Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me
Photo by Leeloo The First

Tanya sekali lagi pada hatimu

Atas mimpi-mimpi yang selama ini didamba
Sudah jelaskah arahnya?
Sudah jelaskah niatnya?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Atas pilihan-pilihan yang telah kau buat
Sudah sesuaikah dengan keinginanmu selama ini?
Atau hanya karena mulut-mulut tetangga yang membuatmu ingin membungkamnnya?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Atas kisah-kisah mereka yang masih saja kau pelihara
Haruskah tetap dinyalakan bara apinya?
Atau dipadamkan saja dan biarkan semuanya berlalu?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Jika kamu masih ragu
Jika niatmu hanya sekedar sebagai ajang pembuktian
Bagaimanapun juga hidup ini adalah milikmu
Bukan milik orang lain


by: Ihat Azmi

Photo by Jess Bailey Designs


Saya termasuk yang masih awam ya untuk dunia blogging apalagi self-hosted. Satu tahun kemarin saya memutuskan untuk menggunakan nama domain sendiri dan waktu itu saya pilih providernya yang sedang memberikan promo free domain. Ya udah akhirnya saya beli karena harganya gak mahal-mahal amat kok dan waktu itu dapet e-mail kalau perpanjangannya nanti kena biaya sebesar Rp. 308.000,-. Ah masih lama, setahun ini kok. Batin saya.

Setahun ternyata berlalu begitu cepat dan saya selama ini tidak menyisihkan uang untuk pembayaran perpanjangan sewa hosting tersebut. Barulah mendekati bulan-bulan terakhir beberapa e-mail mengenai masa aktif hosting dan domain saya masuk dari provider. Tapi saya abaikan toh saya cuma harus bayar Rp. 308.000,-. Nah memasuki bulan terakhir masa aktif saya baru cek akun saya. Pas dilihat dinotifikasinya teryata ada yang harus bayar yaitu perpanjangan domain dengan harganya itu setengah dari harga sewa hosting. Kaget lah ya, kok bisa jadi murah ya? Kan asalnya tiga ratus delapan ribu? Saya kontak aja CS nya dan alhamdulillah respon CS nya cepet banget.  Ya sudah saya langsung transfer aja dong gak mikir panjang lagi. Lumayan sisa duitnya buat beli skincare. Batin saya. Hanya saya pas saya cek lagi di akun saya ternyata yang Rp. 308.000,- itu masih ada dan akan jatuh tempo pada akhir bulan ini. Bingung lah saya. Terus tadi bayar apa dong?

Iya Kak, yang tadi itu bayar perpanjangan domainnya. Untuk hostingnya belum.

Alamak! Lemes saya mendapat balasan dari si CS nya begitu. Panik lha saya. Uang yang sudah dijatah buat pembayaran blog ternyata minus! Kemudian saya tanya ke grup komunitas blog, 1m1c dari sanalah saya baru faham kalau bikin blog dengan self-hosted bayarnya ya begitu. Ya bayar domainnya bayar juga hostingnya. Kecuali yang pas diawal beli domainnya gratis seumur hidup. Pas saya hitung-hitung ternyata pengeluaran saya untuk bayar perpanjangan domain dan hosting mencapai Rp. 507.000,- hikss :’(.

Tak lama saya mendapatkan info untuk dicoba pindah paket hostingnya saja, jadi di downgrade gitu namanya. Sebelum saya melakukan downgrade itu saya kembali melihat paket-paketan yang telah tersedia dan saya menemukan yang paling murah. Untungnya lagi saya gak buru-buru nge-downgrade. Saya kembali lagi bertanya-tanya ke CS nya dan alhasil ribet juga ternyata. Lantaran disk space hostingnya kecil dan disk space hostingan saya sebelumnya sudah mencapai dari yang paket lebih murah itu. Habis itu saya tanya lagi untuk harganya berapa dan ternyata harganya tidak jauh berbeda. Baiklah¸ actually dengan berat hati akhirnya saya bayar aja sesuai dengan tagihan awal.

