Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact

Photo by The Vegan Monster

Beberapa hari lalu, saat pulang ke rumah naik kereta seperti biasa, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang membuatku merenung: tentang obrolan di perjalanan, orang asing, dan batas-batas personal yang selama ini selalu ingin aku jaga dan aku juga masih belajar untuk enggak oversharing sama orang lain.

Aku jadi ingat obrolan aku dengan saudaraku setahun lalu. Dia pernah bilang kalau aku ini terlalu jutek ketika ketemu sama orang asing. Long story short, waktu itu kami pergi ke luar kota bersama. Berbeda sama aku yang lebih memilih menikmati perjalanan dari balik kaca jendela sambil mendengarkan lagu, saudaraku justru menikmati obrolan dengan siapa pun, termasuk orang asing yang baru saja dia temui.

Satu hal yang tidak pernah aku sukai dari sebuah perjalanan adalah ketika orang asing mulai bertanya hal-hal yang terlalu personal. Tentang status, pekerjaan, tempat tinggal—seolah-olah setiap pertemuan singkat wajib dibumbui dengan informasi pribadi.

“Pantesan susah dapet jodoh,” komentar saudaraku waktu itu, setelah melihat aku menjawab singkat  pertanyaan dari seorang ibu-ibu yang mulai menyinggung hal-hal pribadi. Jujur sih, aku lebih memilih diam atau menjawab singkat daripada harus membuka ruang untuk diskusi yang tidak aku sukai. Buat aku, berbagi cerita  itu punya waktunya sendiri. Ada konteks dan ruang yang pas untuk itu, misalnya dalam sebuah workshop, seminar, atau diskusi bertema tertentu. Aku akan menjadi orang yang talk-active karena tahu obrolan itu ada tujuannya.

Namun di hari itu, pelajaran kecil kembali datang. Di dalam kereta, seorang bapak paruh baya menyapaku:

“Neng, kuliah?” 

“Kerja,” jawabku singkat.

“Kerja di mana?”

Aku menarik napas dalam. Naluriku langsung tahu, obrolan ini bisa jadi panjang dan menyentuh banyak area yang tidak ingin aku bagi. Maka aku menjawab seadanya, “Di sekolah,” lalu segera membuka buku yang kubawa.

Tebakanku ternyata benar. Beberapa menit kemudian, si Bapak dengan semangat mengobrol panjang lebar dengan pemuda di sebelahnya, bertanya tentang hidupnya; kerja di mana, tinggal di mana, gaji berapa, sekolah di mana dulu. Obrolan itu terasa seperti audit kehidupan.

Aku pun memejamkan mata. Bersyukur telah menjaga jarak dari awal. Tapi begitu aku bangun, si Bapak mulai lagi bertanya kepadaku, bahkan mengenalkanku pada pemuda tadi. Di titik itu aku hanya bisa tersenyum. Malas menanggapi. Hingga akhirnya pemuda itu menebak-nebak statusku, berkomentar bahwa aku pasti sudah punya pasangan, lalu menyarankan agar aku lanjut S2 dan baru dilamar setelah lulus.

Aku mengangguk kecil, tersenyum samar, lalu mengaminkan. Namun dalam hati, aku benar-benar gak nyaman.

Pengalaman ini menyadarkanku akan satu hal penting: bahwa menjaga batas bukanlah sebuah kesalahan. Bahwa tidak semua orang harus tahu tentang aku dan tidak semua obrolan harus aku respons panjang lebar hanya demi sopan santun. Ada perbedaan antara menjadi ramah dan membiarkan batas-batas pribadi dilanggar.

Dulu aku sempat bertanya-tanya, apakah ini yang membua aku terlihat "jutek"? Tapi kini aku merasa: justru ini bentuk dari self-respect. Aku bukan tidak suka berinteraksi. Aku hanya ingin merasa aman dalam obrolan; dilihat sebagai pribadi utuh, bukan sekadar status sosial yang harus diulik, apalagi pada saat pertama kali kenal.

Aku pun belajar satu hal lagi: bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam menjalani perjalanan dan berinteraksi. Tidak perlu memaksakan diri menjadi seperti saudaraku yang hangat dengan siapa saja. Aku bisa tetap menjadi diriku sendiri; hangat dalam konteks yang aku rasa aman dan nyaman.

Ke depannya, aku ingin:

1. Lebih percaya diri untuk menetapkan batas ketika obrolan mulai menyentuh ranah pribadi.

2. Tidak merasa bersalah karena menjaga privasi.

3. Menerima bahwa tidak semua orang akan memahami batas yang aku buat, dan itu tidak apa-apa.

4. Mengenali momen yang tepat untuk membuka diri dan kapan harus cukup dengan senyum dan anggukan.

Perjalanan itu bukan hanya soal jarak yang ditempuh, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga ruang dalam diri sendiri. Tentang bagaimana kita tetap menjadi versi terbaik dari diri kita, tanpa harus mengorbankan kenyamanan hanya demi dinilai "ramah" oleh orang yang tidak kita kenal. 

Kalau kata temanku, dia bilang gini. 

"Coba belajar untuk merasa bahwa kamu itu gak penting buat orang lain. Dari sana kamu akan belajar bahwa kamu gak harus open terhadap siapapun agar kamu bisa diapresiasi. Selain itu, orang akan lebih menghargai kamu karena kamu sulit untuk diakses."

Aku sempat bertanya, "Maksudnya?"

"Coba gak aktifin ponsel kamu, seharian aja."

Aku jawab, "Gak bisa. Nanti pasti ada orang yang menghubungi."

"Nah itu dia, kamu masih merasa penting buat orang lain. Jadi orang lain akhirnya menganggap mereka bisa akses kamu kapan pun, karena kamu sendiri yang mengizinkan itu."

Kalimat itu sempat membuatku diam. Tapi setelah kejadian di kereta, aku mulai mengerti. 

So, menurut kamu gimana?


Cheers,

Solihat

Photo by cottonbro studio



Ternyata konsep hidup begitu ya. Ketika Allah bilang bahwa semuanya ini berpasangan dalam QS  Az-Zariyat ayat 49, maka apapun yang hadir dalam hidupmu pun begitu. Sepaket. Tak pernah setengah-setengah.

 

Sama seperti saat hadirnya kesulitan, maka kemudahan lain tentu hadir juga beriringan. Saat seseorang hadir dalam hidupmu, dia yang membuatmu bahagia, bisa jadi dia juga yang akan membuatmu menangis. Semua yang hadir dengan kadar dan takaran yang telah ditentukan oleh-Nya. Tak ada yang "paling” di dunia ini. Tak ada yang tertukar, karena semua sudah dalam ketetapan-Nya. 


Belajar untuk Bijak dalam Menyikapi

 

Dari sini aku belajar bahwa saat apa pun datang ke dalam hidup, hadapilah dengan bijak. Tak perlu terlalu bahagia, tak perlu terlalu sedih. Walau aku tahu, itu gak mudah sih. 


Makannya ya, dalam Islam kita mengenal kata “Alhamdulillah” dan juga “Innalillahi.” Dua ungkapan yang mengingatkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, bukan semata-mata karena usaha kita. Usaha tetap perlu, tapi hasil akhir tetap milik-Nya.


Saat Standar Dunia Membuat Letih


Aku pernah mengeluh karena di usiaku kini aku belum punya tabungan yang besar (jika melihat standar masyarakat), belum punya pasangan, karir yang mentok gitu-gitu aja. Sampai akhirnya, dititik saat aku sudah lelah dengan segala achievements standar orang lain, aku memilih untuk “menerima” hidupku, jalanku, takdirku, seraya terus berjuang, berusaha, dan berdoa. Tak hanya menerima, aku pun belajar untuk selalu merasa “cukup” atas apa yang sudah Allah kasih. Alih-alih menyalahkan diri dan keadaan karena merasa diri tidak cukup kompeten, atau menyalahkan diri karena keputusan-keputusan yang pernah diambil, aku memilih untuk bersyukur setiap kali hari usai dan terus memupuk diri untuk berkata,

 

“Ya Allah, alhamdulillah, terima kasih untuk hari ini aku bisa makan…. Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan seizinmu, diberi lingkungan kerja yang baik, teman-teman yang support dan selalu mengingatkan untuk tetap berada dalam jalan yang Allah ridhoi.”

 

Bentuk Lain dari Rezeki


Hingga akhirnya, satu persatu semua itu terjawab. Saat yang kufikir masa depanku akan hancur dan berantakan, rupanya Allah dengan baik memberiku teman-teman yang sangat baik, yang mau mendukung dan juga membantu untuk urusan hal-hal yang bersifat administrative saat aku akan melamar pengalaman lain di luar sana. 

 

Kini aku sadar, rezeki bukan hanya tentang uang, gaji yang kamu dapatkan. Bukan.

Rezeki juga adalah teman yang baik, lingkungan yang mendukung dalam hal kebaikan, hati yang tenang, dan keimanan yang terus tumbuh. Rezeki adalah ketika ada orang yang dengan tulis mengingatkanmu pada akhirat bahkan ketika kamu sendiri hampir lupa.


Kalau boleh memilih tentu, inginnya ya gaji berlipat dengan lingkungan yang selalu mengingatkan akhirat juga. Tapi lagi-lagi, hidup adalah pilihan.  Pilihan mana yang kekurangannya bisa kamu terima?

 

Husnudzan dan Ikhlas Menerima Takdir


Banyak hal baik yang datang saat kamu memilih untuk husnudzan kepada Allah, ikhlas menerima takdirmu, dan memilih untuk tidak menyerah. Mungkin jalannya tidak mudah, tapi bukanlah semua itu bagian dari cara-Nya menguatkan kita?

 

Ya Allah, aku tahu imanku lemah. Maka kuatkan imanku untuk terus percaya dan yakin kepada-Mu di kala susah maupun senang. Menerima dan terus yakin bahwa ketetapan-Mu atas apa yang telah aku usahakan adalah bentuk perlindungan-Mu dan juga kasih saying-Mu padauk agar aku tetap dekat dengan-Mu bukan malah menjauh dari-Mu. Bimbing aku untuk terus menebari kebermanfaat pada sekitar dan terus ajari untuk terus memilihku dan menempatkanmu diurutan pertama setiap kali akan memilih suatu urusan.


Ajari aku untuk terus bersemangat dan bahagia berbicara dengan-Mu di sepertiga malam.  Karena sungguh, tanpa-Mu, aku lemah dan tak berdaya. 

 

Terima kasih ya Allah.    


Love,

Solihat                  




x


Newer Posts Older Posts Home

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (15)
    • ▼  May (2)
      • Refleksi Catatan 14: Gak Harus Tahu Aku Siapa
      • Refleksi Catatan 13: Ketika Aku Memilih Untuk Mera...
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Friends

Community

Community

Subscribe Us

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia Logo Komunitas BRT Network

Featured post

Don't Worry. Don't Think Too Much.

Photo by Cup of Couple Dear you, I wanted to take a moment to express that I'm filled with gratitude for you and the incredible influen...

Translate

Copyright © 2016 Hi Solihat. Created by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates