاىَ ÙˆَÙ…َÙ…َاتِÙ‰ Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ رَبِّ ٱلْعَٰÙ„َÙ…ِينَ

Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

See? Lantas kenapa dalam menjalani kehidupan ini sering kali kita masih mencari atensi manusia? Masih mencari validasi orang lain? Masih melihat ukuran kesuksesan orang lain yang pada akhirnya membuat kita lupa untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang sudah diberikan oleh Allah?

Aku tahu, aku terima semua perasaan yang tidak nyaman ini. Aku kebingungan, aku ragu, aku ingin menyerah, aku ingin jawaban itu ada saat ini....

Yallah.

Aku tak tahu harus berbuat apalagi.

Aku tahu dan aku terima perasaan kecewa ini.

Tolong jangan biarkan aku berjalan sendiri. Kalau kamu baca ini, doakan aku ya. Semoga aku diberi jalan yang terang.


Love,

Solihat




Photo by may day.ua:

Beberapa hari tidak menulis justru membuat fikiran berisik tak karuan. Maka dari itu, menulis buat aku adalah healing terbaik dan juga mudah. Kamu hanya perlu menuangkan seluruh isi kepalamu ke dalam kata-kata yang dirangkai hingga menjadi kalimat tanpa perlu merasa ini benar atau salah. Karena semua perasaan yang kamu rasakan itu valid, and that's normal.

Kalau ditanya, how was your week?

I'm so grateful for this week. 

Meski hidup memang gak bisa ditebak arahnya ke mana. Waktu itu aku mintanya buat istirahat dulu, tapi ini malah dikasih wahana roller coaster. Aku masih ingat, waktu aku bilang aku gak mau dulu jadi guru, eh yang terjadi malah sebaliknya. Aku masih saja diterima di pekerjaan yang sama. Padahal dalam hati udah yakin, kayaknya gak bakalan keterima deh. Tapi qadarullah, ya tetap keterima. Allah masih tuntun aku di jalan ini.

Lucunya ketika aku merasa tidak mampu dan aku sampaikan semua itu kepada atasanku, justru atasan aku hanya tersenyum dan bilang bahwa aku itu memiliki potensi dan kemampuan yang selama ini akupun tak mampu membacanya sendiri. 

Belum lagi, serangkaian kegiatan PPG yang mengharuskan aku mau tidak mau harus punya sekolah. Kesibukan akupun bertambah. Tidak hanya menjadi guru di kursusan, akupun kini menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar negeri. Dan aku merasakan sendiri bagaimana rasanya digaji kecil. Pagi sampai siang aku di sekolah, lanjut sore sampai malam itu di kursusan. Capek? Jangan ditanya. Gaji nyampe sebulan 10 juta? Hahahaaa. Enggak juga. Kadang pengen ngeluh, tapi ya mau gimana lagi. Harus dijalani. Sempat mikir, apa karena aku gak layak jadi di gaji kecil gitu ya? Biar bisa sebulan dapet 2 juta aja ampun kerjanya harus banting tulang dari pagi ampe malem. Tapi setelah obervasi dan cari info sana-sini, emang sistemnya udah dibuat kayak gini di Indonesia. Ya buktinya aja yang ada di atas, gajinya aja selangit, sementara kami? Kamu jawab sendiri aja deh.

Ya sudahlah, tak ada habisnya mengeluh soal negeri ini. Meski dicurangi oleh pemerintah sendiri, satu keyakinan aku. Apa yang menjadi milik aku tidak akan pernah tertukar. Dan hanya Allah yang menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Kalau para pejabat itu bisa berkelimpahan harta dari cara yang haram, ya mereka juga akan menanggung semua itu kok. Kalau gak di dunia, di akhirat udah pasti gak akan bisa berkelit dan mengelak.

Meski capek, ada rasa haru dan bahagia saat melihat anak-anak sekolah, belajar. Ada siswa yang bela-belain salam sama aku sebelum dia masuk kelas. Dia berjalan ke lapangan untuk bisa bersalaman dengan aku, kemudian menyapa aku dengan bahasa Inggris.

"Good morning, Bu." Katanya sambil tersenyum malu-malu. 

Ada juga yang menulis bahwa dia ingin pintar seperti aku. Padahal aku juga gak pintar-pintar amat kok. Aku cuma senang belajar aja. Atau anak TK di kursusan yang menegur aku, 

"Ms, matanya jangan dikucek. Nanti perih, sakit."

Aku terdiam. Lalu tersenyum. Ada perasaan hangat yang menyusup dalam hati. 

Ah, entahlah. Aku juga aneh. Di saat aku ingin berhenti, tapi Allah tidak menginginkan itu. Justru dengan semua kesibukan yang Allah beri, perlahan Allah sembuhkan aku. 

Selain itu juga, kembali mengajar di sekolah lamaku dulu mempertemukan aku dengan teman lamaku yang juga dulunya adalah saingan langganan di kelas. Dia sudah lebih dulu mengabdi di sekolah ini. Satu minggu kemarin jika ada kesempatan untuk mengobrol, tentu kami akan bernostalgia dan sesekali update mengenai kehidupan kami masing-masing. 

"Kalau harus beradu nasib, ya semua orang juga sama. Punya masalahnya masing-masing. Gak ada yang mendang-mending, semua sama. Hanya persoalannya saja yang berbeda. Kalau saya harus cerita, sama. Kehidupan saya juga susah."

"Btw, kamu lagi deket sama siapa?"

Aku jawab aku lagi gak deket sama siapa-siapa. Tapi temanku itu gak percaya. Sampai akhirnya aku bilang bahwa aku lagi berteman dekat dengan seseorang.

"Ini sih saran saya sebagai laki-laki. Kalau dari awal dia gak ada niatan serius, mending tinggalkan. Karena tanpa sadar kamu sama dia udah bikin ikatan yang kuat. Saya takutnya kamu jadi buta sama kemungkinan lain."

Akupun terdiam.

Aku tahu, aku nyaman sama orang ini. Aku merasa nyaman, aman, dan juga bisa menjadi diri sendiri. Tapi untuk apa semua itu kalau dia memang tak ingin menjadikan aku sebagai bagian hidupnya? Kalaupun memang rintangan ini terlalu besar dan dia enggak sanggup, harusnya dia juga gak egois dong untuk tetap minta aku menjadi teman dia? 

Obrolan dengan teman aku ini membuatku berfikir. Apalagi saat dia bilang dia tak bisa menelfon aku karena ada kakaknya yang sedang datang ke rumahnya. Besoknya sama, dan aku sampaikan aja pembicaraan aku dengan teman aku itu ke dia.

Dan ya. Dia tetap dengan pendirian dia bahwa dia hanya ingin berteman saja denganku. Meski aku sudah tahu itu yang akan menajadi jawaban dia, tapi dengan melihat perubahan dia selama ini aku memiliki setitik harapan. Harapan bahwa bisa jadi perasaannya saat ini mulai berubah. Tapi kenyataannya? Tidak. Perubahan yang dia kasih buat aku ternyata gak menjamin bahwa perasaan dia berubah juga untuk aku. Maka dari itu, daripada aku harus drama lagi dengan dia seperti dulu dengan cara aku memblokir dia, perlahan saja aku mundur. Seperti mengurangi intensitas komunikasi dengan dia, tidak terlalu excited lagi dengan kehidupan dia, walau jauh dari lubuk hati terbesar aku, aku masih ingin tahu banyak hal. Hanya saja... Semakin aku tahu, semakin aku tersesat dan sulit untuk pulang. 

Aku tahu ini gak mudah. Tapi aku pun harus tegas dengan diriku sendiri. Buat apa tetap sama orang yang dia sendiri gak mau kamu ada dihidup dia? Buat apa saling support, saling berbagai soal kehidupan kalau nyatanya sampai akhir dia tetap bersikukuh bahwa kamu hanya jadi second lead? Bukan jadi main lead? 

Usiaku 28 tahun.

Karir aku berantakan.

Tabungan aku habis gak karuan.

Gaji juga alhamdulillah pas-pasan.

Kisah cinta yang menyedihkan.

Hahahaaa.

Ya, sudahlah. Mari tertawakan saja.

Aku jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat ada yang memanggil namaku secara lengkap, dua kali lagi.

Aku terdiam cukup lama untuk mengingat nama orang yang memanggilku. Ternyata dia adalah teman satu kelas aku dulu, dan rupanya dia sedang menunggu jam kepulangan anaknya.

"Udah nikah belum?" Lagi dan lagi, pertanyaan ini. Batinku.

"Belum," jawabku sambil senyum.

"Ih kenapa? Oh, ini ya fokus karir dulu ya. Soalnya kan kamu dari dulu emang pinter."

Aku tersenyum walau dalam hati aku meringis. Gak gitu juga. Hei!

Pada hakikatnya kita semua ternyata saling sangka ya soal kehidupan kita masing-masing. 

Yang dilihatnya enak, ternyata enggak kok. 

The grass is always greener on the other side. 

Kira-kira begitulah.

Ya sudah, aku tak mau berlama-lama galau. Aku masih butuh duit buat hidup ini. Hahahaa. 

Mari kita tertawakan semua hal-hal yang mungkin terasa menyedihkan ini. 

Oh iya, minggu kemarin juga ada satu hal yang bikin perasaan aku campur aduk. Pada saat Mamah bela-belain nganter aku buat beli beberapa keperluan untuk mengajar. Baru kali itu, aku lihat Mamah se-excited pas memilih barang-barang. Tapi di saat yang sama aku juga sedih, karena aku belum punya cukup uang untuk bisa bikin mamah beli barang yang dia suka. Walau aku tahu, mamah gak pernah minta itu dari aku. Sampai akhirnya mamah tanpa sadar bilang, 

"Mamah itu seneng kalau belanja sama kamu. Soalnya bisa lihat barang-barang dan milihnya lama, jadi punya banyak pilihan." 

Aku terdiam. Kata-kata sederhana itu menyusup ke dalam hati. 

Tarik nafas. Hempaskan perlahan.

Aku cuma mau bilang sama diri aku,

Thank you for choosing to keep moving forward and keep learning. Because, as long as you live, challenges will always come and go. Remember, never stop learning, because life never stop teaching. I know, it is hard for you. But remember. You have Allah who always guides and accompanies you in every situation. Allah trusts you to go through this life. So please, don't underestimate yourself. Just seek for His sake, not human validation or appreciation.

Cheeers,

Solihat

Photo by cottonbro studio


When I once asked him, "How do you define success in life?"

He answered,

"Sometimes, a simple thing is a success. Sometimes I don't have specific goals, but I have dreams. If they come true, I will be happy. I am  not overthinking about the future now. I live my days as they come. I don't know where I will end up, but I always remain optimistic about the best."

I was quiet. I never imagined his answer would be like that. 

A simple thing is a success.

Sometimes, we forgot to appreciate ourselves for the small things. We only focus on the big achievements, forgetting that the big things never come without the small steps. In today's world, scrolling through social media and seeing many different people living what appears to be seemingly perfect lives. Maybe some of us find ourselves trying to copy them by buying expensive things, going to abroad for vacation, and posting pictures on our social media to get "likes."

I have to admit, there were times I tried like what they did. But in the end? I felt like I was chasing something I could never fully become.  I can't be someone's life. I used to think that success meant when you can achieve something big, earn much money, or you can buy an expensive car or house.

But then, I understood.

We can't define our success based on someone else's standards. Often, we are so focused on the result that we forget to value the journey itself: the effort, the prayers, the patience, and the growth align teh way. We tend to rush, hoping everything will fall into place as soon as possible.

From his statement, I realized that I rarely appreciate myself for the small things. I have been so focused on the big goals then I end up overthinking. Now, I am learning to slow down, acknowledge my progress, and celebrate even the litte victories. Because sometimes, those small things are the real definition of success.

There is no "late." I only know one thing about myself: I have dreams, and I will fight for them with patience. My time will come.

Be patient, dear one. 

Accept where you are today, because growth take times. You are not defined by the end result. You are defined by the efforts you give and the love you share to others. 

You cannot define your worth by the end results of your efforts: because you are not the author of your life. God is.  

-Rara Noormega-


With love,

Ihat


Photo by Anna Tarazevich

I really didn't know myself at that time.

When I got the invitation, my first thought was, I can't do both at the same time. So, I chose to let one go. 

Then, I made a decision. One so reckless that it made my manager angry with me. When she asked to discuss it again, she eventually uncovered something I had been hiding, something even I didn't fully understand. 

I cried in front of her. I poured out all of my fears about the future. The fears that might never even happen. She just listened. She understood the reasons behind my decision, reasons I counld't even put it into words before. 

Afterward, my friend told me, "You live in the future." She was right. I was overthinking things that weren't even certain. She had been in my position before, so she understood me deeply. She reminded me  to live in the present. Not in the past. Not in the future.  She said that I was putting everything on my plate at once. And that's way I felt so suffocated. 

Later, when I called him yesterday, I was so angry about his decision. I tried to calm myself, but deep down, the only things I wanted to hear from him was.

"Will you wait for me? So I'll save what I have and find a way to bring you here."

When I started talking about random things, he told me I was overthinking. At that moment, I denied it. But eventually, I realized. He was right. I was overthinking. Overthingking means I've been living in the future. 

"All these decisions that I implemented are for you. You shouldn't lie to yourself. Think about it wisely and clearly. It's about you and your future. Think wisely and see what works for you."

What makes me so grateful is that he never leaves me. No matter what state I'm in. I know my life feels messy. I'm trying to fix it, to embrace it, and to accept it. But, it's not as easy as people say. I still go through trial and error, but he always says, "That's okay."

Now, I'm teaching myself to stay in the present. To aprreciate what I have right now. To focus on what I'm doing now. Not to worry too much about the future, and not to regret what has already happened in the past. Because I can't control the future and I can't change the past. 

Hi, Ihat

I know this isn't easy for you. Please, be patient. Everything will bloom in the right time. Don't rush. Slow down. Accept what is, focus on what matters now.  You don't have to compete with anyone else's life. It's just you! Only you. Compare yourself only with you were yesterday. Keep going, even if it's just one small step each day.

"It doesn't matter if there are mistakes. What matters is that you are on the right path. We all make mistakes, but we must not fail. We must continue moving forward."

Then, he said,

"The nice thing I like about you is that you accept advice."

Hmm..hm...


Love.

Ihat





Photo by Wendelin Jacober

I know.

I know what I feel. 

I was angry when reality slapped me again. When he said that we would never meet in real life. Because for him,  the problem is our financial situation, our distance, and how hard everything would be.

Yes, he is a realistic person. Very different from me. I'm a dreamer.

Maybe last week, I enjoyed sharing everything with him over the phone. I still remember when he told me for the first time that he was comfortable with me. He even said that I was part of his private life, something he never shares with others. We talked for almost two hours.

But, tonight. I don't know why. Our conversation shifted to us, about the future. I asked him again, "Is it okay if I'm with someone else?" And he said, "Yes."

We know, we hurt each other. We know, we need each other to support. But again, reality reminded us that wanting something and making it happen are two different things. 

I do understand all of that. But deep down, the only things I wanted to hear from him was.

"Will you wait for me? So I'll save what I have and find a way to bring you here."

Just that. Then, I would wait.

But for him, it's not that simple.

He's so realistic. He doesn't want to make a promise he can't keep.

Again.

I asked him, courious about his feelings.

I know that he has another friend from another country. He said that he rarely texts her. Then, I asked  something more personal. He said,  he only shares that kind of thing with me. 

So I asked him, "Am I special to you?"

I knew it would be  hard for him to admit it. He tried to change the subject, but in the end... yes, he admitted I am special to him. 

Argh, I don't know what to feel. I'm happy with him, but deep down I know. In the end, I have to say goodbye and let him go.

I care about him so much. I feel comfortable with him. I feel safe with him. He's the only one who can truly understand my emotions and my overthinking, listen without judging. Always be there for me and support me.

Then, I realized something.

Maybe he is a lesson for me. That in the end,  I can only rely on myself and on Allah. Not on him.

I know, I'm sad about it. But again, I have to turst Allah's plan for my relationship. He is good, he is nice, and something I can learn from him is: don't worry about the future, don't overthink everyhting that comes your way. Just surrender, because Allah has already set everything perfectly for you. I will never regret meeting you, because you have given me so much, for myself, for my self-love journey. And you are my flashlight. 


Love,

Solihat

Photo by Markus Winkler

How was your week?