From my experience, I highlighted some points:

  • Jika kamu memutuskan untuk membuat blog dengan self-hosted  berarti mau tidak mau kamu harus belajar tentang dunia per-bloggan. Soalnya sayang banget kalau bikin terus dianggurin secara percuma. Secara kita punya tagihan biaya setiap tahunnya. Kecuali kamu punya banyak duit dan gak ambil pusing soal biayanya.
  • Sering-sering ngecek akun providernya. Biar kamu tahu dan faham. Jangan seperti saya ngecek pas udah mau jatuh tempo.
  • Kumpulin uang perbulan lah ya jadi gak memberatkan pas diakhir. Saya salahnya begitu terlalu menyepelekan bayarannya. Jadi yang tertera Rp. 308.000 itu hanya untuk bayar sewa hostingnya dan belum termasuk bayar perpanjangan domainnya.
  • Mau gak mau blog saya harus bisa menghasilkan sesuatu. Jujur sih, kalau cuma buat numpang biar dikata orang keren punya blog pribadi itu gak ada di kamus saya. Inget biaya pertahunnya berat cuy! Jadi kalau cuma buat gengsi doang saya mending pindah lagi ke blog gratisan.
  • Baiklah karena sudah terlanjur mau tidak mau saya harus belajar banyak lagi soal blog atau pilihan terakhir kalau misal nanti belum dapet tawaran iklan aja ya udah mau migrasi aja ke blogspot hihii. Di blogspot kan cuma bayar domainnya aja gak perlu sewa hosting.


Photo by Ann H

Sebagai seorang pembina asrama, tentu berat rasanya. Mengurusi anak dengan berbagai karakter menuntut saya untuk lebih bersabar lagi dalam menghadapi mereka. Terlebih diusia yang labil, terkadang nasehatpun selalu salah dipandangan mereka.

Manusiawi, jangan mentang-mentang saya sebagai seorang pembina asrama memiliki hati bak malaikat, tidak. Saya bisa marah, kesal, bahagia, sama seperti lainnya. Toh saya juga manusia biasa. Apalagi jika tugas diasrama menumpuk dititik waktu tertentu, masalah datang secara bersamaan rasanya kepala saya ingin pecah. Setelah beres ngurusin yang ini, yang lainnya datang. Terkadang saya ingin lari jauh dari dunia saya saat itu juga. Namun sebuah pesan selalu membuat hati saya terenyuh, senang sekaligus terharu.

Jazakallohu khoiran ukhti..

Ukhti, jazakumullohu khoiran katsiira. Semoga ukhti lebih sabar lagi dalam mengurus anak-anak.

Jazakallohu khoiran, artinya semoga Allah membalas atas kebaikanmu. Sebuah kalimat sederhana namun bagi saya maknanya sangat dalam. Bukan hanya sebatas ucapan melainkan sebuah doa. Kebaikan yang kita lakukan, lalu orang lain membalasnya dengan doa seperti itu, bagaimana? Luar biasa bukan? Mereka membalasnya dengan mendoakan agar kebaikan yang kita perbuat dibalas oleh Allah SWT. Balasan mana yang lebih indah selain dari balasan Allah SWT? Maka dari itu saya aamiin kan dalam hati sambil tersenyum. Walau terkadang dengan kebaikan yang telah ditebar selalu mengundang rezeki dalam bentuk lainnya.

Saya ingat bagaimana orangtua saya mengajarkan saya agar melaksanakan segala sesuatu janganlah pamrih, biar Allah SWT yang balas. Percuma jika melakukan kebaikan karena ingin dipuji orang, apalagi ingin diberi hadiah, sudahlah capek melakukan amal perbuatan eh amalannya hangus lagi tak bernilai disisi Allah. Adapun untuk hadiah yang sering saya terima, ya saya anggap itu adalah bonus yang Allah beri untuk saya.

Ukhti terima kasih banyak atas bantuannya. Jakallohu khoiran katsiira. Semoga ukhti kuliahnya lancar, mendapatkan jodoh yang sholeh, mapan, ganteng, baik, sayang sama ukhti.

Saya tersenyum saja, saya aamiinkan dalam hati.

Jazakallohu khoiran ukhti,

Doa juga penyemangat bagi saya 🙂

Ditengah hawa dingin yang menyerang,
06/07/18

IhatAzmi

Photo by The Vegan Monster

Beberapa hari lalu, saat pulang ke rumah naik kereta seperti biasa, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang membuatku merenung: tentang obrolan di perjalanan, orang asing, dan batas-batas personal yang selama ini selalu ingin aku jaga dan aku juga masih belajar untuk enggak oversharing sama orang lain.

Aku jadi ingat obrolan aku dengan saudaraku setahun lalu. Dia pernah bilang kalau aku ini terlalu jutek ketika ketemu sama orang asing. Long story short, waktu itu kami pergi ke luar kota bersama. Berbeda sama aku yang lebih memilih menikmati perjalanan dari balik kaca jendela sambil mendengarkan lagu, saudaraku justru menikmati obrolan dengan siapa pun, termasuk orang asing yang baru saja dia temui.

Satu hal yang tidak pernah aku sukai dari sebuah perjalanan adalah ketika orang asing mulai bertanya hal-hal yang terlalu personal. Tentang status, pekerjaan, tempat tinggal—seolah-olah setiap pertemuan singkat wajib dibumbui dengan informasi pribadi.

“Pantesan susah dapet jodoh,” komentar saudaraku waktu itu, setelah melihat aku menjawab singkat  pertanyaan dari seorang ibu-ibu yang mulai menyinggung hal-hal pribadi. Jujur sih, aku lebih memilih diam atau menjawab singkat daripada harus membuka ruang untuk diskusi yang tidak aku sukai. Buat aku, berbagi cerita  itu punya waktunya sendiri. Ada konteks dan ruang yang pas untuk itu, misalnya dalam sebuah workshop, seminar, atau diskusi bertema tertentu. Aku akan menjadi orang yang talk-active karena tahu obrolan itu ada tujuannya.

Namun di hari itu, pelajaran kecil kembali datang. Di dalam kereta, seorang bapak paruh baya menyapaku:

“Neng, kuliah?” 

“Kerja,” jawabku singkat.

“Kerja di mana?”

Aku menarik napas dalam. Naluriku langsung tahu, obrolan ini bisa jadi panjang dan menyentuh banyak area yang tidak ingin aku bagi. Maka aku menjawab seadanya, “Di sekolah,” lalu segera membuka buku yang kubawa.

Tebakanku ternyata benar. Beberapa menit kemudian, si Bapak dengan semangat mengobrol panjang lebar dengan pemuda di sebelahnya, bertanya tentang hidupnya; kerja di mana, tinggal di mana, gaji berapa, sekolah di mana dulu. Obrolan itu terasa seperti audit kehidupan.

Aku pun memejamkan mata. Bersyukur telah menjaga jarak dari awal. Tapi begitu aku bangun, si Bapak mulai lagi bertanya kepadaku, bahkan mengenalkanku pada pemuda tadi. Di titik itu aku hanya bisa tersenyum. Malas menanggapi. Hingga akhirnya pemuda itu menebak-nebak statusku, berkomentar bahwa aku pasti sudah punya pasangan, lalu menyarankan agar aku lanjut S2 dan baru dilamar setelah lulus.

Aku mengangguk kecil, tersenyum samar, lalu mengaminkan. Namun dalam hati, aku benar-benar gak nyaman.

Pengalaman ini menyadarkanku akan satu hal penting: bahwa menjaga batas bukanlah sebuah kesalahan. Bahwa tidak semua orang harus tahu tentang aku dan tidak semua obrolan harus aku respons panjang lebar hanya demi sopan santun. Ada perbedaan antara menjadi ramah dan membiarkan batas-batas pribadi dilanggar.

Dulu aku sempat bertanya-tanya, apakah ini yang membua aku terlihat "jutek"? Tapi kini aku merasa: justru ini bentuk dari self-respect. Aku bukan tidak suka berinteraksi. Aku hanya ingin merasa aman dalam obrolan; dilihat sebagai pribadi utuh, bukan sekadar status sosial yang harus diulik, apalagi pada saat pertama kali kenal.

Aku pun belajar satu hal lagi: bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam menjalani perjalanan dan berinteraksi. Tidak perlu memaksakan diri menjadi seperti saudaraku yang hangat dengan siapa saja. Aku bisa tetap menjadi diriku sendiri; hangat dalam konteks yang aku rasa aman dan nyaman.

