Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact
Photo by Engin Akyurt

Tak ada yang salah dengan kehadiranmu begitu pula dengan perasaanku untukmu. 

Meski pada akhirnya,  perasaan itu harus bertepuk sebelah tangan. 

Semula, semuanya baik-baik saja. Kita pernah sebegitu dekatnya, seolah hanya berjarak sejauh bulan dari bumi. Tapi perlahan, aku merasakan sesuatu berubah. Kamu menjauh, samar-samar hingga hampir menghilang.

Janji-janji yang dulu biasanya ditepati, kini hanya menyisakan kata yang tak lagi berarti. Pesanku yang dulu selalu kamu balas di sela-sela kesibukanmu, kini dibiarkan menyisakan tanya. Aku memilih menghapusnya, bukan karena tak ingin berbicara, tapi karena akhirnya aku sadar; tak ada gunanya berbicara dengan seseorang yang sudah tak lagi peduli. 

Panggilan yang dulu selalu kita nantikan, kini tak lagi ada. Kamu memilih untuk bilang sibuk, tapi nyatanya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan temanmu. Aku tak perlu mencari jawaban lagi. Satu hal yang aku terima: aku memang bukan prioritas dalam hidupmu. 

Dulu, kamu sudah mengatakan itu sejak awal dan aku berfikir aku bisa menerimanya. Tapi kini, kamu benar-benar membuktikannya dan aku tak bisa berpura-pura lagi dengan dalih hanya sebatas teman. 

Saat kamu mengatakan kamu melihat pesan yang aku hapus dan tanpa membalasnya, membuatku tak membutuhkan penjelasanmu lagi. Sikapmu sudah cukup menjelaskan segalanya bahwa kamu sudah tak peduli lagi denganku. 

Jadi kali ini, aku benar-benar mundur. 

Mundur. 

Bukan untuk menarik perhatianmu, bukan untuk berharap kamu berubah, tapi untuk menyelematkan diriku sendiri. Aku lelah berharap, aku muak menunggu, dan aku kecewa karena terus mengalah. Aku tak ingin menyakiti diriku sendiri lebih dalam lagi. 

Harapan yang dulu kupupuk kini telah gugur.  Doa yang pernah kupanjatkan kini kutarik kembali. Aku tak ingin lagi memohon kepada Tuhan agar menjadikanmu teman hidupku. Sungguh, aku tak ingin.

Mari kembali asing dengan cerita masing-masing. 

Biarkan cerita kita berakhir di sini.

Karena memperjuangkan seorang diri itu melelahkan.

Jangan cari aku lagi. 

Seperti yang pernah kamu katakan, aku berhak mendapatkan yang lebih baik darimu. 

Terima kasih sudah hadir. Kehadiranmu mengajariku satu hal penting: sebaik apapun seseorang, sesempurna apapun dia memenuhi kriteriamu, jika dia tidak memiliki niat untuk menetap, semuanya akan sia-sia. 

Sekali lagi, berjuang sendirian itu melelahkan. Maka kali ini aku benar-benar melepaskan, tak perlu lagi digenggam. 

Dan setelah ini, aku hanya akan benar-benar pasrah atas apapun yang Tuhan putuskan untukku, seraya terus  belajar mencintai diri sendiri, dengan atau tanpa kehadiran orang lain. 


Love,

Ihat 


doc. pribadi

Bulan Ramadan kali ini bertepatan dengan bulan Maret dan tanpa terasa kita sudah berada di pertengahan bulan lagi. Padahal rasanya kayak kemarin tahun baru, eh ternyata sudah memasuki bulan ke 3 lagi. 

Mm, minggu ini penuh dengan kegiatan buka bersama. Dimulai dari bukber di rumah kepala sekolah, kemudian dilanjut dengan bukber bersama Yayasan sekolah, terakhir kemarin buka bersama dengan anak-anak panti.  Hal yang paling aku sukai dan syukuri dari kegiatan bukber pada saat sedang merantau adalah aku merasa tidak kesepian saat berbuka. Heheee. 

Namun, momen yang paling berkesan minggu ini adalah ketika aku memutuskan untuk keluar rumah; mengikuti kegiatan volunteering bersama komunitas Love and Light. Acara ini diadakan di Panti Asuhan Samiyah Amal Insani, Bandung. Kami berbagi ilmu dengan  anak-anak sambil berbagi mengenai ragam emosi. Aku mendapatkan tugas mengajari anak-anak SD. Dan ternyata, saat menyampaikan materi kepada mereka rupanya kita butuh keterampilan berkomunikasi yang sederhana dan mudah difahami. 

doc. pribadi

Aku mulai dengan bertanya, "Coba kalau wajah marah seperti apa?" dan membiarkan mereka mengeskpresikannya sendiri. Lalu dilanjut dengan pertanyaan,

"Kamu paling suka sama perasaan apa?" "Perasaan apa yang kamu tidak suka?"

Setelah itu, mereka menggambar perasaan yang mereka rasakan dan menuliskan kalimat:

"Aku senang jika aku....."
"Aku marah jika aku...."