Sebuah kalimat sederhana yang sering banget jadi pembuka keran cerita. Kalimat yang pada akhirnya membuat aku flashback ke satu minggu kebelakang. Kalimat yang bikin aku akhirnya cerita ngaler ngidul, dari mulai hal yang bikin bahagia sampe ke hal yang bikin aku kesel setengah mati, nangis, habis itu refleksi sambil ngusapin diri sendiri dan bilang,

"It's ok. You handled it well. You got through it."

Kalimat yang selalu aku nantikan kalau lagi telfonan sama dia hehee. Sesederhana itu, tapi hangatnya luar biasa.

So, talking about this week...

Anxiety and overthinking aku kambuh lagi. Tiba-tiba datang, kayak tamu gak diundang. Semuanya berawal pada saat aku harus menghadapi kelas baru dengan materi yang belum pernah aku ajarkan sebelumnya. Stress? Oo tentu saja. Seperti biasa, instead of doing, aku malah mikir panjang. Buku udah ada di tangan, raga udah duduk rapi di kursi dan siap mengeksekusi ide-ide yang ada,  eh si jiwa yang malah melayang-layang entah ke mana.

Mamah di rumah sampe pusing sendiri sama keadaan aku. Bukan aku gak bersyukur sih, aku cuma mikir kayak busyet di Indonesia buat dapet lima puluh rebu sehari kudu jungkir balik ke sana ke mari. Susah bener cari duit. Aku bukannya pesimis ya, tapi memang itu kenyataannya. Bagi kita rakyat biasa, biar bisa punya duit sehari lima puluh rebu tuh luar biasa pengorbanannya. Makannya kalau ada yang bilang angka kemiskinan di Indonesia menurun, hmm hmm. Tolong cek. Biaya hidup aja makin melejit, nyekik banget rasanya.

Satu hal yang akhirnya kembali menyadarkan aku: semua itu butuh proses, butuh waktu, dan gak ada yang instan. Apalagi saat kamu dilahirkan sebagai seorang perintis bukan pewaris. Gak apa-apa kalau saat ini kamu belum punya pencapaian seperti yang dianggap "sukses" oleh masyarakat sekitar. Gak apa-apa banget kalau kamu masih pengen eksplorasi banyak hal, bahkan saat harus mengulang lagi dari nol. Gak ada yang salah kok. Setiap orang yang punya jalannya masing-masing. Dan semua pilihan, pada akhirnya kembali kepada diri kita sendiri. 

Aku juga belajar bahwa kita gak usah nunggu momen sempurna untuk memulai. Nanti yang ada malah gak mulai-mulai. It's ok to make mistakes. Justru dari sana kita belajar untuk terus memperbaiki. Karena sampai kapanpun gak akan ada yang sempurna. Pasti selalu ada kurangnya. Nah jangan sampai, kamu nunggu terus kesiapan tanpa mau mencoba langkah pertama. Tahu kok, langkah pertama selalu berat, iya. Wajar banget. Tapi nanti setelahnya kamu akan terbiasa dan sudah bisa membaca pola sekitar. 

Minggu ini juga, aku sempat mengalami situasi yang bikin aku kembali ingin menyalahkan diri sendiri. Aku sempat bilang apa aku gak cukup bener kerja ya, pada saat rekan kerjaku bilang aku gak ngecek pr muridnya waktu aku harus gantiin kelas dia. Padahal jelas banget aku ngecek pr muridnya dia minggu lalu itu. Tapi sayangnya di buku murid-muridnya dia gak ada sign aku. Ya memang aku gak kasih sign, lagian udah gede gitu. Udah anak SMP kelas 3 sama anak SMA juga. 

Perdebatan sore itu cukup sengit, sampai beberapa rekan kerja yang lain memilih diam. Aku dengan keteguhan diri sendiri, terus bilang bahwa aku mengecek. Tapi karena tidak ada bukti fisik, aku tahu aku sadar posisiku aku lemah. Sampai kemudian tak aku lanjutkan kembali. Udahlah aku teacher baru, ya kalau difikir siapa juga yang mau percaya sama aku. Beberapa rekan juga justru banyak berpihak kepada dia. Rasanya gak adil, tapi ya sudah, aku memilih diam. Bukan berarti aku kalah, aku cuma milih untuk menunggu kebenaran yang nantinya akan membuktikan sendiri.

Sampai akhirnya, ketika aku kembali menggatikan dia di kelas, aku menyelipkan sindiran halus soal PR. Mereka semua diam dan saling menoleh satu sama lain. Aku berusaha tetap tenang, mencoba mengatur emosi aku biar gak meledak saat itu juga. Mengajar seperti biasa dengan senyuman, dan dalam hati aku terus memohon,

"Yallah, please help me. Prove it! That I didn't a mistake. I did it. I checked it last week."

Gak usah nunggu lama, satu orang murid tiba-tiba nyeletuk, "Nanti kalau ditanyain prnya dicek apa enggak, kita bilang aja gak dicek ya."

Aku langsung menegur dengan tenang. Mereka semua terdiam. Lalu ada satu murid yang membela diri, katanya aku salah karena aku gak ngasih sign. Aku jawab, aku emang gak pernah ngasih sign di kelas yang sudah besar. Mereka akhirnya terdiam, malu. 

Aku kabarin itu ke yang lain. Mereka pun akhirnya kaget dengan hal itu. Bahkan ada yang mengaku, pada saat perdebatan itu mereka ngira aku ini denial. Dan betul dugaanku. Hahahaa. Aku luruskan aja, aku kalau salah ya ngaku salah, kalau bener ya terus aku akan suarakan itu. 

