Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me

Photo by Anurag Jamwal


Memulai kembali di tempat baru tentu tidak mudah. Meski gak switch career, tetap aja pindah ke tempat baru menuntut kamu mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru.

Ada perasaan yang berbeda saat ini. Tidak seperti dulu, aku merasa tidak se-excited biasanya saat mendapatkan pekerjaan baru.  Saat ini, entah mengapa aku tidak mau show off. Aku hanya ingin diam dulu. Mengamati, banyak belajar, dan juga lebih banyak mendengarkan. Bukan karena enggak semangat sih, tapi seperti ada sesuatu hal yang berubah dalam diriku, entah itu karena kelelahan, kehati-hatian atau mungkin keraguan yang belum selesai. 

Di satu sisi, aku memang sedang memilih untuk low profile. Tapi di sisi lain, aku juga menyadari bahwa saat ini aku semakin sering merendahkan diri sendiri. Bukan karena sekadar ingin menahan diri untuk tidak menonjol, tapi entah mengapa perasaan I'm not good enough, I'm not enough, and I care too much about what others think, sering kali mendominasi.

Sikap ini jelas sangat bertolak belakang dengan harapan dan juga advice yang disampaikan oleh rekan kerjaku begitu KPI sedang berlangsung. Beliau bilang, "Tetap tunjukkan versi terbaikmu seperti saat kamu di sini." Tapi untuk saat ini, versi terbaikku mungkin sedang tersembunyi di balik proses berdamainya aku dengan diriku sendiri. Aku sedang belajar mengatur energi, menjaga niat, dan berjalan perlahan tanpa harus selalu on fire setiap saat. 

Ada satu momen yang membuat akupun aneh dengan diriku sendiri. Pada saat sesi perkenalan dengan seluruh karyawan, aku benar-benar kewalahan untuk bisa mengingatnya dengan baik. Menghafal nama-nama baru bukan perkara mudah bagi aku. Entah mengapa, rasanya energi aku kekuras habis. Pulang-pulang kepala aku terasa berat. 

Aku pun menceritakan cerita soal ini ke teman aku. Seperti biasa, kita sebut saja dia Kak Anwar.

“Biasanya awalnya terlalu excited atau overthinking. Gak apa-apa itu normal kok," katanya menenangkan.

Aku mengangguk sendirian, merasa aneh aja dengan mode aku yang biasanya selalu excited tapi ini malah jadi slow motion. 

“Bisa jadi kamu lagi fase nothing to lose. Maksudnya lebih ke ya udah jalanin aja dengan maksimal.”

“Gak harus selalu on fire.” 

Perkataan dia membuat aku merasa divalidasi. Aku yang pada awalnya bingung dengan diriku sendiri, perlahan mulai bisa menerima dan memahami apa yang sedang aku rasakan ini. 

“Kalau kata HR aku, jangan pernah takut kehilangan pekerjaan. Dari sana kita tahu sebenarnynya bekerja kita tuh kayak gimana. Tanpa mengeluarkan energi terlau banyak. Lebih ke energi sesuai porsi. Jadi ada posri di mana kita tuh mengeluarkan energi segimana. Dan ibadah segimana.”

Aku hanya menyimak sambil mencerna setiap ucapan yang dia sampaikan.

“Katanya pembagian energi itu bikin kita lebih tenang dan nothing to lose. HR aku kalau mau salat dia selalu mengganti dengan pakaian yang terbaik. Katanya, energinya buat Allah.”

“Katanya semua yang dia dapat adalah fasilitas dari Allah. Jadi beli apapun boleh selama tujuannya Allah.”

“Semua yang kita punya itu, termasuk IQ, EQ adalah fasilitas yang Allah kasih dan bentuk kasih sayang-Nya selain nyawa yang diberikan. Termasuk pekerjaan dan semua yang ada di dalamnya. Jangan sampai takut kehilangan apapun.”

“Karena semua itu hanya fasilitas. Makannya dia sangat concern dengan apa yang dia punya dan dia lakukan. Katanya semua yang terjadi itu atas kehendak Allah. Kita kecewa dan marah juga menjadi salah satu fasilitas yang Allah kasih."

“Dari sana, dia gak pernah merasa kehilangan atas apapun. Hasilnya? Beliau ini udah kayak air mengalir aja. Santai gitu dalam menghadapi apapun. So, apa yang kamu rasakan juga atas izin Allah.”

“Sampai pada akhirnya, kata dia tuh ya semua itu harus karena Allah.”

Aku terdiam. Rasanya semua ucapan dia ini menampar aku secara lembut, seolah mengingatkan aku kembali untuk bertawakal sepenuhnya kepada Allah.

“Aku tuh sering denger dia ngomong gini kayak, 'Ya Allah, ini aku harus gimana ya? Izinkan keputusan aku ini menjadi berkah atau pelajaran.' Kayak bener-bener apapun itu melibatkan Allah. Overthinkingnya dia olah menjadi dialog dengan Tuhannya.”

“Dia juga bilang, 'Aku selalu penasaran sama Nabi ketika berdoa sama Allah. Jadi aku ingin berdialog sama Allah langsung karena kan Allah Maha Dekat.'”

Aku hanya bisa diam, sekaligus malu. Karena aku tahu, aku memang sedang tidak baik-baik saja. Aku sering merendahkan  diriku sendiri, terlalu banyak berfikir, meragukan kemampuan yang sebenarnya sudah Allah titipkan.

Lalu aku berpikir, apakah semua ujian perasaan ini adalah jalan untuk aku agar kembali menyerahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allah?

Allah seperti mendengar lirihanku. Lalu saat aku scroll di Instagram, aku membaca sebuah postingan dari Ustadz Nouman Ali Khan @noumanalikhan.bayyinah yang mengambil pelajaran dari Perang Khandaq yang diabadikan dalam QS. Al-Ahzab ayat 10:

"Ketika mereka datang kepadamu dari arah atas dan bawahmu, ketika penglihatanmu terpana, hatimu menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu berprsangka yang bukan-bukan terhadap Allah." (QS. Al-Ahzab: 10).

Pada saat itu, kaum Muslimin dikepung dari segala arah. Rasa takut dan kecemasan tentu menyelimuti mereka. Bahkan sampai menyangka hal-hal buruk kepada Allah, menyangka bahwa kaum muslimin akan kalah. Tapi justru dalam kondisi seperti itu, Allah tetap menyebut mereka sebagai orang-orang yang beriman. 

Ustadz Nouman menulis,

You don't lose your faith because you feel fear. You lose it when you give up hope in Allah. 

Perasaan takut, lelah, bingung, atau cemas bukanlah tanda lemahnya iman. Itu adalah bagian dari sifat manusia. Iman justru diuji ketika kita tetap menggenggam harapan, meski dalam ketakutan dan perasaan bahwa kita tidak mampu. 

Belum lagi ditambah dari love letternya Aida Azlin, aku membaca:

As a servant of Allah SWT, your efforts are seen, valued and will be rewarded! By Who? Not by flawed humans, but by the Lord of the Worlds Himself.

Tulisan dia kali ini merujuk pada QS Al-Ankabut ayat 58-59. Bahwa siapa pun yang bersabar dan beramal saleh, akan diberi tempat terbaik oleh Allah. Dari tulisannya aku belajar bahwa Allah hanya meminta kita untuk bekerja sebaik mungkin, sabar dalam menghadapi kesulitan, serta menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kita kepada Allah tanpa keraguan sedikitpun. 

Lalu, sebuah pesan dari temanku juga:

There are no tips because this is not a tangible experience. This is not a car engine. You can’t just replace one part with another. This is about self-confidence.

You must believe in yourself and your abilities. You must know that you are qualified for any position—and that you are much better than you think. It’s all about self-confidence and not being afraid. 