Aku membiarkan mereka untuk mencari tahu sendiri penyebab perasaan itu muncul di dalam diri mereka. Melalui aktivitas ini ternyata mereka belajar mengenali dan memahami emosi mereka sendiri. Selain itu, kami juga bertukar surat, saling menuliskan pesan satu sama lain.

doc. pribadi - surat dari mereka 


doc. pribadi - surat dari mereka


Saat selesai kegiatan, aku mencari masjid terdekat untuk salat maghrib. Salah satu anak yang tadi belajar bersamaku menawariku untuk mengantarku. Kami salat bersama, lalu mampir membeli jajanan sebentar dan duduk di pelataran masjid sambil berbincang.

doc. pribadi

"Mamah aku ada di Malaysia, Kak. Bapak aku di Kuwait. Mamah bilang Bapak gak bisa pulang karena ditahan di sana."

Aku terdiam mendengar ceritanya saat aku bertanya mengenai keberadaan kedua orang tuanya. 

"Aku di sini tinggal sama Kakak aku. Kata Mamah kita harus pisah dulu sebentar ya, nanti ketemu lagi."

Pilu rasanya mendengar kisahnya. 

"Sekarang jarang WA-an Kak, hp Kakak aku rusak soalnya."

Aku tak bisa berkata banyak apalagi selain mencoba menghibur, menyakinkan bahwa suatu hari nanti ia pasti akan bertemu kembali dengan Ibunya. 

doc. pribadi

"Tadinya aku mau tinggal sama Nenek. Cuma karena Nenek repot harus mengurus anak bayi, jadinya aku sama Kakak aku dititip di panti asuhan ini Kak." Dia kembali melanjutkan ceritanya sembari berjalan pulang menuju panti. 

Saat aku berpamitan pulang, ia melambaikan tangan sambil berkata, "Hati-hati di jalan ya Kak."

Sepanjang perjalan pulang, aku merenung. Di tengah rintik hujan yang mulai reda, aku tak henti-hentinya mengucap syukur.

Aku bersyukur karena di situasi sesulit apapun, orang tuaku tidak pernah meninggalkanku sendirian. Mereka selalu ada, meskipun dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. 

Sering kali kita sibuk melihat ke atas, membandingkan orang tua kita dengan orang tua lain yang terlihat lebih hebat. Padahal, jika kita menengok ke bawah, ada begitu banyak hal yang patut kita syukuri. Kegiatan ini juga mengajarkanku bahwa ketika kita merasa kekurangan, ternyata ada orang lain yang lebih membutuhkan. Dan dengan berbagi, sekecil apa pun, bisa membuat hati kita merasa cukup dan bahagia. 

Mungkin ada benarnya - saat kamu menghadapi kesulitan, cobalah untuk berbagi dengan yang lain atau mengunjungi tempat-tempat yang bisa membuatmu lebih banyak bersyukur. Tidak harus dengan hal-hal besar. Selama kita berbagi dengan tulus dan ikhlas, inshallah perasaan itupun akan sampai pada penerimanya. 

Aku tahu, minggu sebelumnya aku sendiri sedang berjuang dengan kehidupanku. Namun, setelah mengikuti kegiatan ini, aku sadar bahwa masih ada begitu banyak hal yang bisa aku pelajari dan syukuri, daripada terus menangisi hal-hal yang memang tidak ditakdirkan untukku.

Hai diri. Terima kasih karena kamu telah memilih untuk belajar dan bangkit dari rasa tidak nyaman itu. Terima kasih karena mencari cara lain yang lebih bermanfaat, daripada terus merutuki dan menyalahkan diri sendiri. 

Semangat! Masih ada hal-hal menarik di luar sana yang bisa kamu lakukan. 

Love,
Ihat


Photo by KATRIN BOLOVTSOVA


Aku masih ingat dengan jelas. Semua berawal dari percakapan pertama kami di tahun 2023. Setelah sekian lama hanya berkomunikasi lewat chat, akhirnya kami memutuskan untuk berkomunikasi melalui telepon, lalu berlanjut ke video call. Ada satu pertanyaan darinya yang sampai sekarang terus terniang di kepalaku, saat aku bilang bahwa aku tinggal sendiri dan merantau, jauh dari keluarga. 

"Kenapa kamu memutuskan untuk tinggal sendiri?” 

"Kenapa kamu tidak tinggal dengan orang tua? Bukankah kamu seorang perempuan?”

“Bukankah lebih baik kamu tinggal bersama dengan orang tua karena kamu pun belum menikah?"

Awalnya, dia terdengar terkejut mendengar bahwa aku merantau. Terlebih, aku adalah seorang perempuan yang masih single - yang menurut agama, tanggung jawabku masih berada di bawah tanggung jawab orang tuaku. Namun, perlahan-lahan dia mulai memahami pilihanku, meski sesekali aku bisa merasakan kekhawatirannya. 