Dari setelahnya, aku cuma pengen meluk diri sendiri. Aku ingat betul, setelah  kejadian itu disampaikan di hadapan orang lain, aku sempat menyalahkan diri sendiri. Ada ketakutan dan keraguan pada saat itu. Tapi aku terus menepis suara-suara buruk itu dan terus menguatkan diri sendiri,

"Iya, aku udah ngerjain itu kok. Tapi nanti lagi, harus lebih teliti. Harus ada bukti."

When I told him about what happened, he smiled and said I had done the right thing. "As long as you're doing the right thing and others still doubt you, keep going. Keep fighting for it. Don't be afraid."

He knows me so well. So instead of giving long advice, he just listened quietly, occasionally chuckling as I told the story with fire in my voice.

"Teenagers are annoying, sometimes," he added with a laugh. 

Dan aku lega bisa menyampaikan itu semua. Hehee. 

Proses menanamkan mindset ini dan juga menguatkan diri memang bukan hal yang mudah. Aku juga terkadang kalau udah kambuh si overthinking dan anxiety ya suka jadi hilang fokus dan fikiran ke mana-mana. Tapi aku tahu ini bagian dari proses penyembuhan. Proses mencintai diri sendiri. 

Aku benar-benar sedang berada di fase yang aku gak tahu arah hidup ini akan membawa aku kemana. Aku kadang gak faham, apa maksud dari semua ini. Tapi ya semakin difikirkan justru malah semakin membuat kita gila gak sih? Hahahaa. Karena memang ada beberapa hal yang gak harus selalu kita tanyakan terus soal hidup ini.

Kenapa ini terjadi?

Kenapa aku?

Kenapa harus aku?

Instead of asking "why me?" saat ini aku sedang mencoba untuk mengubahnya menjadi, 

"Allah lagi mau ngajarin aku apalagi ya?"

Belajar untuk menerima, hadapi, dan stop asking. 

Meski pada praktinya itu gak mudah, tapi aku sedang belajar untuk percaya dan menerima atas takdir yang telah ditetapkan-Nya untuk aku.

Di sinilah iman itu benar-benar menyelamatkan kita. Kalau aku gak punya iman, kayaknya ide-ide gila untuk mengakhiri hidup atau menyakiti diri sendiri bisa jadi datang kembali. Dan aku gak mau itu kembali lagi. 

Ternyata iman itulah yang pada akhirnya menguatkan diri saat hati mulai ragu akan kenyataan yang harus dihadapi. Saat hati mulai ragu dengan kemampuan diri, padahal semua yang terjadi tidak lepas dari izin dan ridho-Nya. 

Allah gak minta kita untuk suskes di dunia. Allah gak minta kita untuk jadi kaya raya. Yang Allah lihat adalah prosesnya dan bagaimana kita tetap memilih kembali kepada-Nya dalam kondisi apapun.

Karena kita benar-benar lemah tanpa pertolongan Dia.

Ya Allah, maafkan aku.

Ternyata selama ini aku masih saja khawatir atas hal-hal yang belum terjadi. Maafkan hamba-Mu ini yang ceroboh, yang terkadang meremehkan potensi yang Engkau titipkan pada diri ini. Kuatkan iman ini, agar mampu merobohkan suara-suara jahat yang ingin menghancurkan rasa percayaku pada diri sendiri dan juga keyakinanku atas takdir-Mu. 


Love,

Solihat

Photo by Photo By: Kaboompics.com

On July 26th, I turned 28. It was a beautiful day – for the first time in my life, my friends celebrated and prayed for me. As you may know, I’ve never been someone who makes a big deal out of birthdays; I’ve always chosen to keep it simple and personal.

It’s not about the celebration itself. I’ve always preferred to spend my birthday reflecting on what I’ve learned over the past 365 days.

A lot has changed in my life this year. I unexpectedly left a job I loved and decided to move back to my hometown to live with my parents. I focused on getting to know myself better, deepened my connection with family, and made many new friends. During this time, I experienced a lot of contradictions – moments of light and moments of darkness and doubt.

As I grow older, it feels like the years go by faster. It’s a little depressing, but it’s true. I often ask myself: What is my purpose in life? Am I truly living the life I want? What really matters to me? Am I giving enough to others and to the world?

These are heavy questions, and I don’t have all the answers yet. But as I look back on the past year, I’m deeply grateful for all the growth and learning that came with it.

I know this past year has been one of the hardest I've ever faced. But it has taught me a lot — especially about embracing change and uncertainty. Life is unpredictable, and that’s okay. I’ve had to deal with many changes — in my career, my personal relationships, and my mindset. I’ve learned to sit with the discomfort and grow through it.

I moved from Bandung to Tasikmalaya. It took me almost a year to fully convince myself to take that step. The decision to relocate was both exciting and intimidating. I was happy to live with my parents again, but I was afraid of the limited job opportunities in a smaller town. Eventually, I realized that embracing change opens the door to growth. Now, I’m eager to see what this new chapter holds.

This year, I also learned to say no. In the past, saying no was one of the hardest things for me. As a result, I often felt overwhelmed. But I’ve come to understand that saying no is not selfish — it’s necessary. It helps me set healthy boundaries, prioritize what truly matters, and focus on what brings me joy.

This year also taught me the art of letting go — letting go of expectations, past hurts, and the need to control everything. I used to strive for perfection and tried to control every outcome. It was exhausting. Slowly, I’m learning to release that pressure and find peace in letting go.

Instead of complaining, I’ve learned to find joy in the little things: riding my bicycle in the morning, enjoying a warm cup of tea, or sharing stories and laughter with my family. I’ve realized that happiness isn’t something to chase — it’s something to notice and appreciate in the present moment.

And with that awareness comes gratitude. Even in small ways, I try to reflect on what I’m thankful for. Practicing gratitude helps me find contentment and recognize the abundance already present in my life.

I remember how, in the past year, I often felt like I wasn’t enough. I blamed myself for my failures, called myself stupid, and doubted my worth. But this year, I’ve made an effort to understand myself more deeply. I’ve spent time reflecting on who I am, what I truly want, and what really matters to me. It hasn’t been an easy journey — but I want to love myself better, and I’m committed to learning how.

As I begin my 28th year, I tell myself this: I don’t know what challenges, opportunities, or lessons lie ahead, but I’m ready. I have Allah, and He is always with me — guiding me and helping me through every moment.

Life is a beautiful, messy, and unpredictable adventure. As I step into this new year, I’m ready to embrace it all — the highs and the lows, the joys and the challenges, the knowns and the unknowns.

What you have right now does not define you; your job, your money, your status, or your circumstances. These are only parts of your life, not the whole of it.

Thank you for reading my birthday reflection. This year hasn’t been perfect, but it has brought me closer to discovering who I truly am, and for that, I am deeply grateful.


With Love,

Solihat

Photo by Franklin Peña Gutierrez

Pulang ke kampung halaman, akhirnya membawaku bertemu dengan teman-teman lama. Obrolan pun mengalir, mulai dari nostalgia masa lalu, aktivitas yang sedang dijalani, hingga rencana-rencana hidup selanjutnya. Tak ketinggalan juga, membahas pertanyaan-pertanyaan "klasik" dari masyarakat yang membuat kita mengumpat sekaligus tertawa karena saking udah seringya ditanya hal yang sama.

Obrolan malam itu berakhir di pukul 11. Banyak hal disampaikan yang pada akhirnya membuat aku diam-diam merenung. Aku kembali diingatkan bahwa setiap pekerjaan yang kita pilih dan yang kita tekuni pasti akan selalu ada tantangannya tersendiri. Kita gak bisa membandingkan satu dengan yang lainnya. Kita hanya bisa memilih, lalu menerima segala kosekuensinya dengan sadar. Karena kita gak bisa hanya  mengambil enaknya doang. Gak bisa. Kalau memilih, ya harus siap dengan semua isi paketnya: baik dan buruknya.

Keesokan harinya, aku bertemu dengan sahabat kecilku. Sahabat dari pas zaman SD yang sekarang memilih untuk berkarier sendiri. Hal yang ingin aku highlight dari pertemuan kita kemarin adalah ketika ia sedang menyetir dan tiba-tiba bagian bawah mobilnya menyentuh aspal cukup keras. Entah bempernya atau bagian yang lain, yang jelas dia kesal dan mengumpat. Karena ia tahu akan ada biaya lagi yang harus dikeluarkan untuk untuk perbaikan.

Aku jadi teringat satu obrolan dulu, saat aku masih bekerja di Bandung. Seorang drivernya bilang bahwa kalau kita memilih untuk punya mobil, siap-siap saja dengan biaya perawatannya yang gak murah. Mana di jalanan kamu harus siap antara "nabrak" dan "ditabrak." Ia bahkan mengaku harusnya mobilnya itu sudah diservis, tapi karena biayanya besar dan mobilnya juga masih bisa berjalan, jadi ya ditunda dulu.

Obrolan dengan sahabatku itu menyadarkan aku bahwa barang-barang mewah sekalipun tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Di awal, mungkin ada rasa bangga, puas dan bahagia karena pada akhirnya kita mampu membeli barang tersebut. Tapi setelahnya, ada tanggung jawab untuk merawat. Dan kalau kita bicara soal mobil, jelas biaya perwatannya tidak sedikit. 

Dari situ aku belajar bahwa penting untuk membeli barang sesuai dengan kemampuan kita. Jangan sampai kita memaksakan diri hanya demi gengsi atau rasa ingin dianggap "mampu."  Contohnya, kalau masih bisa naik transportasi umum, dan itu cukup memenuhi kebutuhan kita, kenapa tidak? Bukankah akan jauh lebih tenang kalau hidup kita sesuai dengan kapasitas finansial kita?

Hal ini juga mengingatkan aku pada obrolan dengan temanku dua minggu yang lalu. Saat temannya memutuskan untuk tidak memiliki rumah karena pekerjaannya yang membuat dia harus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Temannya itu sampai bilang bahwa kalau beli rumah itu gampang, tapi setelahnya itu yang bikin ruwet. Biaya perawatan, pajak, dekorasinya, dan lain-lain.

Dari semua pertemuan dan obrolan ini, aku makin sadar, bahwa hidup adalah tentang pilihan. Setiap orang punya prioritas dan alasannya masing-masing. Ada yang lebih memilih punya A dibandingkan B, dan sebaliknya. Tapi satu hal yang menjadi bahan refleksi aku adalah jangan sampai kita memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang berada di luar kemampuan kita, hanya demi memuaskan ego sesaat. 

Bukan berarti temanku itu tidak mampu. Tapi kejadian-kejadian ini membuat aku sadar bahwa semua yang kita miliki, seberapa mahal dan mewah pun itu, akan datang juga dengan konsekuensinya, dengan biaya tambahan-tambahan lain yang mungkin enggak nampak di awal.

Instant gratification. Kalau kata Philip Mulyana di bukunya Personal Finance 101. 

Kita sering terjebak dalam instant gratification - keinginan untuk merasakan kebahagiaan secara instan. FOMO, takut tertinggal,  membuat kita membeli barang-barang yang hanya menyenangkan sesaat. Bahkan, sering kali kita gak benar-benar menghitung kebutuhan jangka panjangnya. Kita pun jadi bingung untuk membedakan mana needs and wants. 

Pada akhirnya semua kembali pada kesadaran: bahwa kedewasaan finansial itu ternyata bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita beli, tapi seberapa bijak kita bisa memilah, memilih dan menerima konsekuensinya. 


Love,

Ihat

Photo by Kinga Longa

Siang ini entah kenapa aku merasa sangat mengantuk. Tubuhku seolah meminta waktu istiriahat yang lebih panjang dari biasanya. Aku pun memutuskan untuk tidur siang. Awalnya aku terbangun di 30 menit pertama, namun karena rasa kantuk yang masih menyelimuti, aku kembali memejamkam mata.  Tapi, tidur keduaku malah membawaku ke sebuah mimpi yang aneh, penuh kecemasan, dan membuatku terbangun dengan jantung berdebar keras.

Dalam mimpi itu, aku tertinggal kereta. Rasanya seperti menggambarkan bahwa aku terlambat dari sesuatu hal yang menjadi standar masyarakat pada umumnya. Lalu entah bagaimana, aku malah terdampar di sebuah rumah sakit yang mengharuskan aku menjalani pemeriksaan di sana. Ketika pulang, aku lupa membawa barang yang diberikan oleh pihak rumah sakit yang mengharuskan aku untuk kembali ke ruang tersebut. 

Di sinilah mimpi mulai terasa aneh. Aku mencoba mengingat lift mana yang aku pakai dan juga lantai berapa tempat aku berobat tadi. Setelah aku yakin, aku menaiki lift tersebut dan ketika keluar dari lift tersebut ternyata aku salah lantai. Aku kembali lagi memasuki lift dan begitu masuk aku salah memencet tombol. Malah ke lantai yang paling atas. Aku panik, aku kembali memencet tombol 1. Lift melesat begitu cepat, karena tidak ada yang naik di lantai atas tersebut, lift turun begitu cepat membawa aku ke lantai 1. Begitu aku sampai di lantai satu, aku terus mencari tempat aku berobat sebelumnya untuk mengambil barang yang tertinggal. Tidak ada di lantai tersebut, aku kembali mengingat-ngingat sepertinya di lantai 3. Aku menaiki lift tersebut lagi menuju lantai 3, lalu aku mencari dengan susah payah dan akhirnya aku menemukan barang yang aku tinggalkan. Tapi kemudian muncul kecemasan yang lain, bagaimana cara aku keluar dari rumah sakit ini?

Aku memilih sebuah lift. Tapi begitu pintu lift tersebut terbuka,  di dalamnya ada telfon genggam yang berasap, seperti akan meledak. Selain itu, ada juga seorang perempuan dengan pakaian urakan yang sedang makan sambil menatap ku sinis. Aku langsung panik dan menutup pintu lift secepat mungkin. 

Aku memilih lift lain yang ada di sebarangnya. Aku langsung masuk ke dalam lift itu sembari ketakutan. Lalu memenceti tombol 1. Tapi lift ini malah turun dengan kecepatan tinggi dan ternyata lift itu rusak. Bukannya sampai di lantai 1, aku justru sampai di lantai dasar. Dengan jantung berdebar dan tubuh yang lelah, aku langsung keluar dan berjalan ngesot di atas lantai. Lalu saat melihat sekitar, di sekelilingku  dipenuhi oleh jeruji besi berwarna hijau. Aku merasa terjebak kembali

Dan setelah terbangun, aku mencoba untuk menenangkan diri sekaligus merenung. 

Iya. Aku merasakan ketertinggalan itu. Perasaan tertinggal dari teman-teman seusiaku. Meski aku sering meyakinkan diri bahwa hidup bukan perlombaan,  tetap saja rasa iri dan rendah diri kadang muncul tanpa diundang.

Hi, Ihat

Tolong, jangan bandingkan hidupmu dengan kehidupan orang lain ya. Setiap orang punya timeline nya masing-masing. Kamu masih baru. Adaptasi di tempat baru itu gak mudah. Kamu pasti akan mengalami banyak error, dan itu wajar. Tulis saja kekuranganmu dan jadikan sebagai bahan perbaikan untuk esok hari. Jangan menyerah ya, semangat!

Aku sedang berada dalam proses  penyembuhan. Bisa berada di titik ini - mulai menerima diri, mulai memaafkan masa lalu - adalah sebuah pencapaian yang tidak kecil.  Setahun ke belakang sangat berat untukku.  Aku harus melewati malam yang panjang, penuh suara dalam kepala yang mengkritik, menakuti, bahkan membuatku ingin melukai diri sendiri. Aku lelah sekali waktu itu. 

Sekarang frekuensi kesedihannya memang tidak sesering dulu. Tapi prosesnya masih panjang. Aku sadar, aku tidak bisa memaksa diriku untuk pulig dalam semalam. 

Kadang aku masih mempertanyakan pilihan hidupku. Apakah keputusan untuk langsung bekerja adalah langkah yang tepat? Padahal orang tuaku sendiri meminta aku untuk istirahat dulu. Tapi aku tidak mau membebani mereka. Setelah dewasa, aku menyadari bahwa dalam kondisi apapun, aku tidak bisa terus-menerus menjadikan rasa lelah sebagai alasan untuk lari dari tanggung jawab.

Aku juga masih bergulat dengan diriku sendiri. Takut tampil di depan umum, takut salah, takut tidak cukup baik. Padahal ketika akhirnya aku memberanikan diri, semuanya berjalan lebih baik dari yang aku bayangkan. 

Dan kini, aku sedang mencari arah hidupku sendiri. Aku tahu, semua butuh proses. Tidak ada yang langsung jadi. Gak apa-apa kalau aku belum tahu semuanya sekarang. Yang penting, aku terus berjalan, gak apa-apa pelan-pelan juga. Karena aku percaya, setiap langkah kecil yang aku pilih hari ini akan membawaku menuju versi terbaik dari diriku di masa depan.

Kalau kamu juga pernah merasa tersesat seperti dalam mimpiku, mungkin kita sama-sama sedang dalam proses berjuang untuk keluar dari jeruji yang tak terlihat. Semoga kita bisa sampau di lantai yang kita tuju, dengan selamat. 


Love,
Ihat


Photo by Tim Mossholder


Hi, bagaimana kabarnya?

 

Capek ya? Kamu masih harus mengejar banyak ketertinggalan kamu akhir-akhir ini. Tapi rasanya kenapa bisa lumayan lebih legowo ya? Kadang aku berpikir, apakah mengajar itu ingin aku? Apakah mengajar itu hal yang aku suka? Tapi aku ingat satu hal, manajerku pernah bilang bahwa satu tahun pertama pasti akan terasa berat dan itu wajar. Aku saat ini harus banyak mengulang materi-materi yang dulu pernah aku pelajari. Hanya saja perasaan aku entah mengapa ya tetap aja semangat. Aku mau melalui ini semua. 

 

Aku hanya ingin berbagi apa yang aku fahami. Bukan untuk menjadi guru yang sempurna. Gak apa-apa banget. Soalnya kalau di otaknya kamu harus jadi sempurna, gak ada yang sempurna mau bagaimanapun juga. 

 

Ihat.

Belajar memaafkan diri sendiri ya. Kamu udah terlalu keras sama diri kamu sendiri. Kamu lupa kalau kamu gak ngasih jeda dan juga nafas untuk diri kamu sendiri. Apa yang mau dikejar, Hat? Capek. Sekemampuan kamu aja, gak usah tengok kiri kanan.

 

Ingat, apa yang Allah tunda saat ini adalah itu yang terbaik. Bisa jadi kalau kamu paham banget, kamu udah di luar negeri, kamu gak bisa sedekat itu sama Allah. Kamu gak bisa ngobrol, minta apapun sama Dia Yang Maha Segalanya. Tapi bukan berarti kamu malas ya, yuk lebih banyak praktiknya lagi, sabarnya diperluas, doanya dikencengin lagi. Fokus satu-satu dulu aja, asal konsisten. 

 

Titip jangan nyerah, ya.

Kalau capek, berhenti sejenak. Gak usah memaksakan. 

 

Jangan kasar, keras sama diri kamu sendiri. 

Udah cukup dulu waktu kamu kecil kamu harus merasakan itu semua.

Saat ini udah ya. Jangan lagi. 

 

Gak apa-apa banget kalau kamu hari ini belum sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Masih ada esok lagi yang bisa kamu perbaiki. 

 

Semangat. 

Semangat, ya.

Jangan menyerah. 

 

Apalagi sekarang kamu udah tinggal sama orang tua lagi. Allah kasih mereka yang sayang sama kamu. Yang gak pernah menuntut apapun dari kamu. 

 

Kalau kamu bisa memaafkan mereka, kenapa kamu gak bisa memaafkan dan juga memeluk diri kamu sendiri?

 

Udah cukup dia diberi tekanan dari luar, dari kamu jangan dong. 

 

Percaya sama diri kamu sendiri, yakin ada Allah yang selalu bantu kamu. 

 

Hai, Ihat.

Maafin aku ya, yang jahat sama kamu. Yang selalu menuntut kamu sempurna. Yang selalu membanding-dingkan diri kamu dengan orang lain. 

 

Udah saatnya menghilang dulu di sosmed. Banyakin nulis dan ngobrol sama diri sendiri. Biar bisa makin akrab dan sayang sama diri sendiri. 

 

Love you, Ihat. 

Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

POPULAR POSTS

  • Book Insight #1: 3 Things I Learned from A Guide Book to Trust Yourself
    doc. pribadi Identitas Buku Judul : A Guide Book to Trust Yourself Penulis :   Ares Ulia Tahun Terbit : 2022 Penerbit:   Penerbit Briliant J...
  • Refleksi Catatan 78: Embrace Your Present Moment
    Photo by Anna Tarazevich Yesterday was a hard day for me.  I felt out of sorts, sluggish, unable to open my hand to the day’s offerings.  Pe...
  • Reflection Journal 75: Redefining Success
    Photo by cottonbro studio When I once asked him, "How do you define success in life?" He answered, "Sometimes, a simple thing...

Categories

  • BPNRamadan2021 1
  • Books 7
  • Catatan Harian 42
  • Dari Masa Lalu 2
  • Jalan-jalan 3
  • Puisi 1
  • Refleksi Diri 79
  • Satnight Story 3
  • Self Talk 1
  • Tentang si Kecil 2
  • Thanks for Leaving Me 1

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (39)
    • ▼  October (3)
      • Refleksi Catatan 79: Saat Anxiety Datang dan Orang...
      • DG #1: Moments That Touched My Morning
      • Refleksi Catatan 78: Embrace Your Present Moment
    • ►  September (2)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  June (3)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

BloggerHub Indonesia

Friends

Translate

Copyright © Hi Solihat. Designed & Developed by OddThemes