There is no person in the world who has not failed. All major company owners started with a failed idea. But they corrected their mistakes and learned from them in order to reach where they have reached now.  

Bahwa tak ada proses instan dan kegagalan bukan akhir dari segalanya. Justru dari sana kita dilatih untuk kuat, berani dan mengenal diri lebih dalam.

Aku pun merasa seperti diingatkan kembali...

Perasaan yang sedang aku rasakan saat ini, rasa takut, ragu, cemas, bukan tanda aku lemah. Tapi ini adalah jalan untuk aku belajar tawakal. Belajar untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah. Karena ternyata Allah tidak menilai seberapa on fire nya kita dalam melakukan sesuatu, tetapi seberapa tulus kita menyerahkan proses itu kepada Allah. 

Ya Allah, bantu aku dalam menghadapi semua ini. Hilangkan keraguan atas kemampuan yang telah Engkau titipkan padaku agar aku bisa memaksimalkan semua titipan-Mu menjadi amal saleh. 

Love,

Solihat


 

Photo by Anna Shvets

If someone asked me, "What are your favourite childhood memories? Why do they stand out to you?" (sageandbloom.co), I'd say it's the time when my father used to ride me on his bicycle. 

I truly love this moment and it has always stayed with me. 

As the first daughter, I'm the only one who has this memory. Only me. My father used to take me to school on his bicycle. I remember one night, my father took me for a ride around the city on his bicycle. I wore a jacket because the weather was so cold, and I held the bike seat tightly because I was afraid of falling.

Now, after resigning from my job in Bandung and returning to my hometown, I got to feel that again. Today was my first day at a new company and my father was so excited to take me there on his motorcycle (now my father uses a motorcycle, after selling the bicycle when I was in fifth grade), I felt like his little girl all over again. 

What made me want to cry was realizing that he's getting older. Sometimes, I feel guilty, maybe I haven't made him proud enough. Maybe I should have a higher-paying job by now. But deep down, I know he never expects that from me. He is happy that I'm home. 

Now, I'm back in his house and working nearby, my father is trully happy and at peace. He said he can pick me up anytime, as long as he is not too busy. And you know what? My inner child feels really happy.

I know, I've had my share of painful memories with father too. He was very strict when I was a kid and during my teenage years. But now that I'm an adult, he's changed. He's realized that some of the ways he raised me weren't right and he made a lot of mistakes.

It's so hard for me how to explain it, but once I started to forgive everything my parents did in the past, everything slowly began to change. Now, they treat me like I'm a little girl again, even though I've grown up. Hahahaaa. 

While some people get to ride with their partners, I'm still riding with my father and that's ok. In fact, I feel so lucky. I get to create more beautiful memories with him, this time on his  motorcycle.

Before I arrived at the company, my father asked me what time I’d be coming home. I told him I could go back by myself, but he kept asking and in the end, he insisted on picking me up. When the training ended today, I looked out the window and saw him waiting there for me. I felt so blessed.

It's like... the thing I've been longing for since I was a child, finally came to me, when I chose to forgive, accept my past, embrace my wounds, and start healing my inner child. 

Hi, Ihat.

Enjoy your new journey here. The salary may not as high as before, but Allah replaced it with something more valuable, healing, peace, and pride in who you are becoming. 

And for you Bapak, I love you just the way you are. 


Love,

Solihat

Photo by el jusuf

Seharian lelah karena banyak menangis di hari terakhir bekerja. Belum lagi ada jadwal photo studio dan makan-makan bareng bersama anak-anak di sore hari. Malamnya aku sudah menjadwalkan untuk langsung pulang ke kampung halaman, mengingat sebelum aku masuk ke tempat kerja baru, barang-barang yang masih berantakan di rumah harus dibereskan terlebih dahulu. Selain ingin menata ulang hidupku lagi, tak lupa aku pun ingin menata kamarku di rumah agar aku bisa nyaman belajar, menulis, dan berkarya. 

Kadang, kepindahan fisik hanyalah simbol dari keinginan untuk menata ulang diri. Seperti kamar yang ingin aku rapikan, aku pun ingin menata ulang isi kepala dan hati yang selama ini penuh sesak. Hehee.

Di hari itu juga handphone ku mati, tak bisa digunakan dan harus diservis. Maka yang bisa aku andalkan adalah dengan menggunakan Ipad, itupun harus menggunakan WiFi. Alhamdulillahnya, sebelum aku pulang, adikku ke kosan dulu untuk mengambil makanan. Keretaku dijadwalkan akan berangkat pukul 20.11 WIB. Dari pukul 19.00, dengan menggunakan handphone adikku, aku sudah memesan taxi online. Sayangnya, drivernya sangat menyebalkan. Dia gak mau masuk ke gang, lebih tepatnya menjemput aku di depan kosan, dan malah meminta aku untuk menunggu di pinggir jalan raya besar. Oke, aku turuti keinginannya. Begitu aku sampai di jalan raya sambil menyeret satu koper besar, dia tetap tidak mau maju dan minta untuk aku menghampiri dia. Gila! Jalanan ramai dan aku hanya punya waktu sekitar 40 menit lagi sebelum kereta aku tiba. 

Malam itu terasa seperti ujian terakhir sebelum lembaran baru dibuka. Aku diuji sabar, diuji tenang, dan diuji untuk tidak meledak karena segala hal terasa salah dan menyebalkan. 

Adikku juga turut ikut membantuku membawa koper kecil dan tentengan barang lainnya dengan motornya. Sudahlah capek, kesal, aku gusar, dan aku menangis di pinggir jalan. Sementara itu, adikku kembali memesan taksi online lain dan akhirnya tiba juga. Adikku bahkan harus terlambat ke tempat kumpulannya karena harus menungguku untuk mendapatkan taksi online. 

Alhamdulillah, aku bisa sampai di stasiun 15 menit sebelum kereta datang. Begitu aku turun dari mobil, aku langsung masuk ke kerumunan orang-orang untuk mencari porter. Sayang seribu sayang, aku tidak menemukan porter dan aku harus menyeret dua koper dan tas tentengan lain sendiri ke dalam stasiun. Aku sudah gusar lagi saat melihat antrean pencetak tiket itu cukup panjang. Karena aku tidak membawa hp dan tiketku di pesan oleh adik, otomatis aku hanya punya kode tiket dan aku harus mencetak tiket secara manual.

Aku langsung meminta izin kepada orang-orang yang sedang mengantre itu karena keretaku akan tiba 10 menit lagi. Begitu sampai di depan mesin pencetak tiket, aku langsung mengetikkan kode tiketku dan lagi-lagi, entah drama apalagi, mesin pencetak tiketnya error! Aku langsung celingak-celinguk mencari petugas.  Setelah tiket dapat, aku langsung mencari porter dan begitu melihatnya aku langsung memanggil si bapak porter tersebut. Aku sudah ngos-ngosan menghadapi ini semua. Alhamdulillahnya, si bapak porter ini baik banget dan meminta aku untuk cut the line orang-orang yang ada di depanku, mengingat kereta akan segera datang. Alhamdulillahnya lagi, orang-orang yang sedang mengantri pun memahamiku dan langsung memberikan jalan.

Malam itu aku belajar bahwa dalam keadaan kacau dan gusar, selalu ada orang-orang baik yang membantu. Mungkin, itu bentuk cinta dan kasih sayang Allah yang dikirim dalam wujud orang-orang yang tidak aku kenal. 

Lima menit tersisa dan aku bisa membuang nafas lega begitu sudah sampai peron. Tak lama, kereta datang. Aku kedapatan kursi di dekat jendela dan di sampingku ternyata sudah terisi oleh seorang laki-laki. Begitu aku duduk, aku langsung menghadap ke jendela dan aku sudah tak bisa lagi membendung air mataku.