Ke depannya, aku ingin:

1. Lebih percaya diri untuk menetapkan batas ketika obrolan mulai menyentuh ranah pribadi.

2. Tidak merasa bersalah karena menjaga privasi.

3. Menerima bahwa tidak semua orang akan memahami batas yang aku buat, dan itu tidak apa-apa.

4. Mengenali momen yang tepat untuk membuka diri dan kapan harus cukup dengan senyum dan anggukan.

Perjalanan itu bukan hanya soal jarak yang ditempuh, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga ruang dalam diri sendiri. Tentang bagaimana kita tetap menjadi versi terbaik dari diri kita, tanpa harus mengorbankan kenyamanan hanya demi dinilai "ramah" oleh orang yang tidak kita kenal. 

Kalau kata temanku, dia bilang gini. 

"Coba belajar untuk merasa bahwa kamu itu gak penting buat orang lain. Dari sana kamu akan belajar bahwa kamu gak harus open terhadap siapapun agar kamu bisa diapresiasi. Selain itu, orang akan lebih menghargai kamu karena kamu sulit untuk diakses."

Aku sempat bertanya, "Maksudnya?"

"Coba gak aktifin ponsel kamu, seharian aja."

Aku jawab, "Gak bisa. Nanti pasti ada orang yang menghubungi."

"Nah itu dia, kamu masih merasa penting buat orang lain. Jadi orang lain akhirnya menganggap mereka bisa akses kamu kapan pun, karena kamu sendiri yang mengizinkan itu."

Kalimat itu sempat membuatku diam. Tapi setelah kejadian di kereta, aku mulai mengerti. 

So, menurut kamu gimana?


Cheers,

Solihat

Photo by cottonbro studio



Ternyata konsep hidup begitu ya. Ketika Allah bilang bahwa semuanya ini berpasangan dalam QS  Az-Zariyat ayat 49, maka apapun yang hadir dalam hidupmu pun begitu. Sepaket. Tak pernah setengah-setengah.

 

Sama seperti saat hadirnya kesulitan, maka kemudahan lain tentu hadir juga beriringan. Saat seseorang hadir dalam hidupmu, dia yang membuatmu bahagia, bisa jadi dia juga yang akan membuatmu menangis. Semua yang hadir dengan kadar dan takaran yang telah ditentukan oleh-Nya. Tak ada yang "paling” di dunia ini. Tak ada yang tertukar, karena semua sudah dalam ketetapan-Nya. 


Belajar untuk Bijak dalam Menyikapi

 

Dari sini aku belajar bahwa saat apa pun datang ke dalam hidup, hadapilah dengan bijak. Tak perlu terlalu bahagia, tak perlu terlalu sedih. Walau aku tahu, itu gak mudah sih. 


Makannya ya, dalam Islam kita mengenal kata “Alhamdulillah” dan juga “Innalillahi.” Dua ungkapan yang mengingatkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, bukan semata-mata karena usaha kita. Usaha tetap perlu, tapi hasil akhir tetap milik-Nya.


Saat Standar Dunia Membuat Letih


Aku pernah mengeluh karena di usiaku kini aku belum punya tabungan yang besar (jika melihat standar masyarakat), belum punya pasangan, karir yang mentok gitu-gitu aja. Sampai akhirnya, dititik saat aku sudah lelah dengan segala achievements standar orang lain, aku memilih untuk “menerima” hidupku, jalanku, takdirku, seraya terus berjuang, berusaha, dan berdoa. Tak hanya menerima, aku pun belajar untuk selalu merasa “cukup” atas apa yang sudah Allah kasih. Alih-alih menyalahkan diri dan keadaan karena merasa diri tidak cukup kompeten, atau menyalahkan diri karena keputusan-keputusan yang pernah diambil, aku memilih untuk bersyukur setiap kali hari usai dan terus memupuk diri untuk berkata,

 

“Ya Allah, alhamdulillah, terima kasih untuk hari ini aku bisa makan…. Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan seizinmu, diberi lingkungan kerja yang baik, teman-teman yang support dan selalu mengingatkan untuk tetap berada dalam jalan yang Allah ridhoi.”