Sampai suatu hari, beberapa bulan setelah ucapan itu entah mengapa hati kecilku terus memanggil-manggil untuk pulang ke rumah orang tua dan meninggalkan pekerjaanku di sini. Seperti ada suara di dalam diriku yang berkata,

“Sudah cukup, pulanglah.”

Awalnya aku mengabaikan suara-suara bising ini. Namun, lambat laun suara ini semakin kuat. Setiap kali aku pulang ke rumah rasanya rumah lebih hangat dan aku lebih bersemangat. Sebaliknya, setiap kali harus kembali ke tempat perantauan, aku justru merasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menahanku untuk pergi.

Hingga akhirnya, aku mengambil keputusan besar: resign dari pekerjaanku. Ketika aku dipanggil kepala sekolah dan ditanya tentang alasanku, aku menjawab dengan jujur bahwa aku ingin kembali ke rumah orang tua. Beliau menanyakan apakah kedua orang tuaku sudah sangat sepuh sehingga tidak bisa ditinggal, atau apakah mereka memintaku untuk pulang. Aku menggeleng. Orang tuaku masih sehat, baik-baik saja, belum terlalu sepuh dan masih mandiri. Mereka bahkan tidak memaksaku untuk pulang. Mereka selalu mendukung apa pun keputusanku. Hanya saja aku ingin berada di samping mereka. 

Tapi, ada hal yang selalu mengusik pikiranku. Setiap kali orang tuaku menelepon hanya untuk menanyakan hal-hal kecil - seperti masalah teknologi yang bisa diselesaikan dalam hitungan menit - aku merasa ada sesuatu yang kurang. Kenapa aku tidak bisa ada di samping mereka untuk membantu langsung? Kenapa aku harus jauh, padaha mereka ada di sini, menua setiap hari?

Kepala sekolahku memberikan saran jika alasanku hanya sebatas membantu mereka dalam hal-hal kecil seperti teknologi, bukankah itu masih bisa disiasati dengan meminta bantuan sanak saudara terdekat atau tetangga? Aku mengangguk, tetapi dalam hati aku tahu, orang tua akan selalu nyaman meminta bantuan kepada anaknya sendiri. Mereka mungkin tak pernah mengatakannya dengan gamblang, tapi aku bisa merasakannya. 

Seiring berjalannya waktu, aku kira perasaan ini hanya muncul di awal-awal saja, ternyata tidak. Semakin mendekati hari terakhir masa kontrakku, keinginan aku untuk tinggal bersama orang tua semakin kuat. Walau beberapa orang justru menyayangkan keputusanku - karena gaji dan kesempatan di perantauan jauh lebih besar- aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tahu, kesempatan berkarier itu penting. Tapi waktu bersama orang tua? Itu sesuatu yang tak bisa diulang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Bukankah hidup itu adalah tentang memilih? Dan aku memilih untuk pulang. Aku memilih untuk berada di sisi mereka, menciptakan kenangan sebanyak mungkin sebelum waktu benar-benar memisahkan kami. Entah karena kematian, atau karena suatu hari aku akan menikah dan harus mengikuti suami. 

Saat aku menyampaikan keputusan ini kepadanya, dia hanya tersenyum dan berkata bahwa dia mendukung sepenuhnya. “Aku lega kalau kamu pada akhirnya nanti tinggal kembali bersama orang tua. Itu lebih baik untuk kamu.” 

Dari kejadian ini, aku berfikir. Mungkin, ini adalah cara Tuhan mengingatkanku akan hal-hal yang benar-benar berarti dalam hidup. Mungkin, ini adalah saatnya aku belajar bahwa kebahagiaan bukan selalu tentang pencapaian besar, tetapi tentang momen kecil yang penuh makna. Pulang bukan berarti mundur. Pulang adalah kembali ke akar, kembali ke tempat di mana aku benar-benar diterima, tanpa syarat, tanpa tuntutan.

“Kalau dirasa di perantauan sudah cukup membuatmu berat, pulanglah sejenak. Tidak apa-apa. Mamah dan Bapak dengan senang hati menerimanya, walau ya harus hidup seadanya.” 

Dan di titik ini, akupun menyadari satu hal. Kadang, hidup memberikan pilihan yang sulit. Tapi yang terpenting bukanlah seberapa besar pengorbanan yang kita lakukan, melainkan seberapa tulus hati kita dalam menjalaninya. 

Wahai diri,

Terima kasih karena masih mau dan terus mau untuk belajar

Ingat, never stop learning, because life never stops teaching. 


With love,

Ihat

Newer Posts Older Posts Home

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (15)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ▼  March (3)
      • Refleksi Catatan 9: Karena Memperjuangkan Seorang ...
      • Refleksi Catatan 8: Saat Kamu Memutuskan Untuk Kel...
      • Refleksi Catatan 7: Ketika Hati Memilih Rumah
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

Friends

Community

Community

Subscribe Us

1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia Logo Komunitas BRT Network

Featured post

Don't Worry. Don't Think Too Much.

Photo by Cup of Couple Dear you, I wanted to take a moment to express that I'm filled with gratitude for you and the incredible influen...

Translate

Copyright © 2016 Hi Solihat. Created by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates