Tuesday, December 23, 2025
Hari itu tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba kabar itu datang: kamu masuk rumah sakit jiwa.
Informasinya tak pernah utuh. Dan aku memilih untuk tidak banyak bertanya; karena aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu, bukan?
Sampai akhirnya, sahabatmu sendiri yang meneleponku.
Katanya aku harus menjengukmu. Tak bisa dijelaskan lewat telepon. Tiket dan seluruh ongkos perjalanan ditanggung keluargamu. Dan aku memilih mengiyakan, dengan satu alasan yang terdengar paling netral: kemanusiaan.
Sejak pertama kabar itu datang, aku sengaja menjaga jarak. Aku menutup semua lembaran tentangmu. Aku memaafkan kesalahan-kesalahanmu di masa lalu. Aku mengira semuanya sudah selesai.
Tapi mengapa jalannya harus seperti ini? Mengapa keluargamu yang memintaku hadir?
“Sudah satu minggu ini, nama kamu terus keluar dari mulut adik saya,” kata kakakmu begitu aku tiba di rumah sakit. “Kadang dia tertawa, lalu menangis sambil menyesali.”
Aku hanya diam. Mendengarkan. Hingga langkah kami berhenti di ruang khusus untuk bertemu pasien.
Sepuluh tahun berlalu.
Dan baru pada hari itu aku melihatmu lagi.
Kamu mengenakan pakaian pasien, lengkap dengan gelang identitas di pergelangan tangan kirimu. Tubuhmu ada di hadapanku, tapi matamu kosong—seolah tak benar-benar hadir.
“Dek,” kata kakakmu pelan, “ini orang yang sering kamu sebut namanya.”
Tiba-tiba kamu berjalan mendekat. Tanpa ragu, tanpa kata, lalu memelukku.
Aku terkejut bukan main. Naluriku ingin melepaskan diri, tapi pelukanmu terlalu erat, seperti seseorang yang takut kehilangan sesuatu untuk kedua kalinya.
“Jangan tinggalkan saya,” ucapmu terbata. “Maafkan saya.”
Dan di detik itu, aku sadar: ada perasaan yang sudah lama aku kubur rapi, tapi belum sepenuhnya mati.
Aku tidak membalas pelukanmu. Tanganku menggantung kaku di udara, lalu perlahan turun, membiarkanmu menangis di dadaku. Aku tidak tahu harus bersikap sebagai apa? Seorang teman lama, kenangan yang seharusnya selesai, atau orang asing yang kebetulan punya wajah yang kamu ingat?
“Tenang ya,” hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Kalimat paling aman yang bisa kuucapkan agar tidak memberimu harapan, juga tidak melukai.
Kamu terisak lebih keras, seolah kalimat itu adalah izin untuk runtuh sepenuhnya.
Kami duduk berdampingan. Ada jeda panjang di antara kami, dipenuhi suara mesin dan langkah kaki perawat. Kamu bercerita terpotong-potong. Tentang malam-malam tanpa tidur, tentang rasa bersalah yang datang tanpa aba-aba, tentang penyesalan yang tidak tahu harus diarahkan ke mana.
Aku mendengarkan. Tidak menyela. Tidak menghakimi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar hanya hadir.
Di kepalaku, aku berperang dengan diriku sendiri. Ada bagian dari diriku yang ingin memelukmu lebih erat, ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ada juga diriku yang tahu: aku tidak bisa menyelamatkanmu. Dan kamu tidak berhak menjadikanku satu-satunya jangkar.
Waktu kunjungan hampir habis. Perawat memberi isyarat halus.
Aku berdiri. Kamu menatapku cemas.
“Kamu akan datang lagi?” tanyamu lirih.
Aku menarik napas panjang. “Aku doakan kamu sembuh,” jawabku jujur. Tidak berjanji, tidak pula menutup kemungkinan.
Kamu mengangguk, meski jelas ada kecewa di matamu.
Saat aku melangkah pergi, aku tidak menoleh ke belakang. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku tahu: jika aku menoleh, aku mungkin akan tinggal.
Di luar rumah sakit, angin berembus pelan. Untuk pertama kalinya sejak kabar itu datang, aku merasa bisa bernapas penuh.
Sepuluh tahun telah berlalu.
Dan hari itu, aku akhirnya benar-benar melepaskan.
Social Media
Search