Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me
Photo by may day.ua:

Beberapa hari tidak menulis justru membuat fikiran berisik tak karuan. Maka dari itu, menulis buat aku adalah healing terbaik dan juga mudah. Kamu hanya perlu menuangkan seluruh isi kepalamu ke dalam kata-kata yang dirangkai hingga menjadi kalimat tanpa perlu merasa ini benar atau salah. Karena semua perasaan yang kamu rasakan itu valid, and that's normal.

Kalau ditanya, how was your week?

I'm so grateful for this week. 

Meski hidup memang gak bisa ditebak arahnya ke mana. Waktu itu aku mintanya buat istirahat dulu, tapi ini malah dikasih wahana roller coaster. Aku masih ingat, waktu aku bilang aku gak mau dulu jadi guru, eh yang terjadi malah sebaliknya. Aku masih saja diterima di pekerjaan yang sama. Padahal dalam hati udah yakin, kayaknya gak bakalan keterima deh. Tapi qadarullah, ya tetap keterima. Allah masih tuntun aku di jalan ini.

Lucunya ketika aku merasa tidak mampu dan aku sampaikan semua itu kepada atasanku, justru atasan aku hanya tersenyum dan bilang bahwa aku itu memiliki potensi dan kemampuan yang selama ini akupun tak mampu membacanya sendiri. 

Belum lagi, serangkaian kegiatan PPG yang mengharuskan aku mau tidak mau harus punya sekolah. Kesibukan akupun bertambah. Tidak hanya menjadi guru di kursusan, akupun kini menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar negeri. Dan aku merasakan sendiri bagaimana rasanya digaji kecil. Pagi sampai siang aku di sekolah, lanjut sore sampai malam itu di kursusan. Capek? Jangan ditanya. Gaji nyampe sebulan 10 juta? Hahahaaa. Enggak juga. Kadang pengen ngeluh, tapi ya mau gimana lagi. Harus dijalani. Sempat mikir, apa karena aku gak layak jadi di gaji kecil gitu ya? Biar bisa sebulan dapet 2 juta aja ampun kerjanya harus banting tulang dari pagi ampe malem. Tapi setelah obervasi dan cari info sana-sini, emang sistemnya udah dibuat kayak gini di Indonesia. Ya buktinya aja yang ada di atas, gajinya aja selangit, sementara kami? Kamu jawab sendiri aja deh.

Ya sudahlah, tak ada habisnya mengeluh soal negeri ini. Meski dicurangi oleh pemerintah sendiri, satu keyakinan aku. Apa yang menjadi milik aku tidak akan pernah tertukar. Dan hanya Allah yang menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Kalau para pejabat itu bisa berkelimpahan harta dari cara yang haram, ya mereka juga akan menanggung semua itu kok. Kalau gak di dunia, di akhirat udah pasti gak akan bisa berkelit dan mengelak.

Meski capek, ada rasa haru dan bahagia saat melihat anak-anak sekolah, belajar. Ada siswa yang bela-belain salam sama aku sebelum dia masuk kelas. Dia berjalan ke lapangan untuk bisa bersalaman dengan aku, kemudian menyapa aku dengan bahasa Inggris.

"Good morning, Bu." Katanya sambil tersenyum malu-malu. 

Ada juga yang menulis bahwa dia ingin pintar seperti aku. Padahal aku juga gak pintar-pintar amat kok. Aku cuma senang belajar aja. Atau anak TK di kursusan yang menegur aku, 

"Ms, matanya jangan dikucek. Nanti perih, sakit."

Aku terdiam. Lalu tersenyum. Ada perasaan hangat yang menyusup dalam hati. 

Ah, entahlah. Aku juga aneh. Di saat aku ingin berhenti, tapi Allah tidak menginginkan itu. Justru dengan semua kesibukan yang Allah beri, perlahan Allah sembuhkan aku. 

Selain itu juga, kembali mengajar di sekolah lamaku dulu mempertemukan aku dengan teman lamaku yang juga dulunya adalah saingan langganan di kelas. Dia sudah lebih dulu mengabdi di sekolah ini. Satu minggu kemarin jika ada kesempatan untuk mengobrol, tentu kami akan bernostalgia dan sesekali update mengenai kehidupan kami masing-masing. 

"Kalau harus beradu nasib, ya semua orang juga sama. Punya masalahnya masing-masing. Gak ada yang mendang-mending, semua sama. Hanya persoalannya saja yang berbeda. Kalau saya harus cerita, sama. Kehidupan saya juga susah."

"Btw, kamu lagi deket sama siapa?"

Aku jawab aku lagi gak deket sama siapa-siapa. Tapi temanku itu gak percaya. Sampai akhirnya aku bilang bahwa aku lagi berteman dekat dengan seseorang.

"Ini sih saran saya sebagai laki-laki. Kalau dari awal dia gak ada niatan serius, mending tinggalkan. Karena tanpa sadar kamu sama dia udah bikin ikatan yang kuat. Saya takutnya kamu jadi buta sama kemungkinan lain."

Akupun terdiam.

Aku tahu, aku nyaman sama orang ini. Aku merasa nyaman, aman, dan juga bisa menjadi diri sendiri. Tapi untuk apa semua itu kalau dia memang tak ingin menjadikan aku sebagai bagian hidupnya? Kalaupun memang rintangan ini terlalu besar dan dia enggak sanggup, harusnya dia juga gak egois dong untuk tetap minta aku menjadi teman dia? 

Obrolan dengan teman aku ini membuatku berfikir. Apalagi saat dia bilang dia tak bisa menelfon aku karena ada kakaknya yang sedang datang ke rumahnya. Besoknya sama, dan aku sampaikan aja pembicaraan aku dengan teman aku itu ke dia.

Dan ya. Dia tetap dengan pendirian dia bahwa dia hanya ingin berteman saja denganku. Meski aku sudah tahu itu yang akan menajadi jawaban dia, tapi dengan melihat perubahan dia selama ini aku memiliki setitik harapan. Harapan bahwa bisa jadi perasaannya saat ini mulai berubah. Tapi kenyataannya? Tidak. Perubahan yang dia kasih buat aku ternyata gak menjamin bahwa perasaan dia berubah juga untuk aku. Maka dari itu, daripada aku harus drama lagi dengan dia seperti dulu dengan cara aku memblokir dia, perlahan saja aku mundur. Seperti mengurangi intensitas komunikasi dengan dia, tidak terlalu excited lagi dengan kehidupan dia, walau jauh dari lubuk hati terbesar aku, aku masih ingin tahu banyak hal. Hanya saja... Semakin aku tahu, semakin aku tersesat dan sulit untuk pulang. 

Aku tahu ini gak mudah. Tapi aku pun harus tegas dengan diriku sendiri. Buat apa tetap sama orang yang dia sendiri gak mau kamu ada dihidup dia? Buat apa saling support, saling berbagai soal kehidupan kalau nyatanya sampai akhir dia tetap bersikukuh bahwa kamu hanya jadi second lead? Bukan jadi main lead? 

Usiaku 28 tahun.

Karir aku berantakan.

Tabungan aku habis gak karuan.

Gaji juga alhamdulillah pas-pasan.

Kisah cinta yang menyedihkan.

Hahahaaa.

Ya, sudahlah. Mari tertawakan saja.

Aku jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat ada yang memanggil namaku secara lengkap, dua kali lagi.

Aku terdiam cukup lama untuk mengingat nama orang yang memanggilku. Ternyata dia adalah teman satu kelas aku dulu, dan rupanya dia sedang menunggu jam kepulangan anaknya.

"Udah nikah belum?" Lagi dan lagi, pertanyaan ini. Batinku.

"Belum," jawabku sambil senyum.

"Ih kenapa? Oh, ini ya fokus karir dulu ya. Soalnya kan kamu dari dulu emang pinter."

Aku tersenyum walau dalam hati aku meringis. Gak gitu juga. Hei!

Pada hakikatnya kita semua ternyata saling sangka ya soal kehidupan kita masing-masing. 

Yang dilihatnya enak, ternyata enggak kok. 

The grass is always greener on the other side. 

Kira-kira begitulah.

Ya sudah, aku tak mau berlama-lama galau. Aku masih butuh duit buat hidup ini. Hahahaa. 

Mari kita tertawakan semua hal-hal yang mungkin terasa menyedihkan ini. 

Oh iya, minggu kemarin juga ada satu hal yang bikin perasaan aku campur aduk. Pada saat Mamah bela-belain nganter aku buat beli beberapa keperluan untuk mengajar. Baru kali itu, aku lihat Mamah se-excited pas memilih barang-barang. Tapi di saat yang sama aku juga sedih, karena aku belum punya cukup uang untuk bisa bikin mamah beli barang yang dia suka. Walau aku tahu, mamah gak pernah minta itu dari aku. Sampai akhirnya mamah tanpa sadar bilang, 

"Mamah itu seneng kalau belanja sama kamu. Soalnya bisa lihat barang-barang dan milihnya lama, jadi punya banyak pilihan." 

Aku terdiam. Kata-kata sederhana itu menyusup ke dalam hati. 

Tarik nafas. Hempaskan perlahan.

Aku cuma mau bilang sama diri aku,

Thank you for choosing to keep moving forward and keep learning. Because, as long as you live, challenges will always come and go. Remember, never stop learning, because life never stop teaching. I know, it is hard for you. But remember. You have Allah who always guides and accompanies you in every situation. Allah trusts you to go through this life. So please, don't underestimate yourself. Just seek for His sake, not human validation or appreciation.

Cheeers,

Solihat

Photo by cottonbro studio


When I once asked him, "How do you define success in life?"

He answered,

"Sometimes, a simple thing is a success. Sometimes I don't have specific goals, but I have dreams. If they come true, I will be happy. I am  not overthinking about the future now. I live my days as they come. I don't know where I will end up, but I always remain optimistic about the best."

I was quiet. I never imagined his answer would be like that. 

A simple thing is a success.

Sometimes, we forgot to appreciate ourselves for the small things. We only focus on the big achievements, forgetting that the big things never come without the small steps. In today's world, scrolling through social media and seeing many different people living what appears to be seemingly perfect lives. Maybe some of us find ourselves trying to copy them by buying expensive things, going to abroad for vacation, and posting pictures on our social media to get "likes."

I have to admit, there were times I tried like what they did. But in the end? I felt like I was chasing something I could never fully become.  I can't be someone's life. I used to think that success meant when you can achieve something big, earn much money, or you can buy an expensive car or house.

But then, I understood.

We can't define our success based on someone else's standards. Often, we are so focused on the result that we forget to value the journey itself: the effort, the prayers, the patience, and the growth align teh way. We tend to rush, hoping everything will fall into place as soon as possible.

From his statement, I realized that I rarely appreciate myself for the small things. I have been so focused on the big goals then I end up overthinking. Now, I am learning to slow down, acknowledge my progress, and celebrate even the litte victories. Because sometimes, those small things are the real definition of success.

There is no "late." I only know one thing about myself: I have dreams, and I will fight for them with patience. My time will come.

Be patient, dear one. 

Accept where you are today, because growth take times. You are not defined by the end result. You are defined by the efforts you give and the love you share to others. 

You cannot define your worth by the end results of your efforts: because you are not the author of your life. God is.  

-Rara Noormega-


With love,

Ihat


Photo by Anna Tarazevich

I really didn't know myself at that time.

When I got the invitation, my first thought was, I can't do both at the same time. So, I chose to let one go. 

Then, I made a decision. One so reckless that it made my manager angry with me. When she asked to discuss it again, she eventually uncovered something I had been hiding, something even I didn't fully understand. 

I cried in front of her. I poured out all of my fears about the future. The fears that might never even happen. She just listened. She understood the reasons behind my decision, reasons I counld't even put it into words before. 

Afterward, my friend told me, "You live in the future." She was right. I was overthinking things that weren't even certain. She had been in my position before, so she understood me deeply. She reminded me  to live in the present. Not in the past. Not in the future.  She said that I was putting everything on my plate at once. And that's way I felt so suffocated. 

Later, when I called him yesterday, I was so angry about his decision. I tried to calm myself, but deep down, the only things I wanted to hear from him was.

"Will you wait for me? So I'll save what I have and find a way to bring you here."

When I started talking about random things, he told me I was overthinking. At that moment, I denied it. But eventually, I realized. He was right. I was overthinking. Overthingking means I've been living in the future. 

"All these decisions that I implemented are for you. You shouldn't lie to yourself. Think about it wisely and clearly. It's about you and your future. Think wisely and see what works for you."

What makes me so grateful is that he never leaves me. No matter what state I'm in. I know my life feels messy. I'm trying to fix it, to embrace it, and to accept it. But, it's not as easy as people say. I still go through trial and error, but he always says, "That's okay."

Now, I'm teaching myself to stay in the present. To aprreciate what I have right now. To focus on what I'm doing now. Not to worry too much about the future, and not to regret what has already happened in the past. Because I can't control the future and I can't change the past. 

Hi, Ihat

I know this isn't easy for you. Please, be patient. Everything will bloom in the right time. Don't rush. Slow down. Accept what is, focus on what matters now.  You don't have to compete with anyone else's life. It's just you! Only you. Compare yourself only with you were yesterday. Keep going, even if it's just one small step each day.

"It doesn't matter if there are mistakes. What matters is that you are on the right path. We all make mistakes, but we must not fail. We must continue moving forward."

Then, he said,

"The nice thing I like about you is that you accept advice."

Hmm..hm...


Love.

Ihat





Photo by Wendelin Jacober

I know.

I know what I feel. 

I was angry when reality slapped me again. When he said that we would never meet in real life. Because for him,  the problem is our financial situation, our distance, and how hard everything would be.

Yes, he is a realistic person. Very different from me. I'm a dreamer.

Maybe last week, I enjoyed sharing everything with him over the phone. I still remember when he told me for the first time that he was comfortable with me. He even said that I was part of his private life, something he never shares with others. We talked for almost two hours.

But, tonight. I don't know why. Our conversation shifted to us, about the future. I asked him again, "Is it okay if I'm with someone else?" And he said, "Yes."

We know, we hurt each other. We know, we need each other to support. But again, reality reminded us that wanting something and making it happen are two different things. 

I do understand all of that. But deep down, the only things I wanted to hear from him was.

"Will you wait for me? So I'll save what I have and find a way to bring you here."

Just that. Then, I would wait.

But for him, it's not that simple.

He's so realistic. He doesn't want to make a promise he can't keep.

Again.

I asked him, courious about his feelings.

I know that he has another friend from another country. He said that he rarely texts her. Then, I asked  something more personal. He said,  he only shares that kind of thing with me. 

So I asked him, "Am I special to you?"

I knew it would be  hard for him to admit it. He tried to change the subject, but in the end... yes, he admitted I am special to him. 

Argh, I don't know what to feel. I'm happy with him, but deep down I know. In the end, I have to say goodbye and let him go.

I care about him so much. I feel comfortable with him. I feel safe with him. He's the only one who can truly understand my emotions and my overthinking, listen without judging. Always be there for me and support me.

Then, I realized something.

Maybe he is a lesson for me. That in the end,  I can only rely on myself and on Allah. Not on him.

I know, I'm sad about it. But again, I have to turst Allah's plan for my relationship. He is good, he is nice, and something I can learn from him is: don't worry about the future, don't overthink everyhting that comes your way. Just surrender, because Allah has already set everything perfectly for you. I will never regret meeting you, because you have given me so much, for myself, for my self-love journey. And you are my flashlight. 


Love,

Solihat

Photo by Markus Winkler

How was your week?

Sebuah kalimat sederhana yang sering banget jadi pembuka keran cerita. Kalimat yang pada akhirnya membuat aku flashback ke satu minggu kebelakang. Kalimat yang bikin aku akhirnya cerita ngaler ngidul, dari mulai hal yang bikin bahagia sampe ke hal yang bikin aku kesel setengah mati, nangis, habis itu refleksi sambil ngusapin diri sendiri dan bilang,

"It's ok. You handled it well. You got through it."

Kalimat yang selalu aku nantikan kalau lagi telfonan sama dia hehee. Sesederhana itu, tapi hangatnya luar biasa.

So, talking about this week...

Anxiety and overthinking aku kambuh lagi. Tiba-tiba datang, kayak tamu gak diundang. Semuanya berawal pada saat aku harus menghadapi kelas baru dengan materi yang belum pernah aku ajarkan sebelumnya. Stress? Oo tentu saja. Seperti biasa, instead of doing, aku malah mikir panjang. Buku udah ada di tangan, raga udah duduk rapi di kursi dan siap mengeksekusi ide-ide yang ada,  eh si jiwa yang malah melayang-layang entah ke mana.

Mamah di rumah sampe pusing sendiri sama keadaan aku. Bukan aku gak bersyukur sih, aku cuma mikir kayak busyet di Indonesia buat dapet lima puluh rebu sehari kudu jungkir balik ke sana ke mari. Susah bener cari duit. Aku bukannya pesimis ya, tapi memang itu kenyataannya. Bagi kita rakyat biasa, biar bisa punya duit sehari lima puluh rebu tuh luar biasa pengorbanannya. Makannya kalau ada yang bilang angka kemiskinan di Indonesia menurun, hmm hmm. Tolong cek. Biaya hidup aja makin melejit, nyekik banget rasanya.

Satu hal yang akhirnya kembali menyadarkan aku: semua itu butuh proses, butuh waktu, dan gak ada yang instan. Apalagi saat kamu dilahirkan sebagai seorang perintis bukan pewaris. Gak apa-apa kalau saat ini kamu belum punya pencapaian seperti yang dianggap "sukses" oleh masyarakat sekitar. Gak apa-apa banget kalau kamu masih pengen eksplorasi banyak hal, bahkan saat harus mengulang lagi dari nol. Gak ada yang salah kok. Setiap orang yang punya jalannya masing-masing. Dan semua pilihan, pada akhirnya kembali kepada diri kita sendiri. 

Aku juga belajar bahwa kita gak usah nunggu momen sempurna untuk memulai. Nanti yang ada malah gak mulai-mulai. It's ok to make mistakes. Justru dari sana kita belajar untuk terus memperbaiki. Karena sampai kapanpun gak akan ada yang sempurna. Pasti selalu ada kurangnya. Nah jangan sampai, kamu nunggu terus kesiapan tanpa mau mencoba langkah pertama. Tahu kok, langkah pertama selalu berat, iya. Wajar banget. Tapi nanti setelahnya kamu akan terbiasa dan sudah bisa membaca pola sekitar. 

Minggu ini juga, aku sempat mengalami situasi yang bikin aku kembali ingin menyalahkan diri sendiri. Aku sempat bilang apa aku gak cukup bener kerja ya, pada saat rekan kerjaku bilang aku gak ngecek pr muridnya waktu aku harus gantiin kelas dia. Padahal jelas banget aku ngecek pr muridnya dia minggu lalu itu. Tapi sayangnya di buku murid-muridnya dia gak ada sign aku. Ya memang aku gak kasih sign, lagian udah gede gitu. Udah anak SMP kelas 3 sama anak SMA juga. 

Perdebatan sore itu cukup sengit, sampai beberapa rekan kerja yang lain memilih diam. Aku dengan keteguhan diri sendiri, terus bilang bahwa aku mengecek. Tapi karena tidak ada bukti fisik, aku tahu aku sadar posisiku aku lemah. Sampai kemudian tak aku lanjutkan kembali. Udahlah aku teacher baru, ya kalau difikir siapa juga yang mau percaya sama aku. Beberapa rekan juga justru banyak berpihak kepada dia. Rasanya gak adil, tapi ya sudah, aku memilih diam. Bukan berarti aku kalah, aku cuma milih untuk menunggu kebenaran yang nantinya akan membuktikan sendiri.

Sampai akhirnya, ketika aku kembali menggatikan dia di kelas, aku menyelipkan sindiran halus soal PR. Mereka semua diam dan saling menoleh satu sama lain. Aku berusaha tetap tenang, mencoba mengatur emosi aku biar gak meledak saat itu juga. Mengajar seperti biasa dengan senyuman, dan dalam hati aku terus memohon,

"Yallah, please help me. Prove it! That I didn't a mistake. I did it. I checked it last week."

Gak usah nunggu lama, satu orang murid tiba-tiba nyeletuk, "Nanti kalau ditanyain prnya dicek apa enggak, kita bilang aja gak dicek ya."

Aku langsung menegur dengan tenang. Mereka semua terdiam. Lalu ada satu murid yang membela diri, katanya aku salah karena aku gak ngasih sign. Aku jawab, aku emang gak pernah ngasih sign di kelas yang sudah besar. Mereka akhirnya terdiam, malu. 

Aku kabarin itu ke yang lain. Mereka pun akhirnya kaget dengan hal itu. Bahkan ada yang mengaku, pada saat perdebatan itu mereka ngira aku ini denial. Dan betul dugaanku. Hahahaa. Aku luruskan aja, aku kalau salah ya ngaku salah, kalau bener ya terus aku akan suarakan itu. 

Dari setelahnya, aku cuma pengen meluk diri sendiri. Aku ingat betul, setelah  kejadian itu disampaikan di hadapan orang lain, aku sempat menyalahkan diri sendiri. Ada ketakutan dan keraguan pada saat itu. Tapi aku terus menepis suara-suara buruk itu dan terus menguatkan diri sendiri,

"Iya, aku udah ngerjain itu kok. Tapi nanti lagi, harus lebih teliti. Harus ada bukti."

When I told him about what happened, he smiled and said I had done the right thing. "As long as you're doing the right thing and others still doubt you, keep going. Keep fighting for it. Don't be afraid."

He knows me so well. So instead of giving long advice, he just listened quietly, occasionally chuckling as I told the story with fire in my voice.

"Teenagers are annoying, sometimes," he added with a laugh. 

Dan aku lega bisa menyampaikan itu semua. Hehee. 

Proses menanamkan mindset ini dan juga menguatkan diri memang bukan hal yang mudah. Aku juga terkadang kalau udah kambuh si overthinking dan anxiety ya suka jadi hilang fokus dan fikiran ke mana-mana. Tapi aku tahu ini bagian dari proses penyembuhan. Proses mencintai diri sendiri. 

Aku benar-benar sedang berada di fase yang aku gak tahu arah hidup ini akan membawa aku kemana. Aku kadang gak faham, apa maksud dari semua ini. Tapi ya semakin difikirkan justru malah semakin membuat kita gila gak sih? Hahahaa. Karena memang ada beberapa hal yang gak harus selalu kita tanyakan terus soal hidup ini.

Kenapa ini terjadi?

Kenapa aku?

Kenapa harus aku?

Instead of asking "why me?" saat ini aku sedang mencoba untuk mengubahnya menjadi, 

"Allah lagi mau ngajarin aku apalagi ya?"

Belajar untuk menerima, hadapi, dan stop asking. 

Meski pada praktinya itu gak mudah, tapi aku sedang belajar untuk percaya dan menerima atas takdir yang telah ditetapkan-Nya untuk aku.

Di sinilah iman itu benar-benar menyelamatkan kita. Kalau aku gak punya iman, kayaknya ide-ide gila untuk mengakhiri hidup atau menyakiti diri sendiri bisa jadi datang kembali. Dan aku gak mau itu kembali lagi. 

Ternyata iman itulah yang pada akhirnya menguatkan diri saat hati mulai ragu akan kenyataan yang harus dihadapi. Saat hati mulai ragu dengan kemampuan diri, padahal semua yang terjadi tidak lepas dari izin dan ridho-Nya. 

Allah gak minta kita untuk suskes di dunia. Allah gak minta kita untuk jadi kaya raya. Yang Allah lihat adalah prosesnya dan bagaimana kita tetap memilih kembali kepada-Nya dalam kondisi apapun.

Karena kita benar-benar lemah tanpa pertolongan Dia.

Ya Allah, maafkan aku.

Ternyata selama ini aku masih saja khawatir atas hal-hal yang belum terjadi. Maafkan hamba-Mu ini yang ceroboh, yang terkadang meremehkan potensi yang Engkau titipkan pada diri ini. Kuatkan iman ini, agar mampu merobohkan suara-suara jahat yang ingin menghancurkan rasa percayaku pada diri sendiri dan juga keyakinanku atas takdir-Mu. 


Love,

Solihat

Newer Posts Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

POPULAR POSTS

  • Refleski Catatan 29: Dukungan Orang Tua
    Photo by Pavel Danilyuk One thing that I have to be grateful for is my parents' support. They are the reason I can keep going when every...
  • Reflection Journal 27: Redefining Success
    Photo by cottonbro studio When I once asked him, "How do you define success in life?" He answered, "Sometimes, a simple thing...
  • Book Insight #1: 3 Things I Learned from A Guide Book to Trust Yourself
    doc. pribadi Identitas Buku Judul : A Guide Book to Trust Yourself Penulis :  Ares Ulia Tahun Terbit : 2022 Penerbit:  Penerbit Briliant Jum...

Categories

  • BPNRamadan2021 1
  • Books 6
  • Catatan Harian 42
  • Dari Masa Lalu 2
  • Jalan-jalan 3
  • Puisi 1
  • Refleksi Diri 77
  • Satnight Story 3
  • Self Talk 1
  • Tentang si Kecil 2
  • Thanks for Leaving Me 1

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (36)
    • ►  September (2)
    • ▼  August (5)
      • Refleksi Catatan 28: Hal -hal Kecil yang Menguatkanku
      • Reflection Journal 27: Redefining Success
      • Reflection Journal 26: Living in the Present
      • Reflection Journal 25: I know
      • Refleksi Catatan 24: How Was Your Week?
    • ►  July (6)
    • ►  June (3)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

BloggerHub Indonesia

Friends

Translate

Copyright © Hi Solihat. Designed & Developed by OddThemes