Aku menangis di kereta. Rasanya hari itu sangat menguras emosi. Sedih karena harus meninggalkan Bandung, meninggalkan semua kenangan, ditambah proses perjalanan pulang ini rasanya penuh drama. Aku tak peduli dengan laki-laki di sampingku, begitu juga dengan dia yang nampaknya sama tidak peduli denganku. 

Belum puas agar tangisku bisa lebih pecah lagi, aku memilih untuk membaca surat yang ditulis oleh salah satu muridku. Begitu membacanya aku menangis lebih hebat lagi. Setelah puas menangis, rasa kantuk pun menyerang. Aku membuka plastik yang menyelimuti selimut, mengenakkannya dan akhirnya tertidur. 

Begitu terbangun, aku sadar 40 menit lagi aku akan sampai di kampung halamanku. Aku sadar, iPadku tidak bisa tersambung ke WiFi kereta. Berkali-kali aku latihan dalam hati untuk meminta tethering data dari laki-kali di sampingku. Aku tahu aku malu, tapi kalau malu, aku tidak bisa mengabari orang tuaku. Setelah berkali-kali meyakinkan diri, akhirnya aku memberanikan diri. 

“Kang, boleh ikut tethering data? Saya gak bawa hp soalnya.” 

“Coba aja pakai wifi kereta.” Jawab dia. 

Aku hanya menuruti ucapan dia walau aku tahu itu sudah aku lakukan tadi dan tidak berhasil. 

“Sudah Kang, tapi gak berhasil.” Jawabku sembari memperlihatkan iPadku kepada dia.

Dia diam sejenak, lalu mengambil handphonenya. 

“Saya mau menghubungi orang rumah kalau saya pulang malam ini.” 

“Coba pakai yang saya,” katanya sambil menunjukkan nama hotspot-nya.  “Passwordnya….”

Aku hanya mengangguk. Lalu aku langsung menelfon Mamah.

“Terima kasih, Kang.” Kataku lalu mematikan WiFi.

“Iya sama-sama.”

Entah dari mana awalnya, akhirnya kami bisa akrab mengobrol. Ternyata beliau ini asli orang Surabaya. Karena tahu dia orang Surabaya, aku megganti panggilanku menjadi “Mas.” Obrolan pun mengalir.

Topik berganti-ganti, dari mana ke mana, ngapain aja,  tentang kursi  dekat jendela yang kata dia sudah terisi sebelumnya di aplikasi dan dia tidak bisa booking itu. Padahal dia pesannya jauh-jauh hari sedangkan aku pesan dua jam sebelum pemberangkatan dan malah aku yang dapat. 

"Oh, mungkin ada yang cancel di akhir-akhir ya."

Sampai akhirnya, obrolan mengarah ke pekerjaan.

“Baru kerja berapa tahun berarti di Bandung?”

“Tiga tahun.” 

“Tiga tahun? Wah kalau saya lebih sebentar lagi.”

“Berapa, Mas?"

“Sepuluh tahun.”

“Hah? Sepuluh tahun?”

“Iya, sepuluh tahun. Ya, saya juga bosan dengan rutinitas yang sama. Tapi mau gimana lagi.”

“Apa yang membuat Mas bertahan lama di pekerjaan Mas saat ini?”

“Saya kerja cuma buat survive, Mbak. Saya sudah berkeluarga. Kalau belum sih bisa buat loncat-loncat kerjaan.”

Aku terdiam. 

Kerja cuma buat survive, bertahan. Kalimat itu membekas. Ada banyak orang di luar sana yang tidak memiliki kemewahan untuk memilih pekerjaan sesuai passion. Yang penting bisa makan. Bisa hidup. Bisa bayar listrik dan bayar sekolah anak.

Sementara itu aku masih sendiri. Belum punya tanggungan besar dan justru sedang dalam proses mengejar mimpi. Kadang kita terlalu sibuk dengan bising di kepala kita, sampai lupa untuk menghargai dan mensyukuri ruang yang Allah masih beri untuk belajar, mencoba, dan tumbuh. 

Lalu dia kembali bercerita panjang dan aku hanya mengangguk-angguk, menyimak. Meski isi kepalaku sangat berisik.

Bekerja hanya untuk bertahan. 

“Mbak, waktu sampean datang tadi kemudian duduk kelihatan sekali wajahnya murung. Kemudian ya sampean nangis, saya kira wah ini kayaknya habis putus cinta. Ternyata bukan.” Ungkap dia sebelum aku bersiap-siap untuk turun.

Aku tersenyum.

“Ini bentar lagi ya turun?”

“Iya,” jawabku sembari izin untuk menurunkan barang dari bagasi atas.

“Mau dibantuin, Mbak?” 

“Boleh.” Jawabku sembari tersenyum kegirangan.

“Hati-hati, Mbak,”

Lalu aku berjalan menuju pintu keluar. 

Bekerja hanya untuk bertahan.

Aku masih single, masih dikasih kesempatan oleh Allah untuk bisa explore lebih banyak lagi soal pekerjaan dan kehidupan. Ditambah punya orang tua yang support. Kira-kira nikmat mana lagi yang aku dustakan? 

Aku tahu pindah kerja itu gak mudah dan harus adaptasi lagi. Tapi, kapan lagi bisa belajar hal yang baru, jika bukan sekarang? Saat satu-satunya tanggung jawabku adalah pada diriku sendiri?

Hari itu bukan hanya tentang perjalanan dengan kereta. Tapi, juga perjalanan diri yang mengantarkanku untuk lebih bersyukur, lebih kuat, dan lebih siap membuka halaman baru dalam hidupku.

Dan satu hal yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.

Saat dia mengatakan,

"Waktu sampean datang tadi kemudian duduk kelihatan sekali wajahnya murung. Kemudian ya sampean nangis, saya kira wah ini kayaknya habis putus cinta..."

Kalimat itu membuatku berpikir, berarti dari awal dia sudah memperhatikanku?

Selama ini aku selalu merasa tidak mudah didekati. Bahkan oleh orang-orang yang duduk di sebelahku sekalipun. Apakah aku memang telihat jutek? Menurut orang-orang sih iya, aku jutek kalau belum kenal. Atau mungkin aku sendiri yang terlalu cepat membatasi ruang bagi orang asing untuk masuk?

Aku jadi bertanya-tanya sendiri.

Apa ini juga alasan kenapa aku belum juga menemukan jodoh?

Bisa jadi bukan karena belum dipertemukan. Tapi, karena aku belum membuka pintu. Atau bahkan aku belum menyadari kalau sebenarnya ada seseorang yang pernah berdiri di depan pintu itu, mengetuk dengan pelan tapi akunya udah terlalu takut untuk mendekat?

Dari kereta malam itu, aku jadi belajar bahwa hidup selalu membawa hal-hal yang tak terduga. Dari mulai drama yang menguras emosi, aku yang pada akhirnya mencoba untuk memberanikan diri meminta tolong pada orang asing, sampai pada akhirnya obrolan dan ucapannya membuat aku banyak berpikir. 

Aku masih belajar untuk lebih terbuka. Jujur sih, ini masih jadi hal yang sulit untuk aku. Aku sulit untuk mengawali, kecuali kalau sudah kepepet baru memaksakan diri. Apa mungkin karena sudah terbiasa melakukan apapun sendiri apa gimana ya? 

Yuk belajar untuk tak buru-buru menutup diri. Siapa tahu, hal-hal baik datang saat aku berani membuka ruang, meski hanya sedikit. Hehee. 

Cheers,

Solihat





 

Photo by cottonbro studio


Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Meski ingin sekali aku memperlambat waktu, hanya saja keputusan sudah dibuat dan aku tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. 

Keputusan untuk resign dari tempat kerjaku saat ini bukanlah perkara mudah. Butuh waktu hampir satu tahun untuk bener-benar memantapkan hati bahwa aku harus mengambil langkah besar ini. Perasaan dan suara-suara itu tumbuh perlahan, dari rasa lelah yang aku pendam, dari keyakinan yang mulai goyah, dan dari hati yang pada akhirnya jujur bahwa aku butuh ruang baru untuk tumbuh. Bukan karena aku membenci tempat itu, tapi karena aku mulai belajar mencintai diriku sendiri.  

Ada begitu banyak hal yang membuat aku bersyukur pernah bekerja di sana. Teman-teman yang suportif dan senantiasa selalu mengingatkan aku tentang kebaikan.  Anak-anak yang mewarnai hari-hariku dengan canda dan tawa. Serta pelajaran-pelajaran hidup yang tidak bisa aku beli di tempat lain. Ada momen-momen di mana membuat aku bangga pernah menjadi bagian dari mereka. Aku belajar banyak tentang tanggung jawab, keikhlasan, kepasrahan, dan tetap bersabar serta tersenyum kala hati remuk serta fikiran yang awut-awutan. 

Satu tahun yang kulewati kemarin sungguh sangat berat. Aku pernah berada di fase aku cemas akan masa depanku, sulit tidur, menangis setiap malam tanpa tahu alasan yang pasti, menyalahkan diri sendiri karena merasa belum cukup, dan terus membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Aku tak layak, payah. Bahkan, pernah di suatu malam, di tengah tangis yang tak henti dan aku bingung ini karena apa, aku terpaku menatap benda tajam dan sempat terbersit pikiran untuk menyakiti diri sendiri.

Berkali-kali saat aku berbicara dengan rekan kerjaku, yang ada justru air mata yang berbicara. Aku pun sendiri bingung dengan kehidupanku saat itu. Mungkin karena beban pekerjaan yang menumpuk, tuntutan sana-sini, dan ekspektasiku yang selalu tinggi. Saat semuanya berjalan tak sesuai harapan, aku kerap menyalahkan diriku sendiri. 

Lelah? Sangat lelah. Selain itu, ada kecewa yang menggumpal. Tentang perlakuan yang tidak adil, yang terpaksa aku pendam karena aku belum cukup berani untuk menyuarakannya. Aku tahu, sekalipun disampaikan, mungkin akan tetap diabaikan. Aku marah pada diri sendiri dan juga keadaan. Kekecewaan itu cukup membekas di hatiku. 

Tapi ya sudahlah. Ternyata kekecewaan itu menjadi alasan awal yang membukakan gerbang untuk aku untuk memutuskan resign. Lalu, alasan demi alasan pun bermunculan. Aku ingin mengejar impianku yang tertunda, dan semua itu tak mungkin bisa aku raih jika aku masih bertahan. Belum lagi, orang tua yang berada di kota lain, membuatku merasa bersalah setiap kali mereka meminta bantuan, sedangkan aku tak berada di samping mereka. 

Bulan Desember itulah menjadi titk balik. Dengan penuh keyakinan, aku memantapkan diri untuk resign. 

Dan anehnya, setelah aku mencoba memaafkan semuanya yang pernah aku lalui, entah mengapa perjalanan resign ini begitu melegakkan. Tak ada lagi dendam, tak ada lagi rasa kecewa.  Justru yang ada, aku malah bersyukur pernah dikecewakan hingga akhirnya aku bisa menemukan kembali mimpiku yang sempat tertunda. Di akhir masa kerjaku, aku menyelesaikan seluruh tanggung jawabku. Tidak ingin ada yang tersisa. Meski saat itu hatiku tengah hancur dan hidupku kacau balau tak tahu arahnya ke mana, aku tetap memilih untuk menuntaskan semuanya. Dengan senyum dan juga tawa yang kuperlihatkan kepada orang-orang, walau sejujurnya dalam hati aku sudah lelah setengah mati. Aku menyadari satu hal pada saat itu. Aku resign bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi aku resign karena memang sudah waktunya dan urusanku di sini sudah selesai.

Dan saat hari itu tiba, entah mengapa beban di pundakku terasa ringan. Tak ada lagi ekspektasi yang membebani. Meski ada kesedihan karena beberapa hal dalam hidup akan berubah, tak lagi sama seperti sebelumnya. Tapi, hidup harus terus berjalan dan aku masih punya impian yang harus aku perjuangkan. 

Aku belajar untuk tidak menggenggam terlalu erat untuk apapun yang Allah titipkan, termasuk perkara pekerjaan yang dulu aku banggakan. Karena hidup akan terus mengajarkan kita, membuat kita sebagai manusia tentu akan berubah cara pandangnya. Jalani sewajarnya saja. Tak perlu berlebihan apalagi digenggam erat. Karena yang kamu miliki saat ini suatu saat akan meninggalkanmu atau justru kamu yang akan meninggalkannya.

Untuk diri aku sendiri, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku sayang sama kamu. 

Dan untuk orang-orang terdekat yang sangat berarti dalam perjalananku:

Sahabatku, Bu Risma. 

Terima kasih banyak sudah menjadi teman, sahabat sekaligus keluarga selama aku tinggal di Bandung. Teman suka dan duka, yang selalu mengingatkan aku untuk sabar dalam kondisi apapun. Di manapun kamu berada, may Allah always protect you ya, Ceu.

Rekan kerja, sekaligus guru bagiku, Pak Mus.

Pak, terima kasih banyak untuk semua ilmu dan bimbingannya. Aku yang awalnya awam banget mengenai leadership, sangat tertolong dengan kata-kata Bapak: “Gak apa-apa” dan “Itu wajar, Bu. Itu normal.” Kalimat yang akhirnya menyadarkan aku bahwa dalam setiap proses yang kita perbuat akan selalu ada ketidaksempurnaan yang justru menjadi ruang belajar terbaik. Mengajarkan aku bahwa gak apa-apa mulai dulu seadanya, gak usah nunggu dulu sempurna. Terima kasih karena tidak menuntut, justru malah menuntun. Terima kasih banyak, Bapak.

Saatnya melangkahkan kaki untuk pergi dan memulai yang baru. Meski kerap dihantui perasaan ragu, perkara masa depan adalah pekerjaan Allah dan kamu tak perlu mengambil alih sesuatu hal yang bukan menjadi ranah kamu. Serahkan semuanya pada Allah, karena Allah adalah sebaik-baiknya perencana. 

Love,

Solihat

 

Photo by Abdulmeilk Aldawsari

Berawal dari insta story yang lewat.

doc. pribadi


Seketika mulutku beristighfar. 

Kadang kita suka lupa kalau segala sesuatu sudah Allah atur, sudah Allah tetapkan sejak awal. Itulah mengapa dalam Islam kita diajarkan konsep tawakal. Tawakal itu sendiri berarti  menyerahkan segala urusan pada Allah setelah kita melakukan ikhtiar.  Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin, tawakkal adalah menyandarkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa dan hati yang tenang (Setiawan & Mufahirah, 2021). Aku sendiri mengartikan bahwa kita tidak lagi mengandalkan, menghamba atau menggantungkan hasil pada usaha yang sudah kita perbuat, tapi kita menerima dengan lapang dada atas apapun keputusan Allah nantinya. Dengan catatan, kita sudah berusaha serta berdoa  semaksimal mungkin.

Kini aku mulai faham, mengapa dulu Bapak sering bilang, "Tidak ada namanya gagal, yang ada hanyalah kemenangan yang tertunda." Dulu aku mengira itu hanya sekedar kata-kata penghibur. Ternyata, sekarang aku menyadari bahwa itu benar adanya.

Gagal itu sejatinya baru bisa disebut gagal, jika kita menyerah dan enggan memperbaiki diri. Bukankah begitu? 

Menurut KBBI sendiri gagal adalah tidak berhasil, tidak tercapai. Sedangkan dalam Cambridge Dictionary,  failed itu artinya unsucceful. 

Tapi, jika kita renungkan lebih dalam, apakah benar sesutau itu layak disebut "gagal" hanya karena belum mencapai hasil seperti yang kita harapkan? Bagaimana jika "gagal" itu sebenanarnya adalah cara Allah untuk membelokkan kita menuju jalan yang lebih baik? Atau mungkin, itu adalah bentuk latihan dari Allah agar hati  kita tidak mudah bergantung pada hasil, melainkan pada proses dan izin-Nya?

Sebab, ukuran keberhasilan dalam padangan manusia sering kali berbeda dengan ukuran keberhasilan menurut Allah. Apa yang tampak "tidak berhasil" hari ini, bisa jadi adalah langkah kecil menuju kemenangan besar di masa depan. Dan aku pernah melewati itu semua. Mungkin di kesempatan lain aku bahas itu.

Kembali ke story instagram yang aku lihat tadi, aku jadi teringat  dua kejadian besar dalam hidupku.

Saat Aku Yakin Allah yang Membiayai Kuliahku

Usia 18 tahun, harus membiayai kuliahnya sendiri dengan total hampir 30 juta? Bagi sebagian orang itu terdengar mustahil. Tapi saat itu, aku yakin bahwa Allah yang akan membiayai kuliahku, meskipun pada saat itu aku hanya memiliki uang pas-pasan. Keyakinan bukan hanya sekedar duduk manis mengharapkan uang dari langit berjatuhan begitu saja tanpa usaha. Tentu aku bekerja keras agar bisa membiayai kuliahku sendiri. Aku kerja sambil kuliah. Dua hal yang sungguh sangat melelahkan, dan hampir menyerah. Tapi, Alhamdulillah, Allah memampukan itu semua.

Di tengah kondisi ekonomi keluarga yang sulit, ditambah cibiran orang sekitar yang meremehkan pekerjaan orang tuaku, yang menurut mereka itu mustahil untuk bisa membiayai kuliahku.  Saat itu, yang ada di benakku adalah selama aku berbuat baik tapi kamu kekurangan secara materi - dalam hal ini kuliah ya mencari ilmu, aku yakin Allah pasti akan memudahkan itu semua. Allah tidak akan ingkar kepada hamba-Nya yang ingin berbuat kebaikan. 

Dengan keyakinan itu semua, ditambah ikhtiar dan do'a juga, alhamulillah aku bisa menyelesaikan kuliah meskipun harus menambah satu semester. Tapi justru itu adalah kado terbaik dari Allah, di saat aku tidak menaruh ekspektasi apapun, aku hanya terus meyakinkan diri bahwa Allah pasti memampukan aku. Dan yaaa. There is no impossible for Allah. Kun fa yaakun. 

Terlalu Percaya Diri, Lupa Bertawakal

Kejadian ini hal yang berbanding terbalik. 

Saat aku pindah ke tempat baru, aku merasa ilmu dan pengalamanku dari tempat sebelumnya bisa membawaku terus berada di urutan top, lupa bahwa di tempat baru akan selalu ada hal baru yang membuat kita harus belajar lagi dari awal. 

Tak lama setelah itu, aku diuji dengan berbagai kegagalan (kata orang gak apa-apa, tapi aku tetap berfikir bahwa semua itu gagal menurut pandanganku, belum ideal, semuanya tak sesuai dengan harapan) dan aku terlalu mengandalkan usahaku ketimbang meyakini bahwa sesuatu sudah Allah atur. Yang terjadi apa? Aku capek, merasa terus-terusan menjadi manusia gagal, dan pada akhirnya aku terus-menerus menyalahkan diri sendiri dan keadaan. Bahkan, sempat terbersit untuk melukai diri sendiri. 

Seiring berjalannya waktu aku sadar. Bahwa perkara izin dan tidak diizikannya sesuatu itu bukan serta merta karena usaha kita. Tapi ada andil Allah yang Maha Bijaksana di sana. Jika kita bertumpu pada usaha yang kita kerahkan, saat kegagalan datang menjumpai tentu kita cenderung menyalahkan diri sendiri dan keadaan. Berbeda pada saat kita sudah benar-benar tawakal kita akan dengan bijak take a step back, mengevaluasi dan jauh lebih mudah untuk maju kembali. Kenapa? Karena mindset dan keyakinan yang tertanam adalah Allah sudah atur semuanya. Allah sedang mendidik aku. Allah ingin aku belajar lagi. Allah sedang mempersiapkan hal lain yang lebih baik lagi.  

Pelajaran dari Perang Badar dan Hunain

Begitupun dengan kisah kedua perang tersebut. As we know, Perang Badar sendiri jumlah pasukan muslim sangat sedikit dibandingkan sengan pasukan kafir. Belum lagi, perlengkapan perang yang jauh lebih siap dibanding pasukan muslim. Namun dengan keyakinan dan tawakal yang kuat, Allah menurunkan pertolongan-Nya hingga kemenangan berpihak kepada kaum Muslimin. 

Berbeda dengan Perang Hunain. Dalam perang ini, jumlah pasukan Muslim sangat banyak bahkan lebih dari musuh. Namun justru karena merasa kuat dan terlalu percaya diri, pasukan Muslim sempat terdesak di awal peperangan. Allah mengabadikan kisah ini dalam QS. At-Taubah: 25-27)

Dari semua yang sudah aku tulis, aku terus mengingatkan diri sendiri bahwa hasil itu berada di tangan Allah. Setelah usaha dibarengi dengan do'a lalu diakhiri dengan tawakal: menyerahkan segala urusan kepada Allah, inshallah kamu akan lebih siap dalam menerima apapun hasilnya nanti. Tidak kecewa ketika kamu belum bisa meraihnya dan tidak menyombongkan diri ketika kamu bisa mendapatkannya. 

Kamu bukan gagal, tapi belum diizinkan.


Love,

Ihat


Daftar Pustaka

Setiawan, D & S. Mufarihah. (2021). Tawakal dalam Al-Qur'an Serta Implikasinya dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Studi Al-Qur'an,17(1).

Photo by Anna Tarazevich

Akhir-akhir ini, gak tahu kenapa banyak banget hal yang mengajarkan aku tentang rezeki.

Pertama, minggu-minggu kemarin aku lagi baca buku Do It Today karya Darius Foroux. Ada satu bagian di bab-bab awal yang menampar aku:

Apakah saya mencintai pekerjaan saya?

Kemudian disusul dengan kalimat yang bikin aku mikir keras:

Kebiasaan menunda bisa jadi merupakan suatu pertanda bahwa Anda melakukan hal yang tidak berarti. Jangan biarkan menunda-nunda kebiasaan. Apalagi, penundaan yang paling buruk adalah menunda mimpi dan target Anda.

Dari situ, aku mulai sadar. Jangan-jangan rasa malas, jenuh dan penundaan yang sering aku alami akhir-akhir ini bukan hanya soal manajemen waktu, tapi juga karena aku gak sepenuh hati dengan apa yang sedang aku jalani. 

Kedua, waktu aku pulang dari kelas English Volunteers, seperti biasa aku naik ojek online. Di perjalanan, drivernya cerita kalau dia habis kena tipu sama customer. Beliau habis mengantar makanan ke sebuah hotel, udah nunggu lama - sekitar satu jam, tapi si customer gak muncul dan gak bisa dihubungi. Akhirnya, makanan itu beliau titipkan di lobi dan beliau juga ambil foto dulu. Beliau lanjut ambil orderan lain karena gak bisa lama-lama. Pas balik lagi, makanannya udah diambil, tapi malah dilaporkan kalau si makanannya itu gak nyampe. Dan pada saat itu, memang aplikasi juga lagi error. Parahnya lagi, si customer ini bayarnya pake cash. Bapak itu rugi 250 ribu. Beliau bilang:

Sudahlah saya kena tipu, istri saya sedang sakit. Jam segini saya masih di jalan nyari orderan supaya bisa bawa uang 50 ribu. Soalnya masih kurang buat hari ini. Tapi gimana ya, namanya  juga hidup. Penuh dengan ujian. Saya juga gak bisa cerita ke istri saya tentang susahnya saya di jalan. Kasihan nanti malah nambah fikiran.

Sempat ingin bilang,

Kenapa Bapak gak berbagi cerita aja? Kan suami-istri harusnya saling berbagi suka dan duka?

Namun pertanyaan itu aku tahan dan hanya terucap dalam hati saja. Mungkin karena aku belum merasakan kehidupan berumah tangga, masih sebatas menerka-nerka dari luar.  Sampai akhirnya aku memilih untuk menceritakan semua ini kepada temanku. Mencari ruang untuk memproses apa yang baru saja aku dengar dan rasakan.

Some things should be hidden and never revealed. This man did not want to pass on his suffering to his children and wife and let things go well on their part while he fought and struggled on his own.

Dari hal itu, aku dapat satu pelajaran besar: semua orang punya ujiannya masing-masing. Gak bisa saling mendang-mending. Allah ngasih ujian sesuai kapasitas hamba-Nya. Kadarnya sudah ditakar dan masing-masing punya beban yang gak selalu kelihatan. 

Ketiga, minggu-minggu ini juga aku banyak ngeluh sama orang tuaku. Tentang hidup yang rasanya semakin berat. Biaya hidup naik, gaji pas-pasan, kerja dari pagi banget sampe sore. Sampai aku mikir, kerja apalagi biar bisa kaya? Semua orang kan punya waktu yang sama: 24 jam. Tapi kenapa ada yang bisa saving, ada juga yang cuma bisa buat bertahan hidup?

Pengen nangis? Iya

Capek? Iya banget.

Pengen berkarya sepulang kerja? Energinya udah habis.

Kadang ngerasa stuck. Tapi di tengah-tengah kelelahan itu, tiba-tiba Allah bicara lewat firman-Nya...

Keempat,  ayat-ayat Qur'an ini yang gak sengaja aku baca dan emang ini adalah hanca aku baca serasa kayak lagi meluk aku dengan hangat di tengah dinginnya realita:

"Katakanlah: Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasi bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan apa yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya. Dan Dia-lah Pemberi Rezeki yang terbaik." (QS. Saba: 39)

"Wahai manusia! Ingatlah akan nikmat Allah kepadaku. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?" (QS. Fatir: 3)

Aku beristighfar, selama ini aku selalu merasa bahwa rezeki itu hadir karena usahaku sendiri. Tapi aku lupa, usaha itu hanya sebab. Hasil tetap karena izin Allah. 

Kelima, beberapa hari lalu. Dapet drivernya yang cerita lagi. Dia kerja sebagai driver dari selepas subuh sampai jam 8 pagi, lalu lanjut kerja kantoran. Pulang kantor jam 5 sore, beliau lanjut lagi ngegojek. Aku tanya, "Emang gak capek, Pak?"

Beliau jawab:

Capek banget, Teh. Tapi ya gimana, kebutuhan banyak. Anak saya dua, ada kontrakan, listrik, popok. Habis semua buat kebutuhan.

Dan di situ aku sadar, bukan cuma aku yang merasa hidupnya cuma buat bertahan. Di luar sana, banyak orang kerja juga siang malam bukan untuk gaya hidup, tapi untuk bisa hidup.

Aku teringat obrolan aku waktu di kelas English Volunteers, aku sempat bilang,

In Indonesia, if you wanna be rich, be an early bird and also night owl.

Seketika tertawa getir. Tapi ya itulah kenyataannya.

Semua ini benar-benar bikin aku sadar satu hal: aku harus putar otak.

Gak bisa cuma ngeluh, harus cari celah. Usaha lebih giat, doa lebih sungguh, salat lima waktu dijaga, tahajud, duha, sedekah. 

Karena kalau memang rezeki itu urusan Allah, maka mendekatlah kepada-Nya adalah usaha yang tak pernah sia-sia. 


Cheers,

Solihat

Photo by Towfiqu barbhuiya


Sebenarnya kalau harus mengikuti timeline pada umumnya saya terbilang telat. Harusnya di usia 23 tahun ini saya sudah dapat yang lain dibandingkan apa yang telah saya raih saat ini. Tapi hidup bukan soal membandingkan bukan? Karena setiap kita terlahir dengan taqdir yang berbeda. I'm so grateful for everything I've achieved. Alhamdulillah!

Pencapaian tertinggi saya di usia 23 tahun ini adalah alhamdulillah saya bisa menyelesaikan pendidikan S1. Although, molor satu semester karena kerjaan ditambah pandemi yang membuat saya tidak bisa ke mana-mana saat itu. Data yang saya kumpulkan salah tidak nyambung. Argh pokoknya banyak sekali penghambatnya saat saya menyelesaikan tugas akhir saya itu. Saya sempat putus asa dan memilih untuk tidak melanjutkannya, tapi setelah melihat lagi keuangan yang sudah dibayarkan sejak semester satu rasanya tidak sebanding. Sangat disayangkan kalau saya berhenti di detik-detik terakhir. Selama ini saya kerja buat apa? Buat kuliah juga kan? Itu motivasi saya sehingga alhamdulillah meski harus nambah satu semester skripsi saya kelar meski nilainya enggak cumlaude.

Bisa merasakan bangku kuliah bagi saya adalah sesuatu hal yang mewah. Meski di PTS, mengambil kelas karyawan, ke kampus hanya untuk belajar saja tidak mengikuti organisasi kampus atau UKM kampus, banyak izinnya lantaran bentrok dengan jadwal kerja. Ya mau gimana lagi. Saya lakoni keduanya selama 4,5 tahun. Sungguh rasanya seperti naik rooler coaster. Besoknya bagian presentasi eh ternyata malah dapat tugas buat dampingi anak-anak kegiatan. Atau pernah harus cuti satu bulan alhasil satu matkul dapat nilai D. Dengan berat hati mau tidak mau saya harus mengambil semester pendek. Belum lagi soal biaya. Lantaran punya jadwal kuliah, konsekuensinya gaji dipotong. Mau tidak mau saya harus pintar-pintar mengatur keuangan, untuk ongkos, bekal ke kampus, belum nabung untuk bayar uang kuliah (saya suka dikumpulin dulu gitu, nanti per tiga bulan sekali dibayarkan ke kampus). Ya saya ambil semua resiko itu demi mewujudkan impian saya untuk bisa kuliah. Pernah suatu hari karena ada kegiatan di tempat kerja sampai malam dan saya bertugas bagian malam mau tidak mau saya begadang. Tidur cuma dua jam habis sholat shubuh langsung pergi ke kampus. Sampai-sampai ke kampus karena ternyata dosennya berhalangan masuk saya sempatkan untuk tidur. Karena masih ada kelas lagi full sampai sore bahkan pernah sampai maghrib.

Makanya saya suka sedih kalau ada Mahasiswa kuliahnya asal-asalan, jarang masuk, ikut kegiatan atau magang enggak, apalagi kerja. Duit udah ada dari orang tua. Coba direnungkan lagi ya. Masih banyak orang diluaran sana yang terpaksa mengubur mimpinya untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi karena keterbatasan biaya.

Where there is a will there is a way. Kata-kata ini yang akhirnya menjadi motivasi saya selama saya kuliah.


Photo by Leeloo The First

Tanya sekali lagi pada hatimu

Atas mimpi-mimpi yang selama ini didamba
Sudah jelaskah arahnya?
Sudah jelaskah niatnya?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Atas pilihan-pilihan yang telah kau buat
Sudah sesuaikah dengan keinginanmu selama ini?
Atau hanya karena mulut-mulut tetangga yang membuatmu ingin membungkamnnya?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Atas kisah-kisah mereka yang masih saja kau pelihara
Haruskah tetap dinyalakan bara apinya?
Atau dipadamkan saja dan biarkan semuanya berlalu?

Tanya sekali lagi pada hatimu
Jika kamu masih ragu
Jika niatmu hanya sekedar sebagai ajang pembuktian
Bagaimanapun juga hidup ini adalah milikmu
Bukan milik orang lain


by: Ihat Azmi

Photo by Jess Bailey Designs


Saya termasuk yang masih awam ya untuk dunia blogging apalagi self-hosted. Satu tahun kemarin saya memutuskan untuk menggunakan nama domain sendiri dan waktu itu saya pilih providernya yang sedang memberikan promo free domain. Ya udah akhirnya saya beli karena harganya gak mahal-mahal amat kok dan waktu itu dapet e-mail kalau perpanjangannya nanti kena biaya sebesar Rp. 308.000,-. Ah masih lama, setahun ini kok. Batin saya.

Setahun ternyata berlalu begitu cepat dan saya selama ini tidak menyisihkan uang untuk pembayaran perpanjangan sewa hosting tersebut. Barulah mendekati bulan-bulan terakhir beberapa e-mail mengenai masa aktif hosting dan domain saya masuk dari provider. Tapi saya abaikan toh saya cuma harus bayar Rp. 308.000,-. Nah memasuki bulan terakhir masa aktif saya baru cek akun saya. Pas dilihat dinotifikasinya teryata ada yang harus bayar yaitu perpanjangan domain dengan harganya itu setengah dari harga sewa hosting. Kaget lah ya, kok bisa jadi murah ya? Kan asalnya tiga ratus delapan ribu? Saya kontak aja CS nya dan alhamdulillah respon CS nya cepet banget.  Ya sudah saya langsung transfer aja dong gak mikir panjang lagi. Lumayan sisa duitnya buat beli skincare. Batin saya. Hanya saya pas saya cek lagi di akun saya ternyata yang Rp. 308.000,- itu masih ada dan akan jatuh tempo pada akhir bulan ini. Bingung lah saya. Terus tadi bayar apa dong?

Iya Kak, yang tadi itu bayar perpanjangan domainnya. Untuk hostingnya belum.

Alamak! Lemes saya mendapat balasan dari si CS nya begitu. Panik lha saya. Uang yang sudah dijatah buat pembayaran blog ternyata minus! Kemudian saya tanya ke grup komunitas blog, 1m1c dari sanalah saya baru faham kalau bikin blog dengan self-hosted bayarnya ya begitu. Ya bayar domainnya bayar juga hostingnya. Kecuali yang pas diawal beli domainnya gratis seumur hidup. Pas saya hitung-hitung ternyata pengeluaran saya untuk bayar perpanjangan domain dan hosting mencapai Rp. 507.000,- hikss :’(.

Tak lama saya mendapatkan info untuk dicoba pindah paket hostingnya saja, jadi di downgrade gitu namanya. Sebelum saya melakukan downgrade itu saya kembali melihat paket-paketan yang telah tersedia dan saya menemukan yang paling murah. Untungnya lagi saya gak buru-buru nge-downgrade. Saya kembali lagi bertanya-tanya ke CS nya dan alhasil ribet juga ternyata. Lantaran disk space hostingnya kecil dan disk space hostingan saya sebelumnya sudah mencapai dari yang paket lebih murah itu. Habis itu saya tanya lagi untuk harganya berapa dan ternyata harganya tidak jauh berbeda. Baiklah¸ actually dengan berat hati akhirnya saya bayar aja sesuai dengan tagihan awal.

From my experience, I highlighted some points:

  • Jika kamu memutuskan untuk membuat blog dengan self-hosted  berarti mau tidak mau kamu harus belajar tentang dunia per-bloggan. Soalnya sayang banget kalau bikin terus dianggurin secara percuma. Secara kita punya tagihan biaya setiap tahunnya. Kecuali kamu punya banyak duit dan gak ambil pusing soal biayanya.
  • Sering-sering ngecek akun providernya. Biar kamu tahu dan faham. Jangan seperti saya ngecek pas udah mau jatuh tempo.
  • Kumpulin uang perbulan lah ya jadi gak memberatkan pas diakhir. Saya salahnya begitu terlalu menyepelekan bayarannya. Jadi yang tertera Rp. 308.000 itu hanya untuk bayar sewa hostingnya dan belum termasuk bayar perpanjangan domainnya.
  • Mau gak mau blog saya harus bisa menghasilkan sesuatu. Jujur sih, kalau cuma buat numpang biar dikata orang keren punya blog pribadi itu gak ada di kamus saya. Inget biaya pertahunnya berat cuy! Jadi kalau cuma buat gengsi doang saya mending pindah lagi ke blog gratisan.
  • Baiklah karena sudah terlanjur mau tidak mau saya harus belajar banyak lagi soal blog atau pilihan terakhir kalau misal nanti belum dapet tawaran iklan aja ya udah mau migrasi aja ke blogspot hihii. Di blogspot kan cuma bayar domainnya aja gak perlu sewa hosting.


Photo by Ann H

Sebagai seorang pembina asrama, tentu berat rasanya. Mengurusi anak dengan berbagai karakter menuntut saya untuk lebih bersabar lagi dalam menghadapi mereka. Terlebih diusia yang labil, terkadang nasehatpun selalu salah dipandangan mereka.

Manusiawi, jangan mentang-mentang saya sebagai seorang pembina asrama memiliki hati bak malaikat, tidak. Saya bisa marah, kesal, bahagia, sama seperti lainnya. Toh saya juga manusia biasa. Apalagi jika tugas diasrama menumpuk dititik waktu tertentu, masalah datang secara bersamaan rasanya kepala saya ingin pecah. Setelah beres ngurusin yang ini, yang lainnya datang. Terkadang saya ingin lari jauh dari dunia saya saat itu juga. Namun sebuah pesan selalu membuat hati saya terenyuh, senang sekaligus terharu.

Jazakallohu khoiran ukhti..

Ukhti, jazakumullohu khoiran katsiira. Semoga ukhti lebih sabar lagi dalam mengurus anak-anak.

Jazakallohu khoiran, artinya semoga Allah membalas atas kebaikanmu. Sebuah kalimat sederhana namun bagi saya maknanya sangat dalam. Bukan hanya sebatas ucapan melainkan sebuah doa. Kebaikan yang kita lakukan, lalu orang lain membalasnya dengan doa seperti itu, bagaimana? Luar biasa bukan? Mereka membalasnya dengan mendoakan agar kebaikan yang kita perbuat dibalas oleh Allah SWT. Balasan mana yang lebih indah selain dari balasan Allah SWT? Maka dari itu saya aamiin kan dalam hati sambil tersenyum. Walau terkadang dengan kebaikan yang telah ditebar selalu mengundang rezeki dalam bentuk lainnya.

Saya ingat bagaimana orangtua saya mengajarkan saya agar melaksanakan segala sesuatu janganlah pamrih, biar Allah SWT yang balas. Percuma jika melakukan kebaikan karena ingin dipuji orang, apalagi ingin diberi hadiah, sudahlah capek melakukan amal perbuatan eh amalannya hangus lagi tak bernilai disisi Allah. Adapun untuk hadiah yang sering saya terima, ya saya anggap itu adalah bonus yang Allah beri untuk saya.

Ukhti terima kasih banyak atas bantuannya. Jakallohu khoiran katsiira. Semoga ukhti kuliahnya lancar, mendapatkan jodoh yang sholeh, mapan, ganteng, baik, sayang sama ukhti.

Saya tersenyum saja, saya aamiinkan dalam hati.

Jazakallohu khoiran ukhti,

Doa juga penyemangat bagi saya 🙂

Ditengah hawa dingin yang menyerang,
06/07/18

IhatAzmi

Photo by The Vegan Monster

Beberapa hari lalu, saat pulang ke rumah naik kereta seperti biasa, aku kembali dihadapkan dengan situasi yang membuatku merenung: tentang obrolan di perjalanan, orang asing, dan batas-batas personal yang selama ini selalu ingin aku jaga dan aku juga masih belajar untuk enggak oversharing sama orang lain.

Aku jadi ingat obrolan aku dengan saudaraku setahun lalu. Dia pernah bilang kalau aku ini terlalu jutek ketika ketemu sama orang asing. Long story short, waktu itu kami pergi ke luar kota bersama. Berbeda sama aku yang lebih memilih menikmati perjalanan dari balik kaca jendela sambil mendengarkan lagu, saudaraku justru menikmati obrolan dengan siapa pun, termasuk orang asing yang baru saja dia temui.

Satu hal yang tidak pernah aku sukai dari sebuah perjalanan adalah ketika orang asing mulai bertanya hal-hal yang terlalu personal. Tentang status, pekerjaan, tempat tinggal—seolah-olah setiap pertemuan singkat wajib dibumbui dengan informasi pribadi.

“Pantesan susah dapet jodoh,” komentar saudaraku waktu itu, setelah melihat aku menjawab singkat  pertanyaan dari seorang ibu-ibu yang mulai menyinggung hal-hal pribadi. Jujur sih, aku lebih memilih diam atau menjawab singkat daripada harus membuka ruang untuk diskusi yang tidak aku sukai. Buat aku, berbagi cerita  itu punya waktunya sendiri. Ada konteks dan ruang yang pas untuk itu, misalnya dalam sebuah workshop, seminar, atau diskusi bertema tertentu. Aku akan menjadi orang yang talk-active karena tahu obrolan itu ada tujuannya.

Namun di hari itu, pelajaran kecil kembali datang. Di dalam kereta, seorang bapak paruh baya menyapaku:

“Neng, kuliah?” 

“Kerja,” jawabku singkat.

“Kerja di mana?”

Aku menarik napas dalam. Naluriku langsung tahu, obrolan ini bisa jadi panjang dan menyentuh banyak area yang tidak ingin aku bagi. Maka aku menjawab seadanya, “Di sekolah,” lalu segera membuka buku yang kubawa.

Tebakanku ternyata benar. Beberapa menit kemudian, si Bapak dengan semangat mengobrol panjang lebar dengan pemuda di sebelahnya, bertanya tentang hidupnya; kerja di mana, tinggal di mana, gaji berapa, sekolah di mana dulu. Obrolan itu terasa seperti audit kehidupan.

Aku pun memejamkan mata. Bersyukur telah menjaga jarak dari awal. Tapi begitu aku bangun, si Bapak mulai lagi bertanya kepadaku, bahkan mengenalkanku pada pemuda tadi. Di titik itu aku hanya bisa tersenyum. Malas menanggapi. Hingga akhirnya pemuda itu menebak-nebak statusku, berkomentar bahwa aku pasti sudah punya pasangan, lalu menyarankan agar aku lanjut S2 dan baru dilamar setelah lulus.

Aku mengangguk kecil, tersenyum samar, lalu mengaminkan. Namun dalam hati, aku benar-benar gak nyaman.

Pengalaman ini menyadarkanku akan satu hal penting: bahwa menjaga batas bukanlah sebuah kesalahan. Bahwa tidak semua orang harus tahu tentang aku dan tidak semua obrolan harus aku respons panjang lebar hanya demi sopan santun. Ada perbedaan antara menjadi ramah dan membiarkan batas-batas pribadi dilanggar.

Dulu aku sempat bertanya-tanya, apakah ini yang membua aku terlihat "jutek"? Tapi kini aku merasa: justru ini bentuk dari self-respect. Aku bukan tidak suka berinteraksi. Aku hanya ingin merasa aman dalam obrolan; dilihat sebagai pribadi utuh, bukan sekadar status sosial yang harus diulik, apalagi pada saat pertama kali kenal.

Aku pun belajar satu hal lagi: bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam menjalani perjalanan dan berinteraksi. Tidak perlu memaksakan diri menjadi seperti saudaraku yang hangat dengan siapa saja. Aku bisa tetap menjadi diriku sendiri; hangat dalam konteks yang aku rasa aman dan nyaman.

Ke depannya, aku ingin:

1. Lebih percaya diri untuk menetapkan batas ketika obrolan mulai menyentuh ranah pribadi.

2. Tidak merasa bersalah karena menjaga privasi.

3. Menerima bahwa tidak semua orang akan memahami batas yang aku buat, dan itu tidak apa-apa.

4. Mengenali momen yang tepat untuk membuka diri dan kapan harus cukup dengan senyum dan anggukan.

Perjalanan itu bukan hanya soal jarak yang ditempuh, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga ruang dalam diri sendiri. Tentang bagaimana kita tetap menjadi versi terbaik dari diri kita, tanpa harus mengorbankan kenyamanan hanya demi dinilai "ramah" oleh orang yang tidak kita kenal. 

Kalau kata temanku, dia bilang gini. 

"Coba belajar untuk merasa bahwa kamu itu gak penting buat orang lain. Dari sana kamu akan belajar bahwa kamu gak harus open terhadap siapapun agar kamu bisa diapresiasi. Selain itu, orang akan lebih menghargai kamu karena kamu sulit untuk diakses."

Aku sempat bertanya, "Maksudnya?"

"Coba gak aktifin ponsel kamu, seharian aja."

Aku jawab, "Gak bisa. Nanti pasti ada orang yang menghubungi."

"Nah itu dia, kamu masih merasa penting buat orang lain. Jadi orang lain akhirnya menganggap mereka bisa akses kamu kapan pun, karena kamu sendiri yang mengizinkan itu."

Kalimat itu sempat membuatku diam. Tapi setelah kejadian di kereta, aku mulai mengerti. 

So, menurut kamu gimana?


Cheers,

Solihat

Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

You are looking for...

  • ▼  2025 (25)
    • ▼  July (2)
      • Refleksi Catatan 20: Lingkungan Baru dan Perasaan ...
      • Refleksi Catatan 19: I'm Still His Little Girl
    • ►  June (3)
      • Refleksi Catatan 18: Perjalanan Penuh Drama, tapi ...
      • Refleksi Catatan 17: Memilih Menyelesaikan, lalu P...
      • Refleksi Catatan 16: Bukan Gagal, tapi Belum Diizi...
    • ►  May (7)
      • Refleksi Catatan 15: Persoalan Rezeki dan Ujian Hidup
      • Pencapaian Tertinggi di Usia 23 Tahun
      • Tanya Sekali lagi Pada Hatimu
      • Pertama Kali Perpanjangan Hosting dan Domain: Biki...
      • Jazakallohu Khoiran Katsiiran Ukhti
      • Refleksi Catatan 14: Gak Harus Tahu Aku Siapa
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Thank You!

Friends

Get new posts by email:
Powered by follow.it

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Follow Me On Instagram

Translate

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template