 

Bentuk Lain dari Rezeki


Hingga akhirnya, satu persatu semua itu terjawab. Saat yang kufikir masa depanku akan hancur dan berantakan, rupanya Allah dengan baik memberiku teman-teman yang sangat baik, yang mau mendukung dan juga membantu untuk urusan hal-hal yang bersifat administrative saat aku akan melamar pengalaman lain di luar sana. 

 

Kini aku sadar, rezeki bukan hanya tentang uang, gaji yang kamu dapatkan. Bukan.

Rezeki juga adalah teman yang baik, lingkungan yang mendukung dalam hal kebaikan, hati yang tenang, dan keimanan yang terus tumbuh. Rezeki adalah ketika ada orang yang dengan tulis mengingatkanmu pada akhirat bahkan ketika kamu sendiri hampir lupa.


Kalau boleh memilih tentu, inginnya ya gaji berlipat dengan lingkungan yang selalu mengingatkan akhirat juga. Tapi lagi-lagi, hidup adalah pilihan.  Pilihan mana yang kekurangannya bisa kamu terima?

 

Husnudzan dan Ikhlas Menerima Takdir


Banyak hal baik yang datang saat kamu memilih untuk husnudzan kepada Allah, ikhlas menerima takdirmu, dan memilih untuk tidak menyerah. Mungkin jalannya tidak mudah, tapi bukanlah semua itu bagian dari cara-Nya menguatkan kita?

 

Ya Allah, aku tahu imanku lemah. Maka kuatkan imanku untuk terus percaya dan yakin kepada-Mu di kala susah maupun senang. Menerima dan terus yakin bahwa ketetapan-Mu atas apa yang telah aku usahakan adalah bentuk perlindungan-Mu dan juga kasih saying-Mu padauk agar aku tetap dekat dengan-Mu bukan malah menjauh dari-Mu. Bimbing aku untuk terus menebari kebermanfaat pada sekitar dan terus ajari untuk terus memilihku dan menempatkanmu diurutan pertama setiap kali akan memilih suatu urusan.


Ajari aku untuk terus bersemangat dan bahagia berbicara dengan-Mu di sepertiga malam.  Karena sungguh, tanpa-Mu, aku lemah dan tak berdaya. 

 

Terima kasih ya Allah.    


Love,

Solihat                  




x


 

https://www.youtube.com/

Berawal dari nonton video YouTube Kak Wego Mustika yang berjudul "Anak Indonesia Udah Paham Cara Main ORANG DALAM", uneg-uneg yang sudah lama kupendam dalam hati akhirnya muncul juga kepermukaan. Rasanya relate sekali, karena aku pernah menjadi salah satu korban dari sistem yang tidak adil - sistem yang menilai bukan dari kemampuan, tapi dari "siapa orang tuamu."  

Masih teringat jelas, saat itu usiaku baru 6 tahun. Aku mendaftar ke SD negeri favorit pada zaman itu. Ketika tes masuk, aku menjawab dengan baik dan lancar, tapi tidak ada apresiasi sedikit pun dari guru penguji. Sebaliknya, anak lain yang jawabannya keliru malah mendapatkan pujian. 

Setelah test itu selesai, tak lama pengumuman hasil tes keluar - dan namaku tidak ada di daftar siswa yang diterima. Padahal selama TK aku selalu mendapati peringkat satu. Banyak yang mempertanyakan keputusan itu, sampai akhirnya beredar isu bahwa aku kalah karena pekerjaan Bapak hanya serabutan, sementara ayahnya itu adalah seorang pengacara.

Bapak tentu kecewa. Aku masih ingat sampai saat ini bagaimana raut wajahnya saat namaku tak ada di dalam daftar siswa yang diterima. Apalagi dengan isu tersebut, aku tidak tahu bagaimana isi hatinya. Sambil marah, Bapak langsung menarik tanganku dan mengajakku pulang menggunakan sepeda. Aku hanya diam sepanjang jalan, tak berani bertanya apapun kepada Bapak. Bapak cukup emosi begitu menyampaikan hal ini kepada Ua (Kakaknya Bapak). Sementara itu, Ua memberikan rekomendasi agar aku didaftarkan ke sekolah favorit lain yang letaknya di tengah kota. Sayang seribu sayang, pendaftaran di sekolah tersebut sudah berakhir. 

Mau tidak mau, aku harus mendaftar ke sekolah rekomendasi yang diberikan oleh sekolah yang aku daftar sebelumnya. Rekomendasinya adalah aku harus pindah ke SD tetangganya, yang zaman dulu masih lekat dengan kata sekolah buangan. Bapak sebenarnya tak terima dengan keputusan itu, tapi kami tidak punya pilihan lain. Selama enam tahun di sana, aku menjadi siswa berprestasi. Bahkan kepala sekolah kami (almarhum) pernah berkata di depan para orang tua siswa:

“Di sekolah kita ini ada satu siswa yang dulu tidak keterima di sekolah tertentu, tapi di sini dia berprestasi. Bagaimana bisa tidak sampai keterima? Mungkin rezekinya di sini bukan di sana.”

Kini aku berdiri di sisi yang berbeda - sebagai seorang guru. Dan apa yang dulu aku alami sebagai anak kecil, sekarang aku melihat terjadi lagi, bahkan dengan bentuk yang lebih kompleks. Dan ini bukan hanya terjadi padaku saja, aku yakin ini banyak terjadi pada guru-guru di Indonesia. 

Seperti yang disampaikan oleh Kak Wego dalam videonya tersebut. Let's say, praktik "dongkrak nilai" seolah menjadi hal yang lumrah. Ketika masa pengisian rapor tiba, sering kali muncul tekanan untuk menaikkan nilai siswa yang sebetulnya belum layak.  Perasaan tidak rela, stress, dan dilema moral menjadi teman setia saat mengisi angka-angka itu. 

Sebagai sesama guru, aku yakin siswa-siswa sudah faham dengan praktik ini. Mungkin inilah yang membuat daya juang siswa berkurang. Mereka merasa bahwa, "Ah nanti juga nilainya akan dinaikkan oleh guru." Belum lagi perkara mengubah alamat rumah. Ada beberapa orang tua yang rela mengubah alamat rumah mereka di dokumen demi anaknya bisa diterima di sekolah incarannya. Setelah disidak, ternyata itu adalah pemalsuan dokumen. Kita sering mengeluh soal korupsi di negeri ini, tapi benih-benihnya justru ditanam sejak kecil - dengan cara membenarkan kebohongan kecil dan menghalalkan jalan pintas. 


https://www.tempo.co/

https://news.detik.com/


Belum lagi hal yang ku alami sendiri. Perkara "kendaraan bermotor", ada orang tua yang sudah mengizinkan anaknya mengendari motor meskipun SIM saja belum punya. Jangankan SIM, usia saja belum mencukupi. Bilangnya hanya diizinkan sekitaran komplek rumah, tahu-tahunya sudah dibawa ke jalan raya besar.


Selain itu, ada juga masalah di mana pendidikan sering kali diserahkan sepenuhnya ke sekolah.  Ketika sekolah mencoba mengingatkan dan bekerja sama dengan orang tua, justru pihak sekolah yang disalahkan:


"Saya kan udah bayar mahal-mahal."

"Masa perkara rambut, bolos masuk kelas dibilang masalah besar?"  

 

Lalu bagaimana dengan etika? Budi pekerti? Sikap menghormati kepada guru?

Rasanya, pendidikan karakter seperti bisa dibeli. Anak dimasukkan ke sekolah atau pesantren dengan harapan patuh aturan, bisa menutup aurat dengan rapi, dan sopan santun. Tapi di rumah? Tidak ada keteladanan. Dulu pernah punya santri di pondok yang sering sekali kena teguran bidang bahasa lantaran bahasanya yang kasar. Saat pemanggilan, ternyata di rumahnya orang tuanya juga ngobrolnya sudah biasa menggunakan bahasa kasar. 

Menurut Hairuddin (2014), keluarga merupakan lingkungan yang pertama sekali ditemui oleh anak dalam kehidupannya, dengan demikian lingungan keluarga mempunyai peranan penting dalam rangka memberikan dasar-dasar pendidikan kepada anak yang nantinya akan menentukan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa yang akan datang.  Oleh karena itu, pendidikan seharusnya tidak hanya diserahkan kepada sekolah, tetapi harus dimulai dan diperkuat dari rumah. Orang tua adalah pendidik pertama yang memberikan nilai-nilai dasar, seperti kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab yang akan membentuk karakter anak untuk masa depan yang lebih baik. 

Aku selalu ingat nasihat orang tua lewat lagu sunda "Jang - Oon B," yang liriknya mengajarkan kejujuran, kesabaran, dan pentingnya menjadi manusia baik yang taat pada agama. Nilai-nilai itu yang terus aku pegang sampai sekarang.


Sing pinter tur bener  

Sing jujur tong bohong 

Ulah nganyerikeun batur

Ngarah hirup loba dulur


Tulisan ini aku buat juga sebagai reminder untuk diriku sendiri-untuk masa ketika aku menjadi orang tua nanti.

Bahwa aku tak perlu menghalalkan segala cara hanya demi mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang-orang. Aku tak perlu menempuh jalan pintas hanya agar anakku kelak terlihat hebat di mata orang lain. Jangan sampai, demi ambisi pribadi, aku malah menzalimi anak orang lain yang lebih layak. 

"Celakalah orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Namun apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)

Bapak, aku tidak pernah marah atau kesal lantaran karena pekerjaanmu dulu membuatku tidak bisa lolos masuk ke sekolah favorit. Aku justru bersyukur dan berterima kasih, karena melalui hal tersebut Allah telah mengajarkan aku untuk hidup jujur. Terima kasih telah memilih jujur pada saat pendaftaran sekolah-sekolah selanjutnya. Terima kasih karena selalu mengajarkan aku untuk hidup jujur dan berjuang keras. Kalaupun gagal, yakinlah bahwa Allah sudah menetapkan rencana yang lebih baik daripada memaksakan diri dengan cara-cara yang tak diridhai Allah. Karena sejatinya hidup bukan hanya tentang "pencapaian," tetapi juga keberkahan, agar dalam menjalaninya Allah berikan ketenangan dan kemudahan dalam setiap menghadapi tantangan. 

Menjadi guru adalah perjalanan penuh suka dan duka. Tapi yang lebih penting dari segalanya adalah ketulusan dan integritas. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat untuk kita semua -  guru, orang tua, bahkan siswa - bahwa masa depan bangsa tidak hanya dibangun lewat kurikulum, tetapi lewat contoh nyata dari rumah, sekolah, dan lingkungan. 

Sebelum tulisan ini ditutup, aku mau mengucapkan terima kasih kepada Kak Wegi yang sudah menyampaikan keresahan-keresahan ini dalam videonya. Ditunggu video-video selanjutnya Kak! Selain itu, terima kasih juga untuk Bu Nita, guru Bahasa Sunda di sekolah yang minggu lalu sudah mengajarkan lagu ini kepada para siswa. Tiba-tiba jadi teringat serial Manifest: everything is connected. 

Apakah teman-teman semua pernah mengalami atau melihat hal serupa?

Boleh banget share ceritanya di kolom komentar ya. Kita saling belajar dan tumbuh bersama.  

 Sumber: 

Hairuddin. (2014). Pendidikan Itu Berawal Dari Rumah. Jurnal Irfani.10(1). http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ir


Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

You are looking for...

  • ▼  2025 (20)
    • ▼  May (7)
      • Refleksi Catatan 15: Persoalan Rezeki dan Ujian Hidup
      • Pencapaian Tertinggi di Usia 23 Tahun
      • Tanya Sekali lagi Pada Hatimu
      • Pertama Kali Perpanjangan Hosting dan Domain: Biki...
      • Jazakallohu Khoiran Katsiiran Ukhti
      • Refleksi Catatan 14: Gak Harus Tahu Aku Siapa
      • Refleksi Catatan 13: Ketika Aku Memilih Untuk Mera...
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Thank You!

Friends

Get new posts by email:
Powered by follow.it

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Follow Me On Instagram

Translate

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template